Breaking News

Media Asing: Jamu Dan Doa Tak Manjur, Indonesia Terlambat Tangani Covid-19


Penanganan wabah virus corona baru di Indonesia yang dianggap "terlambat" kembali menuai kritikan dari media asing.

Los Angeles Times (LA Times) pada Jumat (24/4) menerbitkan sebuah artikel bertajuk "Dyting doctors. To many coffins. Indonesia late in battle against coronavirus (Para dokter sekarat. Terlalu banyak peti mati. Indonesia terlambat berperang melawan virus corona)".

Dalam artikel tersebut, Indonesia digambarkan telah gagal untuk memberikan penanganan awal wabah Coronavirus Disease (Covid-19). Di mana Presiden Joko Widodo disebutkan berkiblat pada Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang pada awalnya meremehkan Covid-19 dan terus berfokus pada sektor ekonomi.

Alih-alih melakukan pencegahan, Jokowi justru menggembar-gemborkan konsumsi jamu yang padahal belum terbukti untuk menangkat penyakit. Bahkan, LA Times juga menyoroti bagaimana Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengaitkan wabah dengan doa.

Hingga pada akhirnya pada pertengahan Maret, Indonesia sudah tidak bisa menganggap sepele wabah tersebut. Pemerintahan Jokowi berdalih, pihaknya sudah mengetahui betapa berbahayanya virus corona baru, namun tidak ingin menimbulkan kepanikan.

"Jamu presiden tidak bekerja. Pekerja medis mengenakan jas hujan dan kantong sampah untuk berjaga-jaga. Penggali kubur berjuang mengikuti gelombang peti mati yang terbungkus plastik. Dan sepasukan pekerja migran menghadapi kelaparan ketika ekonomi menuju resesi," tulis surat kabar tersebut.

Indonesia sendiri tidak pernah memberlakukan pembatasan gerak hingga muncul kasus pertama Covid-19 yang memicu munculnya ribuan kasus lain.

Padahal menurut seorang dokter di Jakarta, Kamila Fitri, pihaknya sudah memiliki kekhawatiran akan masuknya wabah Covid-19 ke Indonesia sejak Februari.

"Kami memiliki hampir dua bulan untuk mempersiapkan. Dibandingkan dengan negara lain, kami bereaksi terlambat," ujarnya.

Bukan hanya soal pencegahan, informasi mengenai data kasus juga ikut dikritik oleh media tersebut.

"Pemerintah juga menolak mengeluarkan informasi terperinci tentang kasus, sebuah cerminan dari kepemimpinan yang didominasi oleh tokoh-tokoh," ungkap LA Times.

Hal tersebut juga menurut LA Times diperburuk dengan penangkapan orang-orang yang dianggap melakukan pencemaran nama baik karena mengunggah komentar yang kritis terhadap tanggapan pemerintah menangani krisis.

"Seperti di banyak negara lain, pemerintah Indonesia enggan menghadapi besarnya pandemik yang akan datang," kata, direktur program Asia Tenggara di Lowy Institute di Sydney, Ben Bland.

Menurut LA Times, pemerintah Indonesia tampaknya menyepelekan wabah Covid-19 karena dianggap bisa menangani bencana lain seperti gempa bumi dan tsunami. Namun, faktanya, tenaga medis di Indonesia pun sudah ketakutan akan wabah ini.

Yang lebih miris adalah Indonesia yang luas dan terbagi ke dalam tiga zona waktu pada awalnya hanya memiliki satu fasilitas pengujian Covid-19. Meski saat ini telah ditambah menjadi 38 laboratorium.

Kendati begitu, pengujian Covid-19 di Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Di mana pemerintah hanya melakukan sekitar 50 ribu tes sejak 1 April. Itu juga yang memicu munculnya spekulasi bahwa jumlah kasus Covid-19 di Indonesia jauh lebih besar dari yang dilaporkan.

Hal yang kemudian menjadi sorotan tentu saja adalah "mudik". Tradisi pulang ke kampung halaman pada saat bulan Ramadhan itu menjadi "sakral" bagi penentuan wabah Covid-19 di Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia.

Mudik yang setiap tahunnya memicu kekacauan lalu lintas di seluruh negeri juga menjadi kekhawatiran akan meningkatnya jumlah kasus Covid-19.

Para peneliti di Universitas Indonesia bahkan telah memperingatkan akan ada 140.000 kematian dan 1,5 juta kasus pada Mei atau bulan Ramadhan, jika tanpa jarak sosial yang ketat.

"Mereka yang mudik akan membawa uang dan hadiah untuk anggota keluarga mereka kembali ke rumah. Ini adalah cara untuk menjaga hubungan kekerabatan di seluruh Indonesia yang urban dan berubah, jadi ini adalah ritual penting bagi jutaan orang," kata seorang antropolog di Singapore Management University, Charlotte Setijadi.

Wabah Covid-19 akan sangat sulit diatasi di Indonesia karena buktinya hanya sedikit orang yang bisa tinggal di rumah. Karena faktanya, masih ada jutaan pekerja informal yang harus memenuhi kebutuhan hidup dari hari ke hari.

Indonesia sendiri baru memperkenalkan pembatasan gerak pada 10 April, termasuk melarang adanya pertemuan lebih dari lima orang. Pada pekan lalu, pemerintah juga sudah menangguhkan transportasi darat, laut, dan udara seiring dengan larangan mudik.

Walaupun begitu, dalam praktiknya, menurut seorang ahli epidemuiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Panji Hadisoemarto, pembatasan sosial masih belum efektif meski sudah terbukti menurunkan angka penularan.

"Saya ragu pembatasan sosial sudah cukup efektif, sejauh ini, untuk mendorong jumlah reproduksi ke level yang kita inginkan, yaitu di bawah 1," kata Panji menjelaskan saat ini level Indonesia masih 1,2.

Ketika pemerintah pusat terlambat membuat keputusan, yang kewalahan adalah pemerintah daerah. Di mana menurut seorang dokter di Labuan Bajo, pihaknya sudah menunggu lebih dari dua pekan untuk hasil tes swab dari Jakarta.

"Saya tidak yakin apakah tes masih layak karena sudah begitu lama," katanya

"Pemerintah pusat tidak menganggap serius Covid. Jadi tidak ada yang siap untuk ini," tambahnya, anonim.

Sumber : rmol
Foto : Peninjauan Wisma Atlet untuk karantina pasien Covid-19/Net
Media Asing: Jamu Dan Doa Tak Manjur, Indonesia Terlambat Tangani Covid-19 Media Asing: Jamu Dan Doa Tak Manjur, Indonesia Terlambat Tangani Covid-19 Reviewed by Admin on Rating: 5

Tidak ada komentar