Breaking News

Perburuk Ekonomi Rakyat, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Ditolak Warga Sumatera


Dosen Hukum Universitas Andalas Sumatera Barat, Feri Amsari, menilai pandemi Covid-19 menjadi berkah bagi pemerintah dan DPR untuk meloloskan beberapa RUU kontroversial. Dia menyebut saat masyarakat menolak pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, DPR justru mengesahkan UU Minerba secara diam-diam.

“Seolah UU Minerba ini pengalihan untuk membahas UU kontroversial lainnya. Disini memperlihatkan kehadiran Presiden tidak berada sebagai pemimpin utama, sentral kuasa, sebagai kekuatan utama dalam sistem presidensial,” kata Feri Amsari dalam Sidang Rakyat penolakan UU Minerba, hari ini (31/5).

Sementara dosen Hukum Universitas Bengkulu, Edra Satmaidi, mengatakan, dalam membuat Undang-undang harus memperhatikan landasan filosofis dan sosiologis. Apalah UU itu memberikan dampak yang lebih baik pada masyarakat atau tidak, serta berprinsip kemandirian, berwawasan lingkungan, memperhatikan kesejahteraan, berdimensi HAM.

“Norma Undang – undang berlaku umum kepada siapa saja, perseorangan, operasi, swasta, BUMD, kesempatan yang sama dalam usaha pertambangan. Harusnya semua keputusan ada pada negara, selalu menempatkan negara berdaulat disitu. Sudah saatnya kita tegakkan kedaulatan pengelolaan Sumber Daya Alam,” ucap dia dalam acara yang sama.

Atas dasar itu, asyarakat Sumatera yang tergabung dalam #BersihkanIndonesia sepakat menolak implementasi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Produk legislasi itu dinilai berdampak buruk bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan dan pembangkit listrik tenaga batu bara di Sumatera.

Masyarakat Pulau Sumatera menyatakan siap melakukan segala cara untuk membatalkan implementasi UU Minerba 2020. Masyarakat tersebut berasal dari Sumatera, perwakilan Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.

Pengembangan industri batu bara dan pembangkit listrik di Pulau Andalas dinilai memperburuk kondisi perekonomian masyarakat sekitar yang mayoritas petani dan nelayan. Ekspansi industri batu bara dan pembangkit listrik tenaga batu bara bahkan menyebabkan masyarakat jatuh ke bawah garis kemiskinan.

Hal itu karena limbah dan polusi yang dihasilkan oleh industri batu bara terintegrasi ini menyebabkan lahan pertanian rusak, air sungai dan air laut tercemar. Sehingga masyarakat sekitar kesulitan untuk mencari nafkah.

Dalam acara itu anggota Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih wilayah Aceh, Masykur,
mengatakan, ketika melaut nelayan lebih banyak menjaring limbah batubara ketimbang ikan. Hal yang sama dialami para nelayan di Pangkalan Susu, Sumatera Utara.

“Sebelum ada PLTU di sana, saya bisa dapat Rp2,8 juta per minggu dari hasil tangkapan. Tetapi saat ini, untuk mendapatkan Rp50 ribu saja sulit karena air laut sudah tercemar,” ujar dia.

Pemiskinan akibat eksploitasi pertambangan batu bara juga dilakukan dalam bentuk penggusuran paksa dan tidak manusiawi di atas lahan masyarakat.

Menurut kesaksian Hamidin, warga Kelurahan Teluk Sepang, pemodal-pemodal tambang kerap kali melakukan penggusuran pada malam hari. “Tahu-tahu besok paginya (pohon) sawit mereka (warga) sudah tumbang semua,” katanya. 

Partner Sindikasi Konten: indonesiainside
Diterbitkan: oposisicerdas.com
Editor: Windha Pramitasari
Foto: Ilustrasi tambang batubara. Foto: Istimewa
Perburuk Ekonomi Rakyat, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Ditolak Warga Sumatera Perburuk Ekonomi Rakyat, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Ditolak Warga Sumatera Reviewed by Admin on Rating: 5

Tidak ada komentar