Cuci Piring Ala BUMN
BUMN menurut UU Nomor 19 Tahun 2003, merupakan perusahaan yang dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal langsung, sehingga anak dan cucu BUMN dianggap bukan BUMN. Ketika BUMN membentuk anak usaha dan kemudian anak usaha membentuk cucu usaha apakah harus mendapat persetujuan Menteri BUMN sebagai kuasa Pemerintah?
Sebagai pemegang saham BUMN, pemerintah harus menyetujui seluruh kebijakan dan aksi korporasi yang akan dilakukan oleh BUMN termasuk pendirian anak dan cucu perusahaan. Karena modal yang digunakan untuk pendirian anak dan cucu perusahaan menggunakan modal ataupun aset BUMN yang notabene pemilik sahamnya adalah Pemerintah.
Dari 142 BUMN tercatat hanya 15 BUMN yang menyumbang dividen sebesar Rp 210 triliun. Artinya, sisa 127 BUMN lain, sebagian kecil menyumbang deviden sedikit dan sebagian besar merugi alias tidak mampu membagikan dividen kepada pemerintah. Dengan total asset seluruh BUMN yang mencapai Rp 8.200 triliun dan dengan jumlah BUMN yang mencapai 142 serta jumlah anak dan cucu BUMN yang diperkirakan lebih dari 900 perusahaan.
Hanya mampu meraih total pendapatan kotor sekitar Rp 2.300 triliun dan perkiraan Debt to Equity Ratio (DER) sekitar 34%. Sementara hanya 15 BUMN yang menyetor dividen kepada negara dengan total laba sekitar Rp 188 triliun di tahun 2018. Boleh dianggap kinerja keuangan BUMN kurang menggembirakan.
Oleh sebab itu kekagetan Erick Thohir baru-baru ini, setelah mendapat info bahwa Pertamina memiliki 142 anak cucu usaha sementara Krakatau Steel memiliki 60 anak cucu, menjadi tidak mengherankan. Begitu pula halnya saat mengetahui Direksi Garuda juga merangkap Komisaris di anak dan cucu usaha Garuda.
Hal tersebut meyakinkan kita semua bahwa tidak semua BUMN dan anak serta cucu usahanya terdaftar di Kementerian BUMN dan sekaligus tidak terkontrol oleh Kementerian BUMN selama ini.
Entah bagaimana sistim pelaporan manajemen BUMN selama ini kepada Kementerian, sehingga hal-hal seperti itu luput dari pengawasan kementerian cq pemerintah yang faktanya adalah pemegang saham seluruh BUMN termasuk anak dan cucu usahanya.
Entah berapa total sebenarnya anak dan cucu BUMN yang kemungkinan saat ini apabila ditanyakan kepada menteri BUMN pasti jawabannya tidak tahu. Mungkin saja bisa diatas 1.000 karena Pertamina dan KS saja memiliki 202 anak dan cucu usaha. Belum lagi yang dimiliki oleh 140 BUMN lainnya.
Luar biasanya lagi, para direksi BUMN tersebut juga menjadi komisaris di anak dan cucu usahanya dan Direksi anak usaha BUMN juga menjadi komisaris di cucu usahanya. Dari situ saja sudah bisa dipastikan telah terjadi praktek manajemen yang tidak baik. Bagaimana Direksi bisa fokus mengurus perusahaannya dikarenakan memiliki beberapa jabatan lain di anak dan cucu usahanya? Kemungkinan juga akan terjadi conflict of interest dan abuse of power di perusahaan-perusahaan tersebut.
Praktik transfer of pricing, mark up, manipulasi termasuk rekayasa keuangan akan sangat mudah dilakukan karena sistim pengawasan yang sangat rendah serta para pengurus perusahaan hanya di lingkaran itu saja.
Kerugian BUMN bisa saja terjadi karena beban usaha dari anak dan cucu akibat praktek bad governance termasuk juga beban usaha lainnya diantaranya biaya gaji dan lain-lain yang membengkak kemudian dibebankan ke BUMN sebagai pemegang saham.
Lebih diperparah lagi, anak dan cucu usaha tidak ada hubungannya dengan core business BUMN tersebut. Misal saja, Garuda memiliki cucu usaha yang bergerak di bidang pengiriman paket. Pertamina memiliki cucu usaha di bidang pencucian mobil.
Sehingga tidak salah apabila banyak pihak menduga bahwa anak dan cucu usaha BUMN tersebut didirikan untuk kepentingan orang-orang yang tidak bertanggung jawab sebagai bancakan uang negara dan membangun kerajaan bisnis mereka saja.
Tidak aneh memang, apabila kinerja BUMN masih jeblok hingga saat ini karena corporate restructuring serta aksi korporasi yang telah dilakukan selama ini hanyalah sekadar window dressing untuk menggelembungkan asset dan modal melalui revaluasi asset dan merger untuk menarik modal dari IPO maupun pinjaman.
Dimana dana yang diperoleh oleh BUMN bukan digunakan untuk meningkatkan produktifitas core business-nya, melainkan digunakan untuk menutup kerugian BUMN tersebut, termasuk kerugian anak dan cucu usahanya serta untuk membayar hutang.
Lebih celaka lagi, hutang dan piutang usaha terjadi diantara BUMN dan anak cucu usahanya. Apabila terjadi piutang macet maka semuanya akan terkena dari bawah hingga keatas seperti lingkaran setan. Hanya mutar-mutar di situ saja.
Salah satu aksi korporasi yang terlihat setengah setengah dilakukan adalah akuisisi saham Pertagas oleh PGN yang seharusnya, setelah dilakukan akuisisi diikuti dengan aksi merger. Merger PGN, Pertagas dan perusahaan-perusahaan sejenis (yang sama core business-nya) agar diperoleh efisiensi dan kontrol terhadap anak usahanya. Namun sepertinya tidak dilakukan, dan entitasnya tetap dibiarkan terpisah.
Pertamina misalnya bisa menjadi holding migas dan kemudian memiliki subholding PGN yang bergerak di bidang gas (hasil merger dengan Pertagas dan perusahaan sejenisnya), subholding minyak yang corenya adalah minyak, subholding logistik misalnya yang khusus di bidang logistik.
Dimana keseluruhan anak usaha Pertamina mendukung core business-nya dan menjadi semacam holding khusus migas. Namun apapun aksi korporasi ataupun corporate restructuring seyogyanya setelah dilakukan pemetaan/review yang mendalam terhadap keseluruhan 142 anak cucu Pertamina.
Barangkali nantinya Pertamina cukup memiliki 30an anak usaha dengan beberapa subholding, sisanya mungkin ada yang dilikuidasi, dimerger atau dipindahkan ke BUMN atau subholding BUMN lain yang sejenis core business-nya.
Tidak seperti sekarang ini, Pertamina bergerak di mainstream, midstream dan upstream mulai dari lapangan minyak, gas hingga charter pesawat dan pencucian mobil. Sebagian besar anak dan cucu BUMN menyimpang dari corenya dan mengurusi segalanya dan bahkan seolah enggan membagi kue kepada pihak swasta dan UMKM.
Padahal BUMN diharapkan bukan hanya menjadi penggerak utama perekonomian nasional tapi juga buffer ekonomi dan katalisator perekonomian nasional bersinergi dengan seluruh sektor ekonomi nasional termasuk swasta dan UMKM.
Sepertinya di struktur Kementerian BUMN tidak ada internal auditor yang bertugas khusus untuk melakukan audit manajemen dan keuangan secara berkala kepada seluruh BUMN dan anak cucunya, sehingga bisa diperoleh deteksi lebih dini atas masalah-masalah yang terjadi di tubuh BUMN serta anak cucunya.
Patut diduga selama ini laporan manajemen termasuk Laporan keuangan internal maupun audited dari BUMN tidak benar-benar dipelajari dan dikoreksi oleh Kementerian BUMN. Kemungkinan saja BUMN selama ini hanya menampilkan Consolidated Financial Statement walaupun dalam laporan long form tapi pasti informasinya sangat minim apalagi mengenai kinerja anak cucu usahanya.
Fenomena yang terjadi dalam tubuh BUMN saat ini dapat dikatakan telah terjadi “sistemik mis mangement” dan ini sangat berbahaya seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.Memang sepatutnya pembenahan BUMN yang sedang dilakukan oleh Erick Thohir sebaiknya tidak hanya di level atas BUMN tapi juga dengan membenahi anak cucu usahanya.
Rekayasa ulang bisnis proses dan bisnis model mulai cucu dan anak usaha hingga ke BUMN/holdingnya. Agar didapat peta yang menyeluruh dari seluruh entitas termasuk jenis usaha, sistem manajemen, keuangan dan sebagainya.
Sehingga akan menjadi dasar kebijakan strategis kementerian BUMN untuk memangkas anak cucu usaha, melakukan merger, dikelompokkan di dalam satu subholding atau holding. Agar BUMN benar benar bisa menjadi backbone perekonomian nasional, katalisator perekonomian dan juga buffer perekonomian.
Untuk itu BUMN perlu sehat dahulu dan bukan hanya menjadi mitra bagi swasta, UMKM dan lain-lain tapi juga mampu menahan gejolak ekonomi global bahkan bersaing ditingkat global. Bahkan candaan netizen yang menyebut BUMN itu bukan singkatan “Badan Usaha Milik Neneklu” harus dikembalikan menjadi “Badan Usaha Milik Negara”, miris memang tapi begitulah kenyataannya.
Belum lagi kita sudah mendengar beberapa BUMN yang terlilit hutang dan menderita kerugian puluhan triliun akibat fraud dan tata kelola yang buruk, sehingga menambah panjang daftar kebobrokan BUMN kita.
Dan setelah itu tinggal minta ke negara untuk suntikan modal atau penyertaan atau setidaknya dana talangan karena tidak mungkin lagi dalam keadaan rugi besar melakukan IPO atau pinjaman komersial ke lembaga keuangan.
Kita tidak perlu lagi membahas bagaimana dampak covid-19 kepada BUMN karena sudah pasti akan semakin memburuk, karena dalam keadaan yang normal saja sebagian BUMN memiliki kinerja yg buruk.
Baru baru ini tersiar kabar bahwa Kementerian BUMN telah memangkas 35 BUMN yang terbagi dalam 12 klaster dari semula 27 klaster berdasarkan value chain, supply chain dan sinergi core bisnisnya.
Apakah restrukturisasi tersebut sudah cukup selain juga dengan melakukan perombakan di jajaran direksi dan komisaris? Tentu saja jawabannya tidak cukup karena masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam pembenahan holistik BUMN di negeri ini.
Semoga Pemerintah melalui Kementerian BUMN mampu menyelesaikan pekerjaan "cuci piring sisa pesta bertahun tahun" secara cepat dan tepat, dan semoga akan lebih banyak "darah baru dan sehat" yang disuntikkan ke tubuh sakit BUMN agar tercipta spirit baru dan kultur baru di tubuh BUMN kita tercinta. rmol.id
Dr. Andi Desfiandi
Penulis adalah Ketua DPP Pejuang Bravo Lima Bidang Ekonomi, Ketua Lembaga Perekonomian NU Lampung, Ketua IKA Unpad Komda Lampung
Partner Sindikasi Konten: rmol
Diterbikan: oposisicerdas.com
Editor: Cici Farida
Foto: Dr. Andi Desfiandi/Net
Cuci Piring Ala BUMN
Reviewed by Admin
on
Rating:
Tidak ada komentar