Din Syamsuddin Urai Syarat Pemakzulan Pemimpin Menurut Pandangan Tokoh Islam
Kebebasan berpendapat dan pemakzulan, dalam perspektif Islam dan politik Islam telah banyak disuarakan oleh para ulama atau tokoh pemikir Islam. Sebut saja Muhammad Abduh, Al Mawardi, Imam Al Ghazali hingga Rasyid Ridha yang telah menjelaskan secara terperinci dalam beberapa karya mereka.
Disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat merupakan sebuah hak asasi yang diberikan Allah SWT. Dalam firman-Nya, manusia bahkan dipersilakan untuk memilih beriman ataupun sebaliknya. Termasuk terkait pemakzulan pemimpin, meski dengan sejumlah catatan dan syarat untuk melakukannya.
Begitu kata Ketua Center For Dialogue and Cooperation Among Civilizations (CDCC) Din Syamsuddin saat mengisi diskusi daring bertajuk "Menyinggung Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19" yang digelar oleh Mahutama dan Kolegium Jurist Institute, Senin (1/6).
"Kebebasan itu adalah hak manusiawi, hak makhluk. Bahkan sang pencipta Allah SWT mempersilakan manusia mau beriman maupun tidak beriman (Mas Syafira AU Imma Kafura). Ini pangkal sebuah kebebasan," ujar Din Syamsuddin.
"Ada Haqqul Muaradhah atau hak untuk mengkritik, mengoreksi, dan bahkan nanti hak untuk mengambil kembali amanat yang telah diberikan-Nya, itu yang disebut dengan pemakzulan," sambungnya.
Din mengurai, kebebasan berpendapat menurut Muhammad Abduh itu bersifat transendental atau suci karena tidak hanya melibatkan manusia, tetapi juga Tuhan.
Sementara, pemakzulan sendiri berasal dari bahasa Arab, “azala” yang artinya itu mencopot sesuatu menyingkirkannya ke samping, sehingga dia tersingkir.
Din menambahkan, di dalam tradisi pemikiran politik Islam ada beberapa gradasi dari istilah pemakzulan itu. Antara lain; ada yang sekedar Azlul Hakim penyingkiran dalam arti penyingkiran pencopotan. Tapi ada tingkatan yang tertinggi, yaitu al-huruj anil hakim atau keluar karena rakyat memberontak, melakukan aksi-aksi amar maruf nahi mungkar.
"Tentu karena ada syarat-syarat tertentu," tegas mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Istilah pemakzulan, dalam pemikiran Islam dan pemikiran politik Islam sangat tegas dan keras karena terkait amanat kepemimpinan yang suci dan bukan saja terkait amanat rakyat tapi juga ada amanat Tuhan di dalamnya.
Teoritikus dan pemikir Islam, Al Mawardi misalnya, memaknai pemakzulan imam atau pemimpin bisa dilakukan jika syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Terdapat tiga syarat.
Pertama, adamul adli atau ketiadaan keadilan. Menurutnya, jika seorang pemimpin sudah tidak berlaku adil bersifat adz-ulmu yaitu kedzoliman. Atau sudah tidak menciptakan keadilan bagi masyarakatnya, dengan kata lain hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya daripada yang lain, terjadi kesenjangan sosial ekonomi, ini diperbolehkan pemakzulan.
"'Adamul adli itu syarat sudah dapat dilakukan pemakzulan," kata Din Syamsuddin.
Kemudian, Al Mawardi juga mengisyaratkan ‘adamul ‘ilmi atau ketiadaan pengetahuan atau kelangkaan visi, terutama tentang cita-cita hidup berbangsa dan bernegara itu sendiri. Dalam konteks negara modern visi itu adalah cita-cita nasional suatu bangsa. Jika keadilan tidak mampu untuk diwujudkan oleh seorang pemimpin maka bisa menjadi syarat bagi pemakzulan.
Selanjutnya, 'adamu syaukah atau ‘adamu tasharruf kehilangan kewibawaan karena kehilangan dan kekurangan kemampuan untuk memimpin.
Jika seorang pemimpin, terdikte oleh kekuatan-kekuatan lain, baik warganya atau orang terdekatnya untuk bisa menjalankan kepemimpinannya. Maka, menurut Al-Mawardi bisa dilakukan pemakzulan.
Din Syamsuddin menambahkan, tak jauh berbeda dengan pandangan filsuf sekaligus pemikir Islam, Al Ghazali yang menyatakan bahwa salah satu syarat bisa dilakukannya pemakzulan jika seorang pemimpin berlaku zalim dan represif diktatorsif terhadap rakyatnya.
"Imam Al Ghazali menyetujui bahkan memungkinkan adanya pemakzulan pemimpin itu. Dalam istilah beliau jika ada Adzulmu atau kedaliman atau ketidakadilan represif diktatorsif" tuturnya.
Tak hanya itu, pemikir Islam lainnya seperti Rasyid Ridha justru menyerukan bahwa ketidakadilan harus dilawan. Tujuannya, demi terciptanya kehidupan masyarakat yang lebih maslahat.
"Rasyid Ridha bahkan menyerukan kepada rakyat untuk melawan pemimpin yang zalim, tidak adil dan terutama jika kepemimpinannya itu membahayakan kehidupan bersama," ujar Din Syamsuddin.
"Oleh karena itulah, dalam kaitan ini saya hanya ingin memberikan perspektif pemikiran Islam bahwa yang dibahas, saya katakan memiliki landasan pada agama Islam dan pada pemikiran politik Islam. Dan absah adanya kalau kita ingin membicarakannya. Terutama untuk kehidupan kemaslahatan kehidupan kita bersama berbangsa," imbuhnya menegaskan.
Partner Sindikasi Konten: rmol
Diterbikan: oposisicerdas.com
Editor: Windha Pramitasari
Foto: Potongan video Ketua Center For Dialogue and Cooperation Among Civilizations (CDCC) Din Syamsuddin saat mengisi diskusi daring bertajuk "Menyinggung Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19" yang digelar oleh Mahutama dan Kolegium Jurist Institute, Senin (1/6)/RMOL
Din Syamsuddin Urai Syarat Pemakzulan Pemimpin Menurut Pandangan Tokoh Islam
Reviewed by Admin
on
Rating:
Tidak ada komentar