Muslim Myanmar Digantung Junta Militer di Masjid, Dipakaikan Baju Wanita
Bulan Ramadhan 1442 Hijriah dijalani dengan penuh ketakutan oleh umat Muslim
di Myanmar. Itu setelah junta militer berani membunuh jemaah yang berada di
masjid.
Hal itu terjadi di tengah kota Yangon, di mana mayoritas warga muslim
Myanmar bermukim. Pada pekan pertama Ramadhan, satu Muslim digantung junta
militer di dalam masjid.
Tak hanya itu, jemaah itu digantung dengan dipakaikan baju perempuan. Namun
hingga kekinian, junta militer belum memberikan keterangan resmi terkait
tragedi tersebut.
Daw Zi, bukan nama sebenarnya, mengakui menyaksikan militer Myanmar
mengeksekusi jemaah tersebut. Daw Zi termasuk di antara yang melayat pemuda
yang sering menjaga masjid itu.
"Sangat menyedihkan dan sangat sulit kondisi di sini...Pemuda itu sendiri di
masjid saat ditangkap dan meninggal," kata Daw Zi, bukan nama sebenarnya,
perempuan berusia 35 tahun.
Warga Muslim yang tinggal di seputar tempat tinggalnya itu termasuk orang
Myanmar sendiri, orang Rohingya dan Muslim dari Asia selatan.
"Kami takut ke masjid pada malam hari. Tak ada yang berani. Kami pulang ke
rumah sebelum maghrib dan melakukan tarawih di rumah. Kami buka puasa juga
di rumah. Tak aman salat di masjid," tambah perempuan keturunan Rohingya ini
kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin.
Kabar yang terjadi di Mandalay pada hari pertama Ramadhan juga terdengar
oleh mereka di Yangon.
Today in Mandalay the fascist military attacked three mosques, killed a man & injured 4 ppl who’re inside the mosque compound. The Fascist military have been targeting minority religions and killing indiscriminately. @RapporteurUn @ahmedshaheed @Milktea_Myanmar @cvdom2021 #Burma pic.twitter.com/AbRlV9kgsf
— Kyaw Win (@kyawwin78) April 15, 2021
Seorang pria berusia 28 tahun meninggal ketika tentara melepaskan tembakan
ke arah masjid Maha Aungmyay, Mandalay.
Kala itu, sang pemuda tengah tertidur, setelah beribadah di masjid, menurut
Myanmar Now, media online independen.
Media ini mengutip para saksi mata yang mengatakan tentara langsung
melepaskan tembakan dan Ko Htet, pemuda itu, ditembak, di dada dan meninggal
di tempat.
Daw Ma Aye, perempuan berusia pertengahan 20an, yang tinggal di Yangon
mendengar kabar ini dan mengatakan, "Kami sama sekali tak aman. Mereka
seolah memberi kami kebebasan semu yang dapat diambil kapan saja."
"Akan selalu ada penahanan tak terduga-duga tanpa alasan apapun. Jadi sama
sekali tak aman untuk salat di masjid," katanya lagi kepada BBC News
Indonesia.
Ketakutan menjadi sasaran
Selain Daw Zi, dan Daw Ma Aye, anak muda Muslim lain, U Jee, bukan nama
sebenarnya, juga merasa was-was dan selalu berwaspada, dan takut menjadi
incaran.
"Tidak, kami tak bisa tarawih karena jam malam. Namun militer juga secara
rutin dan random memeriksa masjid. Mereka dapat menahan orang yang
berkunjung ke masjid dan membuat orang takut pergi ke masjid, karena itu
sejumlah masjid tutup," cerita U Jee.
"Selama siang hari, sebelum buka puasa, orang-orang di tengah kota mencoba
menjual makanan di tengah situasi penuh risiko dan bahaya. Mereka perlu
menjual sesuatu untuk menyambung hidup."
"Setelah jam 19:00 malam, semuanya tutup, orang-orang di dalam rumah dan
berdiam. Sepanjang malam, banyak polisi dan tentara yang berpatroli di
seputar tengah kota," tambahnya.
Daw Zi, Daw Ma dan U Jee termasuk anak-anak muda yang ikut serta dalam
protes besar yang pecah setelah militer melancarkan kudeta pada 1 Februari
lalu.
Dari ketiga mereka, hanya Daw Zi yang orang Rohingya.
Cecep Yadi, seorang warga Indonesia yang berteman baik dengan ketiganya saat
tinggal di Yangon, mengatakan kondisi saat ini benar-benar traumatis buat
semua.
"Ramadan tahun lalu sangat peaceful (damai) yah... Aktifitas seperti
biasa... Tempat belanja, pasar, restoran buka seperti biasa.. Warga Muslim
juga berpuasa dengan lancar dan damai," kata Cecep.
Namun dalam dua bulan terakhir, anak-anak muda Myanmar, tak terkecuali
termasuk yang Muslim berada dalam kondisi kekhawatiran.
"Mereka benar-benar trauma dan sedih, melihat orang meninggal setiap hari,
di depan mata... Meninggal karena disiksa, dibunuh oleh polisi dan tentara,"
kata Cecep Yadi, yang meninggalkan Myanmar akhir Maret.
"Saya sendiri sangat trauma dua bulan di zona perang, menyaksikan apa yang
terjadi dan dengan perjuangan keluar dari Myanmar. Kesedihan dan trauma
terberat yang pernah saya alami," tambah Cecep.
Ia mengatakan upaya untuk keluar dari negara itu cukup berat dengan surat
dari KBRI dan penjagaan tentara di polisi sampai ke bandara.
Protes besar yang diikuti ribuan orang di banyak kota di Myanmar sepanjang
Maret lalu dibalas militer dengan kekerasan dan menyebabkan paling tidak 700
orang meninggal, termasuk puluhan anak-anak, sementara banyak lainnya
ditahan.
Tambah suram bila militer mendapat kekuasaan lebih
Ronan Lee, seorang pengamat dari International State Crime Initiative -
komunitas yang meneliti dokumen kejahatan negara - mengatakan kondisi Muslim
di Myanmar khususnya warga Rohingya akan "tetap suram."
Lee mengatakan kondisi Muslim Rohingya akan semakin parah bila junta
mendapatkan kekuasaan lebih.
Ia mengatakan, seperti dikutip South China Morning Post, mereka "sangat
rentan atas penyiksaan lebih lanjut oleh militer."
Lee, yang juga penulis buku Myanmar's Rohingya Genocide: Identity, History
and Hate Speech, mengatakan sering matinya internet dan penahanan para
wartawan juga membuat kondisi lebih sulit untuk mengangkat nasib warga
Rohingya.
Nasir Zakaria, direktur eksekutif Rohingya Culture Centre yang berkantor di
Chicago, Amerika Serikat, memperingatkan bahwa warga Muslim Rohingya berada
"di ambang bahaya besar."
"Tidak ada cara untuk melindungi mereka. Militer sangat kuat. Orang Rohingya
bisa ditahan, dibunuh, diculik dan diperkosa," kata Nasir.
Sementara Ronan Lee mengatakan kekejaman yang dihadapi warga sipil Rohingya
pada 2017 termasuk pembunuhan, penahanan, perkosaan dan mereka sama sekali
tak berdaya menghadapi tentara dengan senjata lengkap.
Lee mengatakan sekitar 140.000 warga Rohingya dikumpulkan di kamp
konsentrasi di negara bagian Rakhine, tempat mereka dipaksa tinggal sejak
2012.
Ia mengatakan mereka yang berada di luar kamp menjalani apa yang ia sebut
"sistem aparteid" dengan pembatasan bergerak termasuk ke desa-desa
sekitarnya, akses pendidikan, kesehatan dan bekerja juga terbatas.
"Genosida yang didokumentasikan oleh PBB tak berubah banyak dalam
tahun-tahun terakhir ini dan di desa-desa Rohingya terlihat kemiskinan dan
ketakutan terhadap militer," kata Lee mengacu pada laporan PBB pada 2019
tentang kondisi Rohingya.
Dalam laporan itu PBB menyimpulkan terjadi "risiko serius aksi genosida akan
kembali terjadi."
Sejak kudeta 1 Februari lalu, para pengamat mengatakan mayoritas etnis Bamar
lebih bersimpati atas nasib warga Rohingya.
Salah satu kelompok sipil bulan lalu bahkan berjanji untuk mencari keadilan
bagi kelompok minoritas itu. Tetapi tak banyak yang mereka lakukan untuk
melindungi Rohingnya dari militer.
Nay San Lwin, pendiri Free Rohingya Coalition - jaringan global para aktivis
Rohingya - menyatakan kekhawatiran bahwa pemimpin militer Min Aung Hlaing,
yang merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi,
akan meluncurkan kekerasan lagi terhadap warga Rohingya.
"[Min Aung Hlaing] pernah mengatakan bahwa krisis Rohingya adalah masalah
yang belum selesai sejak Perang Dunia II," kata Nay San Lwin.
Bagi Daw Zi dan teman-temannya, anak-anak muda Myanmar, di tengah
ketidakpastian ini, ia hanya mengatakan, "Kami tak tahu apa yang akan
terjadi namun kami tetap ingin demokrasi untuk kebebasan."
Source:
Silahkan Klik Link Ini
Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Jenazah umat muslim Myanmar yan ditembak mati junta militer dalam masjid di Mandalay. [twitter]
Muslim Myanmar Digantung Junta Militer di Masjid, Dipakaikan Baju Wanita
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar