Breaking News

Mayoritas Pemohon Klaim JHT Berusia di Bawah 30 Tahun


Polemik terkait Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 terus menggelinding. Pemerintah diminta tidak kaku menerapkan aturan pencairan jaminan hari tua (JHT). Sebab, uang tersebut adalah milik pekerja, bukan pemerintah.

”Uang JHT itu hak pekerja. Kalau mau diambil, ya itu hak dia tanpa perlu menunggu berusia 56 tahun,” kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah kemarin (13/2).

Trubus mengusulkan, perlu dibuat regulasi yang sifatnya sukarela untuk mencairkan atau tetap menyimpan dana JHT tersebut. ”Mau menyimpan atau menarik uangnya, itu hak pekerja. BPJAMSOSTEK sebatas memberikan penawaran,” tuturnya. Menurut Trubus, BPJAMSOSTEK harus memberikan informasi yang terbuka dan pasti.

Terutama soal keuntungan atau benefit ketika dana itu tetap dititipkan hingga usia 56 tahun.

BPJAMSOSTEK harus bisa meyakinkan pekerja bahwa dana JHT yang mereka kelola berkembang berapa persen.

Jadi, cara komunikasinya hampir sama dengan petugas bank yang menawarkan deposito. Bank bisa menjelaskan dana deposito yang disimpan setiap tahun berkembang sekian persen.

Dia memahami jika aturan JHT yang baru tersebut menuai polemik di masyarakat. Sebab, aturan itu merugikan buruh yang berhenti bekerja. Apakah itu karena dipecat, PHK, atau alasan lainnya. Sampai saat ini dia tidak pernah mendengar adanya jaminan dari BPJAM SOSTEK atau pemerintah, dana yang ditempatkan itu akan berkembang seberapa besar.

Selain itu, Trubus mengatakan, minimnya informasi dari pemerintah bisa memicu tudingan-tudingan miring. Misalnya, apakah kebijakan tersebut diambil karena BPJAM SOSTEK tidak memiliki uang tunai untuk membayar JHT para pekerja yang terkena PHK. Seperti diketahui di tengah pandemi Covid-19, banyak pekerja yang diberhentikan dari tempat kerjanya.

Kemudian, muncul tudingan lagi, jangan-jangan JHT tidak boleh diambil sampai usia 56 tahun karena terjadi salah kelola. Baginya, salah kelola dalam skema asuransi seperti itu bukan sesuatu yang mustahil. Apalagi, publik baru saja dihadapkan pada megaskandal asuransi Jiwasraya dan ASABRI. Jangan sampai kasus di dua perusahaan asuransi itu juga terjadi di BPJAMSOSTEK yang mengelola uang Rp 536 triliun lebih.

Sementara itu, Asisten Deputi Humas BPJAMSOSTEK selaku Pps Depdir Humas dan Antarlembaga Dian Agung Senoaji mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk memastikan pengelolaan dana JHT dilaksanakan secara transparan sesuai dengan ketentuan. Tujuannya, memberikan imbal hasil yang optimal. Dia menuturkan, tingkat imbal hasil yang diupayakan BPJAMSOSTEK adalah minimal setara rata-rata bunga deposito bank pemerintah.

Dia mengatakan, bagi pekerja yang terkena PHK atau kehilangan pekerjaan, ada jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Dalam program itu tidak ada tambahan iuran yang dipungut dari pekerja maupun pemberi kerja. Besaran JKP tersebut adalah 45 persen dari upah yang dilaporkan ke BPJAMSOSTEK untuk tiga bulan pertama. Kemudian susut menjadi 25 persen upah untuk tiga bulan berikutnya.

Pada bagian lain, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati menjelaskan, pada hakikatnya dana JHT adalah hak pekerja. Jika hak untuk menggunakan dibatasi harus sampai berusia 56 tahun, peraturan itu akan memberatkan pekerja yang membutuhkan jaring pengaman sosial di waktu yang serbasulit saat ini. ”Peraturan itu harus dicabut,” tegasnya.

Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, hingga Agustus 2021 ada 1,49 juta kasus klaim JHT. Mayoritas pemohon adalah korban PHK dan pengunduran diri dengan usia di bawah 30 tahun atau usia produktif. Artinya, lanjut dia, pekerja yang mencairkan JHT adalah mereka yang memang membutuhkan. Mereka di-PHK dan mundur dari perusahaan disebabkan dampak pandemi. Mereka membutuhkan dana JHT untuk bertahan sembari berusaha mencari pekerjaan baru. ”Kalau aturan JHT kini hanya bisa dicairkan saat usia pensiun, jaring pengaman untuk mereka yang di-PHK belum ada,” sebut Mufida kepada Jawa Pos kemarin.

Bagi Mufida, peraturan tersebut tidak sensitif atas kondisi masyarakat saat ini. Setelah pekerja mengalami PHK dengan kesempatan kerja yang semakin sulit serta kebijakan pengusaha yang lebih memilih menjadikan pekerjanya sebagai pegawai kontrak (PKWTT), dana JHT tersebut merupakan harapan terbesar pekerja sebagai dana untuk menyambung hidup dan modal usaha.

Menurut dia, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dana uang pesangon dari pengusaha sangat sulit dan perlu waktu yang lama bagi pekerja untuk mendapatkannya. ”Karena itu, JHT menjadi harapan terbesar karena langsung cair setelah satu bulan masa tunggu,” kata dia.

Mufida menambahkan, peraturan itu merupakan lanjutan kebijakan yang tercantum dalam UU Cipta Kerja. JHT dalam perspektif pemerintah adalah dana yang bisa diatur-atur pemerintah yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Peraturan tersebut semakin menegaskan filosofi dan politik kebijakan ketenagakerjaan pemerintah saat ini yang mementingkan ekonomi. Dengan perlambatan pencairan JHT tersebut, akan semakin besar dana terparkir di BPJAMSOSTEK. Hal itu tentu saja menyebabkan kecurigaan yang semakin besar kepada pemerintah.

Politisi PKS itu menambahkan, dana tersebut hakikatnya tetap milik pekerja. Maka, kebijakan tentang proses penggunaan dana peserta BPJS Ketenagakerjaan harus berpihak kepada pekerja sebagai pemilik dana utama. ”Jika teman-teman pekerja merasa dirugikan dengan permenaker tersebut, kami dukung untuk dicabut,” tandasnya.

Sumber: jawapos
Foto: DEMI PERBAIKAN KESEJAHTERAAN: Ribuan buruh dari berbagai organisasi serikat pekerja se-Jawa Timur berunjuk rasa di depan Gedung Negara Grahadi, Senin (29/11/2021). (Dipta Wahyu/Jawa Pos)
Mayoritas Pemohon Klaim JHT Berusia di Bawah 30 Tahun Mayoritas Pemohon Klaim JHT Berusia di Bawah 30 Tahun Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar