Pertamax Meroket, Mengapa Solar & Pertalite Langka?
Setelah PT Pertamina (Persero) pada hari kamis malam 31/3/2022 mengumumkan kenaikan harga eceran BBM jenis Pertamax Ron 92 menjadi Rp 12,500 perliter, berlaku mulai 1 April 2022. Tak lama berselang sehari kemudian, Sabtu BBM jenis Pertalite langka di berbagai SPBU daerah.
Sebab, selisih harga Rp 4.850 perliter antara Pertamax Ron 92 standar Euro 3 (perlu di check kandungan sulfurnya apakah sudah dibawah 50 ppm ?) dengan Pertalite Euro 2, telah memicu pengguna Pertamax migrasi besar besaran ke Pertalite, di prediksi sekitar 5persen dari 13 persen konsumen Pertamax telah beralih ke BBM Pertalite.
Meskpun banyak pihak mempertanyakan mengapa Malaysia bisa menjual Gasoline Ron 95 standar Euro 4 hanya Rp 7000,- perliter, sementara kita kualitas BBM hanya Euro 2 dan Euro 3 harganya selangit lebih mahal dari itu, karena BBM Pertamina yang memenuhi standar Euro 4 hanya Pertamax Turbo dengan Pertamina Dex.
Sudah pasti, dengan meningkat drastisnya pengguna Pertalite telah memberikan tekanan potensi kerugian lebih besar bagi Pertamina sendiri, karena konsumsi Premium dan Pertalite mencapai 83persen dari total konsumsi BBM Nasional, sangat signifikan dampaknya bagi cash flow Pertamina, wajar jika Pertamina membatasi suplai Pertalite dan Biosolar ke SPBU, karena tekornya besar sekali.
Anehnya lagi, Kementerian ESDM sudah sejak 10 Maret 2022 menetapkan Pertalite adalah jenis BBM penugasan menggantikan Premium, dengan kuota 23,04 juta KL (Kilo Liter) pada tahun 2022, namun baru diumumkan pemerintah oleh Dirjen Migas di depan DPR Komisi VII pada hari Selasa 29 Maret 2022.
Masih menurut Dirjen Migas Tutuka Ariaji didepan DPR Komisi VII, sampai dengan akhir Febuari ini saja, realisasi Pertalite sudah over kuota sebanyak 18, 5 persen, diperkirakan dengan konsumsi normal pada akhir tahun 2022 over kuota hanya 15 persen.
Sangat dipahami, akibat tidak dipatok berapa subsidi Pemerintah kepada Pertamina akibat kerugian harga jual Pertalite, meskipun akan diganti oleh Pemerintah, namun waktunya tak bisa cepat, bisa terjadi 3 sampai dengan 4 tahun akan datang baru dibayarkan pemerintah.
Hingga 31 Maret 2022, hutang Pemerintah kepada Pertamina mungkin sudah mencapai sekitar Rp 140 triliun, yaitu untuk talangan Minyak Tanah, Solar, Premium, Pertalite dan LPG 3 kg. Sayangnya dalam APBN 2022 subsidi yang dianggarkan hanya untuk Minyak Tanah, Solar dan LPG 3 kg, itupun dengan asumsi patokan harga minyak mentah USD 63 per barel, namun sudah berjalan sekitar 3 bulan ini harga minyak mentah dunia rata rata diatas USD 110 perbarel, maka dapat dipahami begitu runyamnya kondisi cash flow Pertamina saat ini.
Sementara, Pertamina setiap hari membutuhkan uang kontan yang banyak untuk bisa membeli dollar agar bisa beli lagi minyak mentah dan BBM setiap harinya sekitar 900.000 barel dari trader maupun NOC luar negeri untuk mengamankan stok BBM nasional selama 21 hari.
Karena, minyak mentah milik Pertamina dan milik negara dari produksi minyak dalam negara hanya sekitar 500.000 barel perhari, selebihnya minyak itu milik KKKS.
Jadi, setidaknya PT Pertamina Kilang Internasional dan PT Pertamina Patra Niaga setiap hari harus ada sekitar USD 150 juta atau setara Rp 2, 2 trilun untuk belanja minyak mentah dan HOMC 92 (High Octan Mogas Component) serta BBM untuk mengamankan pasokan dalam negeri, baik untuk membayar kepada trader, Pertamina Hulu Energi dan negara maupun KKKS lainnya.
Karena, saat ini infonya kilang Balongan lagi shutdowm ( berhenti produksi) akibat kegiatan TA ( Turn Around) atau perawatan skala besar yang terencana sejak Maret 2022.
Melihat realitas kondisi tersebut, telah dikomentari oleh Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan pada hari Jum'at 1/4/2022, bahwa " Pemerintah OTW akan menyesuaikan harga jual Pertalite, LPG 3 kg secara bertahap, mulai Juli dan September tahun ini".
Sehingga, untuk menjawab protes konsumen terhadap kelangkaan Biosolar dan Pertalite dari berbagai SPBU di daerah, jawaban Petugas SPBU dan Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting, tampak kompak bahwa Biosolar dan Pertalite OTW (On The Way) alias dalam perjalanan dan stock aman, tapi tak jelas berapa jam bisa sampainya, sehingga hal itulah membuat antrian kenderaan mengular panjang diberbagai SPBU daerah adalah pemandangan yang nyata.
Tapi lucunya, Dirut Pertamina Nicke Widyawati ketika kunjungan kerja ke Jambi pada hari Sabtu 2/4/2022, langsung menyaksikan sendiri terjadi antrian mengular di beberapa SPBU, dalam wawancara Nicke dengan supir truk batubara, Nicke malah menyuruh pemilik SPBU untuk menambah dispenser agar bisa mengurai antrian panjang itu.
Padahal, persoalan utama penyebab antrian panjang, akibat lamanya OTW Biosolar itu dari Depo BBM ke SPBU, bisa mencapai 10 jam hingga 24 jam bahkan lebih, meskipun lokasinya dekat dan jika harga minyak mentah dunia lagi murah waktu antarnya hanya 1 sd 2 jam paling lama, jadi bukan karena dispensernya kurang di SPBU.
Jadi, terlihat ada kepanikan Dirut Pertamina ketika melihat kenyataan di lapangan berbeda dengan laporan di kantor pusat, ibarat kata seperti orang yang kepalanya lagi pusing, tetapi dikasih obat sakit perut, ya gak nyambung jeck.
OLEH: YUSRI USMAN
Penulis adalah Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)
Sumber: rmol
Foto: Ilustrasi/Net
Disclaimer : Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Pertamax Meroket, Mengapa Solar & Pertalite Langka?
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar