Cerita Tjahjo Kumolo Semedi di Makam Sunan Kalijaga demi Keris
Di sela menimba ilmu hukum di Universitas Diponegoro, pada pertengahan 1980-an, Tjahjo Kumolo kerap menggunakan waktunya untuk berburu keris dan benda-benda antik lainnya. Tempat-tempat keramat menjadi lokasi yang lazim dikunjungi Tjahjo. Lelaki kelahiran Solo, 1 Desember 1957, itu suka bersemedi di makam para sunan (Wali Songo).
"Paling banyak ya di makam Sunan Kalijaga (di Kelurahan Kadilangu, Kabupaten Demak) karena saya masih trahnya," tutur Tjahjo Kumolo saat ditemui untuk program Blak-blakan detikcom, 8 Juni 2020.
Di meja kerjanya, terpajang dua bilah keris yang salah satunya berukiran huruf Arab. Koleksi keris di kediamannya lebih banyak lagi. Ada lebih dari seratus buah yang berasal dari Kerajaan Kediri, Singosari, Mataraman (Yogyakarta dan Solo), hingga Madura dan Bali. Ada keris pegangan raja, patih, para menteri, panglima perang, dan lainnya.
Tjahjo Kumolo mengaku sebagian koleksinya merupakan pemberian orang lain. Bahkan, percaya atau tidak, ada juga keris yang dikoleksinya muncul begitu saja secara gaib. Sebelum resmi menjadi koleksi pribadinya, pada 4 Juni 2018, Tjahjo Kumolo pernah melaporkan keris komando bertakhta intan dari masa Majapahit di abad ke-14 ke KPK. Bersama koleganya sesama kolektor, setiap 1 Suro dia biasa menggelar acara khusus untuk membersihkan keris.
Meski koleksinya mencapai 100 buah, Tjahjo merasa masih kalah banyak dibandingkan dengan politisi Partai Gerindra, Fadli Zon. "Dia punya keris Minangkabau dan daerah lain di Sumatera. Saya punya juga keris (dari) Makassar," ujarnya.
Tiga keris asal Bali dan Jawa serta golok berbahan baja sepanjang lebih dari satu meter yang badannya bertuliskan doa-doa berbahasa Arab pernah disertakan dalam Pameran Keris Nusantara di Gedung DPR RI, 20 Mei 2015. Fadli Zon dan sejumlah tokoh lain ikut memamerkan koleksi keris dan barang antik mereka.
Di rumahnya di kawasan Jalan Potlot, Kalibata, foto-foto jadul, lukisan, hingga patung berunsur hewan, dari gajah sampai harimau melengkapi koleksinya. Tjahjo Kumolo juga mengoleksi batu dari Gunung Lawu pada 1985.
Selain itu, ribuan buku juga memenuhi rak-rak panjang, termasuk di kamar kerjanya sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB). Buku-buku itu merupakan koleksinya selama menjadi Menteri Dalam Negeri, 2014-2019. Selain referensi ilmu hukum, politik, sejarah, dan filsafat, biografi sejumlah tokoh dunia menghiasi rak bukunya.
Seusai wawancara ketika itu, Tjahjo Kumolo menghadiahi beberapa buku, antara lain 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat' karya Cindy Adams.
Sebelum hijrah ke PDI Perjuangan, 1985 itu berkiprah di Golkar. Tapi, di awal reformasi, ketika Golkar berubah menjadi Partai Golkar lewat Munas Luar Biasa, 1998, dia tak ikut bergabung. Dalihnya, tak merasa cocok dengan Akbar Tanjung yang memimpin partai itu.
Tjahjo kemudian sempat hendak merapat ke Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Partai itu disiapkan Jenderal (Purn) Edi Sudradjat seusai kalah suara dari Akbar Tanjung memperebutkan Golkar.
Belum resmi bergabung, Tjahjo Kumolo ditawari Panda Nababan bergabung ke PDI Perjuangan. Wartawan kawakan yang juga pendiri PDI Perjuangan itu segera mengajaknya bertemu dengan Megawati dan Taufiq Kiemas di Kebagusan.
"Saya ikut mobil Tjahjo. Saya masih ingat mobil dia saat itu Volvo tua, sudah butut," tulis Panda dalam otobiografinya, "Lahir Sebagai Petarung'. Dia mengaku kemudian belasan kali membawa Tjahjo agar bisa dekat dengan Mega dan Taufiq.
Cerita berbeda diungkap dalam buku 'Tanpa Rakyat Pemimpin Tak Berarti Apa-apa: Jejak Langkah 60 Tahun Taufiq Kiemas'. Di situ disebutkan bahwa Tjahjo berusaha masuk PDI Perjuangan melalui pengurus DPD PDI DKI Jakarta seperti Santayana Kiemas dan Audi Tambunan. Gayung bersambut, karena PDI pun sejatinya tengah mencari figur-figur politisi berpengalaman.
Saat bertemu di Kebagusan, Tjahjo pun langsung diminta membantu PDI Megawati. "Yo, lu masuk bantu partai, ya!" kata Taufiq.
Dengan jam terbang yang dimiliki sebelumnya, di "Kandang Banteng" Tjahjo langsung dipercaya sebagai Direktur SDM Litbang DPP PDIP, 1999-2002. Di DPR dia menjadi Ketua Fraksi selama dua periode, 2004-2009, 2009-2014. Pada Kongres III PDIP, Megawati menunjuk Tjahjo sebagai Sekretaris Jenderal PDIP (2010-2015) menggantikan Pramono Anung yang menjadi Wakil Ketua DPR (2014-2019).
Saat Jokowi menjadi Presiden, Megawati menitipkan suami dari Erni Guntarti itu untuk menjadi Menteri Dalam Negeri, 2014-2019. Di periode kedua, Tjahjo diminta membenahi birokrasi dengan menjadi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Kinerjanya sebagai MenPAN-RB tergolong baik. Paling tidak, Lembaga Klimatologi Politik pernah mencatatkan soal ini. Tjahjo disebutkan mampu menerapkan aturan-aturan yang baik di lingkungan kementerian. Khusus menjelang pilkada, langkah-langkah yang telah dilakukannya juga dianggap bagus, mengingat Kementerian Dalam Negeri bersama Kementerian PAN-RB sedang mengampanyekan gerakan netralitas PNS menghadapi pilkada serentak.
Saat PDI Perjuangan menggelar rakernas, 21-23 Juni, sosok Tjahjo Kumolo tak terlihat di deretan elit partai itu. Rupanya sejak sepekan sebelumnya dia menjalani perawatan intensif di RS Abdi Waluyo. Selain keletihan, belakangan diketahui dia mengidap sakit paru-paru, diabetes, dan asam urat.
Di hari baik, Jumat (1/7/2022), Tjahjo Kumolo mengembuskan nafas terakhir, meninggalkan Rahajeng Widyaswari, Karunia Putripari Cendana, dan Arjuna Cakra Candrasa. Tjahjo Kumolo dimakamkan di TMP Kalibata.
Sumber: detik
Foto: Almarhum Tjahjo Kumolo (dok. Prokompim Kota Magelang)
Cerita Tjahjo Kumolo Semedi di Makam Sunan Kalijaga demi Keris
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar