PBNU Tak Mau Terlibat Politik Praktis Lagi, Bisa Dimulai Dengan Batalkan Membangun Kantor di IKN
Berbicara tentang politik dalam negeri, Ketua PBNU, Yahya Cholil Staquf, kemarin mengeluarkan pernyataan bahwa NU tidak akan lagi terlibat dalam politik praktis. Pernyataan ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan masa depan politik Islam di Indonesia. Kita bisa membandingkan antara NU dengan Muhammadiyah sebagai sama-sama organisasi Islam terbesar dan sebenarnya juga punya sayap politik, meskipun tidak secara resmi. Rocky Gerung dan Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, membahas hal tersebut dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Kamis (29/12/22).
“Itu poin yang penting, tetapi kadang kala poin penting itu sekadar dibaca oleh publik sebagai reaksi saja, karena ada hiruk pikuk semua partai ingin dapat suara di Jawa Timur yang adalah basis NU lalu merasa bahwa NU potensial untuk menyumbang suara,” ujar Rocky gerung menanggapi pernyataan ketua PBNU.
Menurut Rocky, kalau ketua menerangkan lebih detail bahwa ini dia ucapkan terutama buat capres-capres yang sedang mengincar NU maka lebih jelas. Kalau hanya sekadar mengatakan bahwa NU tidak akan berpolitik prkatis, orang akan anggap apa pointnya. Mestinya Pak Yahya mengucapkan agar capres-capres tidak membujuk-bujuk NU, tidak usah cari suara di pesantren-pesantren. Itu baru ada mutunya. Walaupun kita tahu bahwa banyak tokoh-tokoh NU yang sudah terlibat politik dan sudah merasa nyaman dengan NU yang berpolitik.
Tetapi, sambung Rocky, NU adalah masyarakat sipil yang jauh lebih besar dari politik. NU jauh lebih panjang sejarahnya dari NKRI bahkan. NU moralnya ditanam dari awal oleh tokoh-tokoh yang bermutu dan kita selalu ingat bagaimana setiap Muktamar NU dari zaman Orde Baru pasti ada titipan istana, dan NU berupaya untuk tetap netral kendati harus mendayung di antara tujuh karang.
“Jadi tetap, suasana politisasi NU itu akan terus berlangsung dan ini yang saya kira tonggak baru kalau Pak Yahya ucapkan itu,” ujar Rocky. Artinya, menurut Rocky, dia ingin supaya NU betul-betul tumbuh sebagai pengasuh demokrasi, bukan pemain politik. Itu kira-kira. Sekaligus sebetulnya ini yang masuk akal karena sekarang kan dianggap oleh Pak Jokowi mengatakan berhenti politik identitas. Tetapi, NU adalah identitas sehingga tidak ada soal NU dengan identitas keislaman. Tentu tidak bisa dipaksa NU tidak memilih seseorang, tapi sebagai lembaga dia mesti memberi tahu bahwa dia tidak terlibat dalam politik, supaya orang berhenti untuk mengucapkan bahwa NU berpihak pada capres tertentu.
“Jadi, sebetulnya, inti yang penting dari Pak Yahya ucapkan dengan lebih tegas supaya NU silakan anggotanya, tetapi jangan sekali-kali kasih sinyal, entah itu lambang atau ras, supaya betul-betul NU diterima sebagai perekat bangsa,” tegas Rocky.
Diakui oleh Pak Yahya bahwa tidak mudah menarik NU keluar dari politik karena sejarahnya NU pernah menjadi partai politik tersendiri pada tahun 1952. Kemudian pada pemilu 1955 mereka menjadi kontestan politik sendiri bersaing dengan Masyumi. Saat itu, NU menjadi partai politik masuk 4 besar.
Menurut Rocky, memang ada sejarah pada waktu itu NU berupaya untuk menghadirkan identitas habis-habisan. Karena NU merasa mampu untuk bahkan boleh dikatakan bertanding dengan Muhammadiyah, dari situ kemudian ada semacam persaingan diam-diam. Muhammadiyah pun akhirnya tumbuh sebagai organisasi massa yang kita kenal, ada Universitas Muhammadiyah, sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tersebar, dan sekarang ada 200 Perguruan Tinggi Muhammadiyah. “Itu petanda bahwa Muhammadiyah mampu menetapkan diri sebagai lembaga masyarakat sipil yang berbasis Islam, tetapi dengan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Rocky.
Itulah yang menyebabkan orang melihat ada kemoderenan di dalam Muhammadiyah. NU tetap dianggap sebagai pendidikan pesantren dengan tema tradisional. Tetapi, NU juga mulai membuat universitas, rumah sakit, dan segala macam. “Jadi, kita lihat dua perkembangan dari masyarakat sipil muslim yang besar, NU dan Muhammadiyah, yang kalau digabung dia bisa memerintah Indonesia seumur hidup,” ujar Rocky.
“Jadi, sebetulnya, potensi bangsa ini untuk menumbuhkan harapan itu besar sekali, kecuali kemudian harapan itu diasuransikan pada 2 - 3 tokoh politik saja karena ada sumbangan amplop-amplop berkeliaran. Jadi boleh saja berpolitik, tapi dengan nilai, bukan dengan politik praktis seperti sekarang ini,” tegas Rocky. Jadi, tambah Rocky, yang dimaksud oleh Pak Yahya adalah berpolitik etis, berpolitik nilai. Itu fungsi dari NU, bukan berpolitik praktis yang intinya adalah pragmatis.
Bagaimana Anda melihat masa depan politik Islam di Indonesia yang kalau kita lihat trennya dari Pemilu ke Pemilu terus menurun? Menjawab pertanyaan tersebut, Rocky mengatakan bahwa itu gejala disebut sebagai profesionalisasi dalam politik. Sekarang orang mau melihat ide apa, bukan kelompok mana sebagai pendukung. Tetapi, ide itu tumbuh atau tidak di NU dan Muhammadiyah tentang masyarakat Indonesia 2045. Demikian juga ide tentang green economy, tumbuh atau tidak. Kalau NU pro penyelamatan lingkungan, kenapa menghalangi green peace pergi ke G20?
“Jadi, hal-hal seperti itu yang menurut saya mesti Gus Yahya rapikan, supaya ada satu pengertian bahwa NU mengerti masa depan dan karena itu tidak akan mengganggu masa depan yang harusnya hijau,” ujar Rocky.
Lalu apakah NU pro IKN? Menurut Rocky, itu hal yang mesti dijawab. Karena kalau kita mau jujur mengatakan bahwa NU akan tumbuh sebagai masyarakat sipil mestinya anti IKN karena IKN itu merusak lingkungan, memboroskan anggaran, dan segala macam. Muhammadiyah lebih tegas dalam soal itu, sedangkan NU malah akan membangun kantor di IKN. Pak Yahya nanti akan ditagih lebih banyak supaya sinyal politik Islam itu, baik Muhammadiyah maupun NU, tetap ada, tetapi dalam perspektif yang basisnya adalah nilai.
Sumber: fnn
Foto: Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Sumber: MI)
PBNU Tak Mau Terlibat Politik Praktis Lagi, Bisa Dimulai Dengan Batalkan Membangun Kantor di IKN
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar