Setara Institute: Pengakuan pada Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Sekadar Aksesori Politik Jokowi
Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui adanya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) dinilai sebagai aksesori politik semata.
“Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden, tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (12/1).
Menurut Ismail, Tim PPHAM yang hanya bekerja tidak lebih dari 5 bulan, dengan komposisi anggota yang kontroversial dan metode kerja yang tidak jelas, mustahil bisa merekomendasikan terobosan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara berkeadilan.
“Tim ini hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi tindakan bagi Presiden Jokowi membagikan kompensasi kepada para korban tanpa proses rehabilitasi yang terbuka dan tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu,” sesalnya.
Di sisi lain, Ismail menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM. Itu sama persis dan konsisten dengan yang telah disampaikan oleh Kemenkopolhukam bahwa Tim PPHAM memang tidak mencari siapa yang salah, namun lebih kepada menyantuni dan menangani korban untuk dilakukan pemulihan.
Padahal, kata Ismail, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial. Menurutnya, ada lompatan logika yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran namun telah mengambil jalur non-yudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas.
Atas dasar itu, Ismail menilai cara kerja Tim PPHAM sengaja didesain untuk melahirkan aneka kontradiksi dan paradoks dalam diskursus dan gerakan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu.
Sekalipun berkali-kali Menkopolhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa jalur yudisial tetap terbuka, tetapi dengan keputusan politik yang hanya menempuh jalur penyantunan pada korban, maka keputusan Presiden Jokowi akan menjadi referensi dan preseden sikap lanjutan pada dua tahun terakhir kepemimpinannya atau bagi presiden selanjutnya.
“Di sinilah kecerdikan Jokowi merespons isu politik penyelesaian pelanggaran HAM. Berhasil memetik insentif politik sebagai pemecah kebekuan tapi di sisi lain juga dicatat sebagai presiden yang berhasil menutup ruang bagi kerja lanjutan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui jalur yudisial,” pungkasnya.
Sumber: rmol
Foto: Presiden Joko Widodo/Net
Setara Institute: Pengakuan pada Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Sekadar Aksesori Politik Jokowi
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar