DPR: Banyak Bupati Sengaja Pertahankan Angka Kemiskinan, Kenapa?
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengungkapkan fenomena bupati dan walikota yang sengaja mempertahankan angka kemiskinan di daerahnya.
Dia menyoroti turunnya transfer dana desa dan insentif oleh pemerintah. Hal ini membuat perangkat walikota dan bupati justru mempertahankan angka kemiskinan agar mendapatkan insentif.
Dalam Rapat Dengan Pendapat (RDP) bersama Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan pada Rabu (8/2/2023), Misbakhun menyatakan saat ini desa-desa memilih tidak membangun desanya dengan baik lantaran takut tak mendapatkan insentif.
“Makanya sekarang banyak bupati, banyak walikota yang berlomba-lomba tetap ingin mempertahankan angka kemiskinannya supaya dapat insentif kemiskinan. Kalau mereka membangun dengan baik terus kemiskinannya turun, mereka tidak dapat insentif,” tuturnya seperti dikutip Bisnis, Rabu (8/2/2023).
Hal tersebut, lanjutnya, menunjukkan bahwa para pengambil kebijakan di tingkat pusat tidak menyiapkan pola insentif baru terhadap desa-desa yang memiliki prestasi. Alih-alih mendapatkan apresiasi, transfer dana untuk desa berprestasi itu justru dipangkas.
Selain itu, politisi Golkar tersebut juga menyampaikan kekhawatirannya terkait dengan transfer daerah. Dia melihat saat ini persentase transfer ke daerah semakin menurun. Padahal, katanya, pada saat bersamaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) acapkali menyampaikan pentingnya penguatan daerah.
“Simbolisasi desentralisasi keuangan adalah transfer daerah. Persentase tertinggi transfer daerah itu APBN 2016, sebesar 57 persen ketika kami semua di awal-awal pemerintahannya Pak Jokowi itu berusaha merealisasikan membangun Indonesia dari pinggir. Simbolisasi itu dapat,” ujarnya.
Berdasarkan data sementara milik Kementerian Keuangan, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sepanjang 2022 mencapai Rp816,24 triliun atau naik 3,89 persen year-on-year (yoy). Transfer ke daerah mencapai Rp748,33 triliun dan dana desa sebesar Rp67,91 triliun.
Secara umum, peningkatan penyaluran TKD didorong oleh penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) yang mencapai Rp168,41 triliun (119,93 persen dari pagu) atau tumbuh 43,75 persen yoy.
Kinerja Daerah
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa alokasi TKDD harus sesuai dengan kinerja. Hal ini dikarenakan masih ada sejumlah daerah yang tidak membelanjakan dana tersebut.
“Daerah ada yang dikasih uang [lalu] lenyap, tidak jadi apa-apa. Nah, yang seperti ini memang perlu pencairannya berbasis kemampuan dan kinerjanya,” ujarnya.
Pada saat bersamaan, Menkeu menyampaikan bahwa ada daerah yang mampu menciptakan perbaikan dari dana tersebut, semisal, kemiskinan dan angka stunting turun. Untuk daerah dengan kriteria ini, pemerintah akan memberikan block grant atau kas dalam jumlah tertentu.
Berdasarkan Undang-undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) transfer ke daerah berbasis kinerja. Hal ini bertujuan mendukung daerah sebagai garda terdepan dalam penyediaan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
“Karena kalau tidak [berbasis kinerja] sama saja kasih uang terus, hilang terus. Makanya, biasanya nanti dimulai apakah pembuatan tempat sampah, sanitasi, membuat BUMDes, atau membuat usaha lain di desa itu, bisa kami dukung dengan berbagai instrumen,” tuturnya.
Menkeu menjelaskan bahwa semakin suatu daerah mampu menunjukkan kompetensi dan hasil, maka transfer keuangan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan ekonomi.
Adapun salah satu poin UU HKPD adalah mengubah ketentuan pengelolaan transfer ke daerah. Hal tersebut mencakup dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otsus, hingga dana desa.
Perubahan ketentuan transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah ini bertujuan mendorong perbaikan kualitas belanja yang efisien dan efektif. Hasil akhirnya adalah kebijakan itu mampu memangkas ketimpangan fasilitas umum antardaerah.
Sumber: bisnis
Foto: Ilustrasi Warga Miskin Penerima PKH-BPNT/Net
DPR: Banyak Bupati Sengaja Pertahankan Angka Kemiskinan, Kenapa?
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar