Lulusan STAN “Maling” Uang Pajak? Pakar: Godaan Harta, Tahta dan Wanita Lebih Kuat daripada Skil!
Sekolah kedinasan milik Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Sekolah Tinggi Akuntan Negara (STAN) menjadi sorotan publik hingga pakar pendidikan dan hukum, pasca terungkapnya banyak pegawai yang juga lulusan sekolah kedinasan itu terjerat kasus pajak alias “maling” uang pajak.
Perlu diketahui bahwa, menjadi mahasiswa Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN memang tidak mudah, mahasiswa STAN melalui berbagai seleksi untuk bisa kuliah di kampus yang dikelola Kementerian Keuangan ini. Jangan heran, bila yang lulus menjadi mahasiswa STAN akan merasa sangat bangga.
Bagaimana tidak bangga, mahasiswa baru yang diterima di PKN STAN jumlahnya hanya sekitar beberapa persen dari seluruh pendaftar. Artinya, mahasiswa baru STAN merupakan yang terbaik dari yang terbaik dalam proses seleksi.
Bangga pula, karena setelah lulus STAN, mereka akan ditempatkan di sejumlah posisi strategis di lingkungan Kemenkeu seperti Dirjen pajak dan Bea Cukai. Sekolah yang dibiayai penuh oleh negara itu setelah lulus, langsung menjadi pegawai negeri.
Gaji dan tunjangan mereka pun jauh lebih tinggi dibanding PNS lainnya di Kementerian/Lembaga bahkan Pemerintah Daerah sekalipun.
Namun hasilnya, para pegawai pajak yang lulusan STAN seperti Gayus Tambunan, Angin Payitno, Rafael Alun Trisambodo menjadi contoh kecil bagaimana para pegawai pajak ramai-ramai “merampok” uang rakyat. Sudah sekolah gratis, gaji dan tunjangan besar, namun melakukan korupsi secara besar-besaran.
Karena itulah wajar saja pakar pendidikan hingga hukum menyoroti lulusan STAN ini, yang sebelumnya tak pernah terpikirkan publik kenapa bisa lulusan STAN itu tega “maling” uang pajak? Padahal gaji mereka dari pajak yang dipungut dari rakyat pula.
Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Rakhmat Hidayat, membenarkan, sekolah kedinasan STAN telah menjadi sorotan saat ini, karena banyak pegawai di Kemenkeu khususnya di Ditjen Pajak dan Bea Cukai tersandung kasus pajak.
Maka dari itu, sekolah kedinasan STAN harus di tinjau ulang keberadaanya. Menurutnya, kurikulum di STAN sangat berbeda dengan sekolah umum lainnya.
“Untuk yang STAN memang harus ditinjau ulang pendekatan kurikulumnya, mungkin kurang penguatan karakter ini lemah,” kata Rakhmat kepada Monitor Indonesia, Jum’at (10/3).
Lemahnya pembentukan karekter di sekolah kedinasan membuat mereka kerap melakukan penyimpangan ketika masuk dunia kerja. Bahkan dia memiliki pengalaman pribadi, dia memiliki kerabat yang dulunya sekolah kedinasan dan setelah lulus bekerja di salah satu Kantor Pajak di Jawa Barat.
Kerabatnya itu, lanjut dia menceritakan, ketika bekerja kerap melakukan permainan dengan para wajib pajak itu. “Teman dekat saya dia punya masalah, dia nakal, bermain mata dengan wajib pajak, menggelapkan pajak. Ini contoh bahwa sebenarnya di level pelaksana itu,” ungkapnya.
“Lulusan STAN ini kan level pelaksana, gelap mata karena bersinggungan dengan wajib pajak. Aparat pelaksana pajak bisa bermain mata. Bea Cukai parah juga di kelas receh,” sambungnya.
Contoh kecilnya, kata dia, kasus Kepala Bea Cukai di Jogjakarta dan Makasar itu seperti fenomena gunung es. Sebab, bukan rahasia umum lagi bahwa pegawai pajak suka bermain mata dengan para wajib pajak.
“Kepala Bea Cukai Jogja, Makassar itu fenomena gunung es, biasa karena bisa gelap mata, kelas bawah itu, biasa melakukan pola-pola itu (bermain mata dengan wajib pajak),” tandasnya.
STAN Produksi Koruptor?
Pakar Pendidikan dari Universitas Pendidikan Yogjakarta Prof. Suyanto menyakini tak ada sekolah di negeri ini yang mengajarkan para mahasiswanya untuk menjadi koruptor. Namun faktor lingkungan dan budaya korupsi di tempat kerjalah yang mempengaruhi pegawai-pegawai baru seperti di Dirjen Pajak dan Bea Cukai. Selain itu, korupsi semakin merajalela karena ada peluang.
“Saya kira korupsi (Dirjen pajak dan Bea Cukai) karena ada lingkungannya itu yang nggak kondusif. Lingkungan kerjanya itu eggak bisa seperti yang didengungkan dan pengawasan yang melekat gitu itu hanya semboyan saja. Kalau pengawasannya berjalan, enggak mungkin bisa punya mutasi rekening hingga 500 miliar, beli Rubicon untuk anaknya,” katanya kepada Monitor Indonesia, Jum’at (10/3).
Hidup hedonis para pegawai Pajak dan Bea Cukai sudah menjadi pemandangan umum di masyarakat sehari-hari. Korupsi tak dianggap lagi bukan aib sehingga berlom-lomba mencari sumber lain dengan berbagai cara.
Suyanto mencontohkan saat mahasiswa berpeluang menyontek, datang tidak tepat waktu itu merupakan contoh yang tidak disiplin. Karena korupsi itu pada prinsipnya adalah fragmentasi dari kedisiplinan orang.
Tak Punya Uang Banyak Tapi Hedonis
Kebutuhan disiplin pekerjaan, kata Suyanto, memiliki filtrasi keuangan kalau orang tidak punya uang tidak pula harus konsumsial hedonis.
“Kalau tidak begitu gimana? Kalau gajinya tidak cukup untuk beli Rubicon misalnya, tapi tetap mau nyari Rubicon otomatis harus cari cara untuk bagaimana biar bisa beli barang mewah seperti itu,” tuturnya.
Menurutnya, orang bisa korupsi karena pengawasannya yang tidak baik dan dan lingkungannya yang tidak baik.
Suyanto menilai tempat kerja seperti Dirjen Pajak dan Bea Cukai yang tidak bisa memberikan suatu situasi untuk belajar dengan baik bagi pegawai baru.
“Itulah yang disebut dengan sekolah kehidupan prioritas kehidupan soal performa sebenarnya sudah dijalani tetapi dalam situasi kehidupan tidak ada rambu-rambu tingkatan nilai yang sedang dipegang oleh institusi itu. Sehingga orang harus melanggar nilai-nilai yang tidak sesuai dengan etika kepantasan dan sebagainya,” bebernya.
Harusnya Garda Terdepan
Seharusnya lulusan STAN menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Sebab, mereka selama sekolah di kedinasan dianggarkan APBN. Namun, kata Suyanto, setelah masuk “Universitas Kehidupan” yaitu dunia kerja misalnya di Dirjen Pajak dan Bea Cukai mereka berlomba-lomba untuk mencari kemewahan.
“Sekali lagi karena bahasa kerennya orang itu kan ada kecenderungannya ada teori yang mengatakan bahwa orang itu sebetulnya adalah kecenderungan bakat untuk suap untuk tidak mau kerja sehingga perlu diawasi,” ucapnya.
Prof. Suyanto tidak yakin hanya satu atau dua pegawai atau pejabat pajak yang melakukan korupsi. “Mungkin banyak juga (dirjen pajak dan bea cukai) yang di sana tidak ketahuan saja. Ini kan ditemukan ada korupsi di bea cukai, ada korupsi di dirjen pajak ini kan seharusnya ada reformasi, harus ada pemberdayaan lagi kalau nggak masyarakat nggak percaya lagi,” katanya.
Godaan Harta, Tahta dan Wanita
Selain pakar pendidikan, akademisi hukum pun turut menyoroti lulusan STAN itu.
Kurnia Zakaria yang juga pakar hukum pidana dari Univesitas Indonesia (UI) menilai kelemahan dalam sistem sekolah kedinasan adalah pengajaran budi pekerti tentang karakter melayani, moralitas yang berakhkak dan beriman serta etika luhur, nilai-nilai kinerja dan integritas atas kewenangan ASN.
Menurutnya, disiplin dan pendidikan semi militer yang sering diutamakan dalam pekerjaan. “Budaya senioritas dan solidaritas satu korps yang sering tertanam bagi alumni sekolah kedinasan,” ujar Kurnia kepada Monitor Indonesia, Jum’at (10/3).
Memang diakuinya, bahwa sekolah gratis dan jaminan pekerjaan setelah lulus membuat lulusan sekolah kedinasan merasa ekslusif dan budaya birokrasi Menjiwai mereka. Bahkan membuat mereka menjadi tabiat dilayani dan hidup hedonisme menjadi tujuan dalam pekerjaan.
“Tetapi, memang godaan harta, tahta, wanita lebih kuat daripada meningkatkan skil dan etos kerja yang maksimal. Pendidikan semi militer mereka justru menjauhkan mereka daripada rasa empati terhadap bagaimana melayani masyarakat,” cetusnya.
“Bila mereka yang idealis, jujur, dan vokalis malah mereka ditakuti terindikasi radikalisme dan fanatisme agama atau politik identitas. Seakan- akan mereka tidak berwawasan kebangsaan dan Pancasilais,” timpalnya.
Penderitaan Kuliah Harus Dibayar?
Kurnia menambahkan, bahwa perilaku birokrasi akan berbeda dengan sistem standar operasional perusahaan karena kinerja dan tanggung jawab pekerjaan dan skill pekerjaan lebih diutamakan dikalangan swasta bukan bagaimana memanfaatkan kewenangan dan mendapatkan fasilitas.
“Penderitaan kuliah saat di sekolah kedinasan seakan-akan harus dibayar masyarakat yang membutuhkan jasa mereka, sepanjang masih dipersulit mengapa harus dipermudah,” jelasnya.
Terakhir, Kurnia mengatakan bahwa lingkungan birokrasi membuat perilaku organisasi penyalahgunaan jabatan dan penyelewengan wewenang yang didapat mereka. Apalagi untuk meraih jabatan diraih dengan kemampuan jual beli jabatan bukan skill dan prestasi kerja.
“Percuma kerja jujur dan baik tapi tidak bisa meningkatkan karir,” tutup Kurnia Zakaria yang juga sebagai Kriminolog.
Sumber: monitorindonesia
Foto: Ilustrasi-oknum pejabat pajak (Foto: MI/Aswan)
Lulusan STAN “Maling” Uang Pajak? Pakar: Godaan Harta, Tahta dan Wanita Lebih Kuat daripada Skil!
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar