Menolak Timnas Israel, Ideologis atau Retorika Pahlawan Kesiangan?
PSSI dibuat pusing tujuh keliling karena posisi tuan rumah Piala Dunia U20 terancam dicabut FIFA. Warkat Gubernur Bali disebut jadi biang keroknya. Padahal tiga tahum silam sudah akur. Mau jadi pahlawan kesiangan?
MAKTAB Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia di kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, tampak lengang, Senin awal pekan ini. Papan elektronik hitung mundur hari menuju Piala Dunia usia 20 tahun, mati.
Sehari sebelumnya, Minggu 26 Maret 2023, kantor itu justru ramai karena PSSI menggelar konferensi mendadak, setelah federasi sepakbola dunia atau FIFA membatalkan pengundian babak penyisihan grup Piala Dunia U20 yang seharusnya digelar Jumat pekan ini di Bali.
“Ibu Tisha tidak ada,” kata seorang pegawai sekretariat PSSI.
Belakangan, Wakil Ketua Umum 1 Ratu Tisha diketahui berada di Bali. Dia menemani delegasi FIFA yang tetap memeriksa kesiapan Stadion Kapten I Wayan Dipta di Gianyar, sebagai salah satu tempat kompetisi dua tahunan itu digelar, meski drawing batal.
Sang ketua umum, Erick Thohir, juga tidak ngantor. Dia dikabarkan langsung bergerak, melobi FIFA agar tidak mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah kompetisi dua tahunan tersebut.
“Erick akan ke Zurich, konsultasi lebih lanjut dengan FIFA,” kata Pelaksana Tugas Menteri Pemuda dan Olahraga Muhadjir Effendy.
Hanya Zainudin Amali, Wakil Ketua Umum 2, yang sempat menyambangi kantor PSSI sekitar jam sembilan malam.
Mantan menpora itu tak lama berada di ruang kerjanya. Tiga puluh menit kemudian, Amali kembali memasuki mobilnya yang segera berlalu.
Arya Sinulingga, anggota Exco PSSI, juga tak ada di tempat. Melalui pesan singkat kepada Suara.com malam itu, ia mengatakan belum mendapat surat resmi dari FIFA soal pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah.
Tapi, dia mengakui FIFA sudah memberikan pesan tegas membatalkan pengundian babak penyisihan grup, berikut alasan-alasannya.
“Pesannya jelas, karena ada penolakan dari Gubernur Bali,” kata Arya Sinulingga.
Dua pekan sebelumnya, Gubernur Bali Wayan Koster mengirimkan selembar surat kepada Plt Menpora Muhadjir Effendy.
Warkat itu berisi penolakan Koster terhadap Timnas Israel berlaga di Bali. Alasannya, politik Israel terhadap Palestina tidak sesuai kebijakan pemerintah Indonesia.
Selain itu, Koster dalam suratnya juga beralasan tidak ada hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel.
“Kami, Pemerintah Provinsi Bali menyatakan menolak keikutsertaan tim dari negara Israel untuk bertanding di Provinsi Bali,” tulis Koster dalam surat.
Koster tak sendirian. Rekan separtainya yang juga Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo belakangan ikut menolak kalau Timnas Israel bermain di Stadion Manahan Solo.
"Saya berharap agar diupayakan langkah-langkah terobosan bersama, tanpa kehadiran Israel," kata Ganjar, Kamis pekan lalu.
Tak ketinggalan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siradj, ikut menolak kedatangan Timnas Israel.
"Saya pribadi dan banyak sekali kiai seperti saya, menolak kedatangan Israel,” kata dia, Sabtu akhir pekan lalu.
Sabtu pekan sebelumnya, 18 Maret, Ketua Majelis Ulama Indonesia Sudarnoto Abdul Hakim bahkan mengklaim, “Semua ormas Islam yang hadir menyatakan sikap menolak Timnas Israel.”
Namun, di lain sisi, beragam penolakan tersebut dinilai justru tidak tepat. Apalagi tiga tahun silam, enam kepala daerah sudah sepakat daerahnya menjadi tempat pagelaran Piala Dunia U20—termasuk Wayan Koster.
Pertengahan 2019, selain Koster, lima kepala daerah lain yang meneken host city agreement Piala Dunia U20 ialah Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat; Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan; Anies Baswedan, saat itu Gubernur DKI Jakarta; Eri Cahyadi, Wali Kota Surabaya; dan, Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo.
Dedi Kurnia Syah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, menyebut penolakan dua gubernur asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memicu pembatalan drawing Piala Dunia U20 oleh FIFA itu sangat politis.
"Tentu mereka berupaya menjadi pahlawan kesiangan, sekaligus menandai ketakutan politis," kata Dedi kepada Suara.com, Selasa 28 Maret 2023.
Berani kecam Gus Yahya?
SIKAP duo gubernur asal PDIP yang menolak keikutsertaan Timnas Israel tersebut, dinilai lebih bernuansa pragmatisme politik ketimbang ideologis.
Sebab, Dedi mengatakan penolakan itu menciptakan kesan berbeda dari sikap PDIP selama ini yang cenderung terbuka dalam aspek relasi internasional.
Apalagi, Piala Dunia U20 tidak terkait langsung dengan kebijakan politik negara masing-masing peserta.
Karenanya, dalih menolak Timnas Israel karena politik penjajahan pemerintahannya kepada rakyat Palestina masih bisa diperdebatkan.
Kalau ingin mengampanyekan keberpihakan Indonesia terhadap Palestina, seharusnya Timnas Israel tetap dibolehkan berlaga di Piala U20 tapi dengan syarat-syarat tertentu.
“Cukup disyaratkan, misalnya, mereka tidak boleh mengibarkan bendera Israel atau memakai simbol-simbol Israel,” kata Dedi.
Ia mengatakan, justru aneh bila menolak kedatangan Timnas Israel, karena Indonesia berprinsip politik bebas aktif dalam kebijakan internasional.
Tak hanya itu, Dedi mengungkapkan warga Indonesia sering berkunjung ke Israel. Bila PDIP konsisten menjalankan prinsip antikolonialisme Bung Karno, bisa dimulai dengan mengecam WNI tersebut.
“Bisa dimulai dengan mengecam Yahya Staquf (Ketua PBNU yang pernah ke Israel). Jika tidak, maka PDIP sedang menjadikan isu ini untuk propaganda politik,” kata Dedi.
Karena itu pula, menurut Dedi, sikap anti-Israel cocok dijadikan propaganda politik, terutama oleh PDIP yang elektablitasnya tengah menurun—terutama di segmen pemilih Muslim—menjelang Pemilu 2024.
"Menurut survei kami, elektabilitas PDIP sedang menurun. Bisa saja PDIP menyadari hal itu, dan isu anti-Israel ini dianggap menarik.”
Bukan pepesan kosong
ONO SURONO, anggota Fraksi PDIP DPR RI, tidak terima bila partainya disebut hanya beretorika kosong saat menolak keikutserataan Timnas Israel dalam Piala Dunia U20 di Indonesia.
Dia mengatakan, PDIP mempunyai basis ideologis yang ketat saat merumuskan serta menyatakan sikap menolak Timnas Israel.
Dengan demikian, begitu klaim Ono Surono, penolakan terhadap Timnas Israel bukan hanya propaganda politik guna meraih keuntungan elektoral Pemilu 2024.
Ketua DPD PDIP Jawa Barat itu menegaskan, penolakan itu sesuai konstitusi Indonesia yang menyatakan kemerdekaan adalah hak segala bangsa—termasuk Palestina.
Kepada Suara.com, Selasa malam, Surono menjelaskan PDIP merupakan partai berciri Nasionalis Soekarnois serta taat konstitusi.
Merujuk pada spektrum politik seperti itu, bagi Surono adalah kewajiban kader PDIP untuk menyuarakan penolakan terhadap Timnas Israel.
“Bung Karno juga mempunyai sikap tegas, pernah menolak Israel bertanding melawan Timnas Indonesia,” kata dia.
Menurutnya, pertautan antara politik dan sepakbola secara historis adalah hal keniscayaan. Tak hanya di Indonesia, tapi di lain negara.
FIFA pun melakukan hal yang sama menurut dia. Bahkan, federasi sepakbola dunia itu melakukan standar ganda.
“Lho, FIFA itu mencampuradukkan masalah olahraga dengan politik ketika mencoret Rusia (di babak playoff Piala Dunia 2022 karena konflik dengan Ukraina,” tuding Surono.
[Suara.com/Aldie Syaf Bhuana] |
Surono menuturkan, politik dan olahraga adalah dua aspek yang saling terkait.
“Olahraga juga terkait dengan aspek lain seperti ekonomi, termasuk keamanan.”
Sempat beredar informasi bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan internal PDIP setelah Wayan Koster dan Ganjar Pranowo menyatakan menolak kedatangan Timnas Israel.
Namun, Surono menepis rumor tersebut. Dia mengatakan, kader PDIP solid mendukung keputusan partai yang sudah sesuai ajaran-ajaran Bung Karno dan konstitusi Indonesia.
“Saya, Koster, Ganjar, dan siapa pun kader PDIP berkomitmen selalu taat pada konstitusi. Ya harus menolak Timnas Israel.”
Siapa berkhianat?
ANALIS politik sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai sikap PDIP menolak Timnas Israel bukan pencitraan untuk keuntungan elektoral.
Pangi meyakini, sikap PDIP didasarkan pada prinsip serta ideologi Pancasila Bung Karno, yang tak mau mengakui Israel sebagai negara.
"Jadi saya sama sekali tidak mencium aroma amis berbau politis di balik sikap PDIP menolak Timnas Israel,” kata Pangi kepada Suara.com.
Menurutnya, penolakan terhadap Timnas Israel yang dilakukan PDIP maupun tokoh-tokoh lainnya bukan hal mengagetkan.
Sebaliknya, Pangi justru mempertanyakan sikap pihak-pihak yang mempersilakan Israel berlaga di ajang Piala Dunia U20 dengan Indonesia sebagai tuan rumahnya.
“Sikap mempersilakan Israel bisa bermain di ajang olahraga itu telah mengkhianati amanat UUD 1945,” kata dia.
Dia menjelaskan, dalam pembukaan konstitusi Indonesia, terdapat diksi serta frasa yang klir bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai perikemanusiaan dan perikeadilan.
Bila ada keuntungan politik elektoral di balik sikap penolakan Timnas Israel itu, menurut Pangi hanyalah adanya persepsi batas demarkasi antara partai ideologis dengan pragmatis.
“Dengan menolak Timnas Israel, PDIP menegaskan partai yang punya ideologi. Itu jadi pembeda dengan partai lain yang terkesan tidak jelas, plin-plan.”
Sumber: suara
Foto: Ilustrasi perubahan sikap politik tentang kepesertaan Timnas Israel dalam Piala Dunia U20 di Indonesia. [Suara.com]
Menolak Timnas Israel, Ideologis atau Retorika Pahlawan Kesiangan?
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar