Beda SBY dan Jokowi Jelang Pensiun
PKS mengkritik keras manuver Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kumpul bareng lima ketum parpol pendukung pemerintah. Usai peristiwa itu, muncul wacana Koalisi Besar untuk Pemilu 2024.
Jelang purnatugas Oktober 2024, Jokowi juga secara terang-terangan mendukung pembentukan Koalisi Besar yang terdiri dari penggabungan dua poros KIB dan KIR. Jokowi juga menegaskan mendukung Ketum Gerindra Prabowo Subianto sebagai Capres.
Peneliti Saiful Mujani & Research Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad membandingkan langkah Presiden Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jelang pensiun. SBY cenderung lebih netral tak ikut campur urusan Pemilu 2014.
Jokowi Punya Kepentingan
Saidiman melihat, ada sejumlah alasan mengapa sikap keduanya berbeda. Menurutnya, Jokowi ingin pembangunan yang dijalankan tetap berlanjut dalam pemerintahan berikutnya.
Hal itu yang membuat Jokowi aktif dalam persiapan calon pemimpin nasional penggantinya.
"Jokowi punya kepentingan agar inisiatif pembangunan ekonomi yang sudah dijalankan bisa dilanjutkan dalam periode berikutnya. Karena itu, dia terlihat lebih aktif dalam persiapan kelanjutan kepemimpinan nasional tersebut," kata Saidiman saat dihubungi kepada merdeka.com, Kamis (6/4).
Latar Belakang Jokowi dan SBY
Alasan kedua, Jokowi membangun karir politiknya secara berjenjang mulai dari level walikota, gubernur, sampai presiden. Hal itu berbeda dengan SBY yang tidak mempunyai jenjang karir politik serumit Jokowi.
"Sebelum menjadi presiden, SBY adalah seorang militer profesional. Pengalaman karir politik ini yang mungkin membuat karakter SBY dan Jokowi berbeda di akhir masa jabatan mereka," kata Saidiman.
Selain itu, Saidiman menerangkan, orientasi SBY dan Jokowi sedikit berbeda. Dia menilai, SBY punya perhatian lebih pada pembangunan sistem demokrasi. Sementara Jokowi sangat perhatian pada pembangunan ekonomi.
"Untuk alasan kelanjutan pembangunan ekonomi tersebut, Jokowi merasa perlu untuk melakukan intervensi politik," terangnya.
PKS Kritik Jokowi
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai seharusnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak ikut campur dalam membangun sebuah koalisi. Apalagi, sampai mengatur siapa yang harus menang pada Pilpres 2024.
"Kalau mau dewasa, ya sebaiknya jangan di bawah bayang-bayang Pak Jokowi. Kalau saya pribadi menganggap, Pak Jokowi husnul khotimah saja, dua periode ini," kata Mardani, kepada wartawan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip Selasa (4/4).
"Dan siapkan agar nanti 2024 akan ada kontestasi yang fair, yang adil, yang sehat, kontestasi karya, gagasan, yang tidak perlu cawe-cawe, ngatur-ngatur, nanti yang menang siapa. Biarkan rakyat yang menentukan," sambungnya.
Prediksi PKS
Lebih lanjut, dia menilai, pembentukan koalisi besar lebih tepat jika dilakukan pada putaran kedua Pilpres 2024. Sebab, menurutnya, koalisi saat ini sudah ideal untuk mengusung masing-masing capres-cawapres.
"Paling baik kalau menurut saya, nanti koalisi besarnya di putaran kedua, gitu loh. Kan lebih bagus, lebih elegan. Kalau sekarang, berani saja, setiap partai atau setiap koalisi, karena kan sebenarnya agak ideal nih. KIB sendiri, KKIR sendiri, KKP, Perubahan untuk Persatuan sendiri," ujarnya.
Dia menyebut, jika adanya koalisi besar berpotensi hanya akan ada dua pasangan calon di Pilpres 2024. Sehingga, menyebabkan perpecahan seperti di 2019 lalu.
"Nah nanti tinggal PDIP kan sudah punya golden ticket, mau sendiri boleh, mau gabung salah satu dari tiga boleh, tapi kalau ada upaya untuk cuma dua, buat saya tidak sehat. Kalau cuma dua pasang, jalan yang dicoba diwujudukan itu kita tidak belajar dari 2014 dan 2019," papar dia.
"Kita ingin naik kelas kok. Boleh dua, tapi nanti ketika putaran kedua saja. Itu jauh lebih soft," tambah Mardani.
Koalisi Besar Bikin Rumit
Dia pun menyebut, jika koalisi besar terwujud akan terlihat rumit pada Pilpres 2024. Serta akan berdampak buruk pada masyarakat.
"Kalau saya sih menyerukan, partai harus sehat, partai harus kuat, partai harus mandiri, partai harus punya value, punya prinsip. Jadi, lebih baik kecil dan berani untuk menyuarakan, karena itu nanti akan dilihat oleh publik. Oh, kelompok ini berani, independen, mandiri, punya visi-misi yang bagus," tegasnya.
"Karena, ketika gabung ramai-ramai, mungkin ada niat baik tentang stabilitas pembangunan, lain-lain. Tetapi, efeknya kepada bagaimana pemilu dan demokrasi itu menjadi wadah pendidikan politik terbaik buat rakyat bisa tidak terwujud, karena rakyat jadi enggak engaged, enggak tertarik, enggak terlibat, karena tidak ada kontestasi, enggak ada gagasan, gitu," imbuh dia.
Jokowi Bantah Ikut Campur
Sementara itu, Jokowi membantah ikut campur urusan Pilpres 2024. Termasuk pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
"Membentuk koalisi KIB, itu dari Presiden. Siapa yang dari (saya)? Itu kan KIB terbentuk karena pertemuannya Pak Airlangga (Hartarto), Pak Zul (Zulkifli Hasan) dan Pak Mardiono (Plt Ketum PPP)," ujar Jokowi.
Jokowi menegaskan, yang benar adalah jika Ketum PAN Zulkifli Hasan, Ketum Golkar Airlangga Hartarto yang meminta restunya untuk membentuk KIB.
"Terbentuk baru datang ke saya, 'Pak mohon restu'. Kalau saya ditanya gitu, 'Ya saya restui'. Sebetulnya hanya gitu-gitu itu. Jadi bukan saya, 'Bentuk KIB ya'. Ndak pernah." pungkasnya.
Sumber: merdeka
Foto: Masa transisi SBY dan Jokowi di Istana Negara. ©2014 merdeka.com/istimewa
Beda SBY dan Jokowi Jelang Pensiun
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar