Pedihnya Muslim Uighur, Dilarang Pemerintah China Shalat dan Puasa Saat Ramadhan
Kebahagiaan saat Ramadhan ternyata tidak bisa dirasakan oleh setiap Muslim di berbagai belahan dunia. Kaum Muslim Uighur yang notabene merupakan warga negara Cina sulit menjalankan ibadah saat bulan suci. Direktur Eksekutif Center for Uyghur Studies Abdul Hakim Idris mengatakan, mereka tidak bisa menjalankan ibadah puasa, shalat, membaca Alquran di rumah sendiri dan tidak bisa mengaku sebagai Muslim di publik.
Idris mengatakan, situasi di Turkistan atau yang di Cina disebut Xinjiang, semakin memburuk. "Represi Pemerintah Cina semakin memburuk, mereka mendeklarasikan perang terhadap Islam karena agama Islam melindungi masyarakat Turkistan atau masyarakat Uighur menjadi seperti orang etnis Han, menjadi ateis, karena Islam melindungi kami dari asimilasi," kata Idris di acara International Seminar: Indonesian Humanitarian Responses on Uyghur, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Senin (3/4/2023).
Pemerintah Cina dinilai ingin memaksakan asimilasi dengan membuang Islam dari Uighur. Karena itu, Beijing menggeneralisasi semua aktivitas Islam, seperti memakai hijab, memiliki janggut, menyimpan surat Alquran atau hadis di ponsel, atau memiliki buku Islam di rumah sebagai tindakan kriminal.
Menurut Idris, Pemerintah Cina mengumpulkan Alquran dan membakarnya. Mereka menghancurkan mushala dan masjid serta memaksa masyarakat Uighur mengatakan, "Saya bukan Muslim, saya diracuni pikiran yang salah, saya akan memberikan kesetiaan pada Partai Komunis."
Menurut dia, masalah Uighur tidak hanya masalah kemanusiaan. "Ini genosida, ini masalah Islam, mereka ingin menjauhkan agama dari kami, jadi bila kami hidup seperti masyarakat Han, tidak percaya pada Allah, bukan Muslim, mungkin mereka akan membiarkan kami hidup, seperti itu situasinya," kata Idris.
Idris menambahkan, perempuan masyarakat Uighur yang dibawa ke kamp konsentrasi dipaksa melakukan sterilisasi. Perempuan Muslim juga dipaksa untuk menikahi pria etnis Han yang ateis. Ia mengatakan, pernikahan berbeda latar belakang itu tidak sesuai dengan kepercayaan Muslim Uighur.
"Kami percaya orang Islam tidak bisa menikahi ahli kitab seperti orang Kristen atau Yahudi, hari ini banyak yang paksa menikahi etnis Han yang ateis, bila mereka tidak melakukannya keluarga mereka akan dibawa ke kamp konsentrasi," kata Idris.
Selain itu, Idris menjelaskan, anak-anak Uighur dipisahkan dari orang tua mereka. Saat ini, lebih dari 1 juta anak-anak dibesarkan di panti asuhan dengan bahasa dan identitas yang berbeda. Pemerintah Cina, tambah Idris, juga menerapkan pengawasan digital yang tidak bisa ditembus. Pemerintah Cina mengumpulkan data suara, DNA, dan wajah. Jika diblokir, masyarakat Uighur tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun.
Idris mengatakan, lebih dari sembilan negara mengakui kebijakan Pemerintah Cina terhadap masyarakat Uighur sebagai genosida. Ia menambahkan, Pemerintah Cina mengambil dua hal dari masyarakat Uighur, yakni kekayaan dan pemimpin atau tokoh masyarakat.
"Mereka mengambil kekayaan, mereka mengambil tanah, uang, perusahaan, dan mereka mengambil tokoh masyarakat, cendikiawan, akademisi, penulis, bahkan komedian, bahkan olahragawan, dan kemudian mengincar seluruh populasi," kata dia.
Saat ini, kata Idris, Pemerintah Cina mencatat 12 juta populasi masyarakat Uighur. Dia menjelaskan, Beijing hanya mengakui dua anak setiap keluarga, jadi angka sebenarnya jauh lebih banyak. Idris memperkirakan ada sekitar 25 juta masyarakat Uighur di Cina.
"Jadi, apa yang mereka lakukan, mereka menghancurkan generasi Muslim, mereka membiarkan orang hidup dengan tenang yang mengatakan, 'Baik, saya keluar dari agama saya, saya komunis sejati, saya percaya pada komunisme, saya berbicara bahasa Cina, bahkan berpakaian Cina,' mereka biarkan mereka," kata Idris.
Idris menyamakan pengalaman masyarakat Uighur dengan masyarakat Muslim pada masa Andalusia akhir. Ketika itu, Muslim Andalusia dipaksa masuk Katolik atau akan dibunuh. Kemudian, generasi berikutnya yang memilih Katolik tumbuh sebagai orang Katolik.
"Situasi yang sama di Turkistan, mereka memotong generasi, menyingkirkan cendekiawan, ulama, buku-buku, cerita-cerita, bahkan cerita-cerita budaya kami, identitas kami, mereka melarang bahasa kami," tambah Idris.
Mantan duta besar Indonesia untuk Uzbekistan Mohamad Asruchin menyimpulkan tiga alasan Pemerintah Cina sangat keras kepada masyarakat Uighur. Pertama, jalur sutra yang Xinjiang termasuk di dalamnya sudah sangat identik dengan Cina sehingga Beijing tidak ingin kehilangan wilayah penyangga atau penghubung ke Timur Tengah dan Eropa.
"Kedua, Xinjiang memiliki sumber daya alam yang sangat besar, terutama gas dan minyak. Yang ketiga, klaim Cina terhadap Aksai Chin Region, Aksai Chin Region adalah wilayah yang dipersengketakan dengan India," kata Asruchin di acara yang sama.
"Cina menduduki Aksai Chin yang 38 ribu persegi yang dianggap wilayah Cina, tapi diduduki paksa oleh Cina sejak 1950, sebaliknya Cina juga menuduh India menduduki wilayahnya yang disebutkan Arunachal Pradesh yang seluas 90 ribu kilometer," kata Asruchin.
Kunjungan negara Muslim
Beijing belakangan masih terus menjalankan propaganda soal kondisi Muslim Uighur. Media corong pemerintah Cina, CGTN melaporkan, lebih dari 30 pakar dan cendekiawan Muslim dari 14 negara mengunjungi Urumqi, ibu kota Daerah Otonom Xinjiang pada 8 Januari 2023 lalu. Mereka datang atas undangan pemerintah setempat.
Tim kunjungan itu terdiri dari anggota Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, Mesir, Suriah, Bahrain, Bosnia dan Herzegovina, Tunisia, Serbia, Sudan Selatan, Mauritania, Indonesia, Kuwait, Yordania dan Oman. Kunjungan dipimpin oleh Ali Rashid Al Nuaimi selaku ketua Dewan Komunitas Muslim Dunia.
Tiba pada Ahad (8/1), mereka mengunjungi beberapa situs yang mencakup karya sejarah, budaya dan agama di kawasan itu. Di Pusat Pameran dan Konvensi Internasional Xinjiang, seperti dilansir CGTN, Rabu (11/1), mereka melihat pameran kontra-terorisme dan deradikalisasi di Xinjiang.
Penasihat Presiden Mesir untuk Urusan Agama Osama Sayyid Al-Azhari mengakui, kebijakan anti-terorisme Cina telah berhasil, dan pengalaman di Xinjiang sangat penting bagi semua negara untuk memerangi terorisme secara efektif.
Mustafa Ceric, mantan Mufti Besar Bosnia dan Herzegovina, juga memuji kebijakan anti-terorisme dan deradikalisasi Cina karena membawa perdamaian dan keharmonisan di wilayah tersebut.
Menurut dia, Cina adalah negara besar dengan pengaruh global dan telah berkontribusi pada pemulihan ekonomi dunia dalam beberapa tahun terakhir. Dia berharap Cina akan terus menyebarkan dividen pembangunan ke dunia di masa depan.
Ketua Dewan Komunitas Muslim Dunia, Ali Rashid Al Nuaimi menyampaikan, pemerintah Cina mendanai Kelompok Seni Muqam Xinjiang dan melestarikan warisan budaya tak benda Dua Belas Muqam. Hal ini menurutnya menjadi respons terkuat atas tuduhan Barat bahwa Cina memusnahkan budaya Uighur.
Tradisi Muqam Uighur Xinjiang mencakup lagu, tarian, musik rakyat dan klasik dan dicirikan oleh keragaman konten, koreografi, gaya musik, dan instrumen yang digunakan. Dua Belas Muqam adalah salah satu tradisi setempat yang penting. Muqam Uighur Xinjiang tercatat dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan oleh UNESCO, pada 2008.
Tim pakar dan cendekiawan Muslim yang berkunjung juga melaksanakan shalat bersama dengan umat Islam setempat di Institut Islam Xinjiang. Para pakar dan cendekiawan memuji upaya pemerintah setempat dalam memastikan kebebasan beragama dan berkeyakinan masyarakat.
Rombongan tersebut melalui rekaman real-time juga memeriksa operasi lapangan kereta barang Cina-Eropa di Alataw Pass dan gerbang Khorgos, di mana keduanya merupakan pelabuhan kereta api utama di Xinjiang.
Salah seorang anggota Dewan Nasional Federal UEA mengatakan, Xinjiang memiliki infrastruktur yang baik, sumber daya manusia yang makmur, dan kondisi ekonomi yang menguntungkan. Ini dapat membantu negara-negara di sepanjang Jalur Sutra untuk berdagang dengan China secara lebih lancar, nyaman, dan cepat.
Sumber: republika
Foto: Ilustrasi Muslim Uighur/Net
Pedihnya Muslim Uighur, Dilarang Pemerintah China Shalat dan Puasa Saat Ramadhan
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar