Jokowi Gencar Bangun Ini Itu, RI Tetap Sulit Jadi Negara Maju
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengakui bahwa pemerintahannya telah menggelontorkan Rp 3.309 triliun hanya untuk membangun infrastruktur.
"Infrastruktur kita habiskan anggaran Rp 3.309 triliun," kata Jokowi dalam pidatonya di agenda Rakernas PAN, dikutip Rabu (10/5/2023).
Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi sepanjang pemerintahan Jokowi gagal tumbuh di kisaran rata-rata 6%-7%. Bahkan, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bergerak lebih lambat dibandingkan pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Perlambatan PDB per kapita sejalan dengan semakin besarnya jumlah penduduk sementara sebaliknya pertumbuhan PDB tidak sekencang pada era sebelumnya.
Sebagai catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) merekam PDB per kapita Indonesia pada 2022 mencapai US$ 4.783,9 per tahun atau jika dirupiahkan menjadi Rp 71 juta.
Angka ini berarti rata-rata penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 275 juta ini memiliki pendapatan sekitar Rp 71 juta per tahun atau sekitar Rp 5,9 juta per bulan. Pendapatan PDB per kapita penduduk Indonesia pada 2022 meningkat sekitar Rp 8,7 juta dibandingkan 2021 atau sekitar 14%.
Namun, jika dihitung dari awal pemerintahan hingga tahun ini, pertumbuhan PDB per kapita pada era Presiden Jokowi tidak mencapai 50%.
Tim Riset CNBC Indonesia menghitung berdasarkan data Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia pada 2015 tercatat US$ 3.322,58 per tahun sementara data BPS menunjukkan angka tersebut naik menjadi US$ 4.783,9 pada 2022.
Artinya, selama delapan tahun pemerintahan Jokowi, PDB per kapita naik sebesar US$ 1.307,28 atau 37,6%. Adapun, Jokowi memang dilantik pada 2014. Tetapi sepanjang tahun ini, dia hanya menjabat selama tiga bulan. Dia baru menjabat full pada 2015.
Jika dibandingkan dengan era Presiden SBY. PDB per kapita Indonesia tercatat US$ 1.249,39 per tahun pada 2005. Angkanya kemudian naik menjadi US$ 3.668,22 per tahun pada 2012. Dengan demikian, selama delapan tahun pertama pemerintahan SBY, PDB per kapita Indonesia naik sebesar US$ 2.418,81 atau 193,6%.
Pertumbuhan ini jomplang jika dibandingkan dengan era Jokowi. Apa sebenarnya yang menjadi hambatan pertumbuhan PDB per kapita di Era Jokowi?
Direktur CELIOS Bhima Yudistira mengatakan ada sejumlah faktor yang mempengaruhi perbedaan perkembangan PDB per kapita. Pertama, era SBY menikmati bonanza komoditas tambang dan perkebunan yang cukup panjang dari mulai 2008-2014.
"Sementara itu, era Jokowi hanya menikmati satu tahun terakhir itupun rentangnya terlalu fluktuatif," kata Bhima, kepada CNBC Indonesia.
Kedua, meskipun dikritik soal kurangnya belanja infrastruktur. Tetapi era SBY banyak infrastruktur industri yang dibangun jadi fokus tidak sekedar bangun utilitas. Sementara itu, pembangunan infrastruktur Presiden Jokowi cenderung bertumpu pada pembanguna infrastruktur konektivitas, seperti jalan tol dan pelabuhan yang memiliki efek ekonomi lebih lama.
Selanjutnya, Bhima melihat utang pemerintah mulai agresif di era SBY sejak porsi SBN meningkat dibanding pinjaman.
"Porsi SBN yang naik punya konsekuensi terhadap bunga pinjaman lebih mahal. Dan era jokowi utang semakin jadi beban bagi APBN, akhirnya menghambat pertumbuhan atau debt overhang (keberatan utang)," kata Bhima.
Terakhir, pemerintahan Jokowi mengalami krisis pandemi. Krisis ini diibaratkan seperti reset ulang program ekonomi. Meski bukan satu-satunya faktor tapi pandemi berdampak terhadap gangguan pada kenaikan PDB per kapita.
"Indonesia kan sempat naik kelas jadi upper middle income country sebelum pandemi lalu merosot lagi jadi lower middle income," ujarnya.
Middle Income
Mengutip data Kementerian PPN/Bappenas, Indonesia sudah menjadi bagian dari negara berpendapatan menengah atau middle income sejak 1982-1983. Hingga saat ini, Indonesia diketahui belum juga lulus dari status tersebut.
Ekonom Senior Faisal Basri mengungkapkan bahwa kegagalan keluar dari jebakan middle income trap dikarenakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang gagal mencapai 6-7%.
Menurutnya, selama periode Presiden Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 5%. Padahal, targetnya 7% pada periode pertama dan 6% pada periode kedua.
"Oke tumbuh, angka pengangguran turun ada penciptaan lapangan kerja tapi makin tidak bermutu karena yang meningkat penyerapan di sektor informal," jelas Faisal, dalam program Your Money Your Vote di CNBC Indonesia, dikutip Rabu (10/5/2023).
Dia menuturkan, tingginya pekerja di sektor informal adalah masalah besar karena jauh dari kontrol pemerintah. Baik meliputi gaji, lembur serta hak-hak lain yang seharusnya diterima.
"Pekerja informal kita naik terus. Data Februari sudah 60% lebih itu kan mereka tidak dapat gaji teratur, lembur, macam-macam kualitas rendah artinya mereka rentan," tegasnya.
Faisal menilai pertumbuhan pekerja informal ini dipicu oleh deindustrialisasi. Sumbangan sektor industri atau manufaktur terhadap perekonomian atau produk domestik bruto terus tergerus. Berdasarkan data BPS andil sektor industri terhadap perekonomian hingga kuartal I 2023 tinggal 18,57% padahal pada awal 2020 masih di kisaran 19,87%.
"Jadi tinggal 18% padahal industri manufaktur penyumbang sepertiga penerimaan pajak, jadi penerimaan pajak turun, pengeluaran naik, defisit naik, dan arus utang naik," tegas Faisal.
Industri, lanjut Faisal, akan menjadi optimal mendorong perekonomian berkelanjutan ketika diiringi peningkatan tekonologi.
"Dari tahun 1970 sampai 2020 pertumbuhan teknologi itu, istilah kasarnya total factor productivity pertumbuhannya minus lebih banyak berbasis otot dan keringat ketimbang otak," paparnya.
"Oleh karena itu riset dan inovasi harus jalan. Tapi bukan substansi risetnya malah organisasi BRIN-nya yang diacak jadi makin banyak salah arah. Oleh karena itu perlu transformasi," ungkap Faisal.
Sumber: cnbcindonesia
Foto: Presiden Joko Widodo cek normalisasi Kali Ciliwung. (CNBC Indonesia/Emir Yanwardhana)
Jokowi Gencar Bangun Ini Itu, RI Tetap Sulit Jadi Negara Maju
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar