Jokowi Buka Keran Ekspor Pasir, Awas RI Bakal Rugi Banyak
Setelah belakangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor sumber daya
mineral dengan tujuan hilirisasi dalam negeri kini kabar sebaliknya. Jokowi
malah bakal membuka keran ekspor untuk pasir laut setelah 20 tahun dilarang.
Ini tentu menuai pro-kontra sebab disinyalir memunculkan dampak yang
mengancam negeri ini.
Ini terjadi pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun
2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut oleh Jokowi pada 15 Maret
2023. Yang menjadi sorotan tentunya terutama menyangkut diperbolehkan ekspor
pasir laut.
Lebih rincinya, hal tersebut diatur dalam dalam pasal 9 ayat Bab IV butir 2,
pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri,
pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku
usaha, dan ekspor.
"Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan," tulis 9 ayat Bab IV butir 2 huruf d.
Meski pasir laut diperbolehkan diekspor, ada beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi pelaku usaha. Misalnya perizinan, syarat penambangan pasir laut,
hingga ketentuan ekspor karena menyangkut bea keluar.
Pada Pasal 10 Ayat 4 disebutkan penjualan pasir laut baru bisa dilakukan
setelah mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan dari menteri
yang menyelenggarakan penerbitan urusan di bidang mineral dan batubara.
Izin pemanfaatan pasir laut juga bisa diperoleh dari gubernur sesuai dengan
kewenangannya setelah melalui kajian oleh tim kajian dan memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan izin ini harus bergerak di bidang
pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut. Begitulah setidaknya
gambaran singkat terkait ekspor pasir ini.
Well, meskipun aturan dalam Peraturan Pemerintah itu sudah disebutkan
sedemikian rupa, tapi tetap saja ini memunculkan opini negatif dan diramal
bakal memunculkan dampak yang lebih luas ke depannya.
Sebagaimana diketahui, Indonesia dikenal sebagai negara maritim yang sangat
besar, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang luar biasa. Namun
juga memiliki potensi ancaman yang dapat mengganggu kelangsungan dari
potensi sumberdaya alam tersebut.
Sebelumnya Disetop! Kok di Ekspor Lagi?
Sebelumnya, sejak tahun 2003 alias 20 tahun lalu aktivitas ekspor pasir ini
sudah dilarang oleh pemerintah. Namun, Jokowi sendiri mengizinkan ekspor
pasir laut dengan dalih pembersihan atau pengendalian sedimentasi.
Jika flashback, sebelum dilarang pada 2003, ekspor pasir laut paling banyak
dikirim ke Singapura. Negara tetangga ini tentu begitu diuntungkan karena
diperuntukan menguruk daratan Negeri Singa.
Pengerukan pasir untuk reklamasi negara tersebut tepatnya berasal dari
Kepulauan Riau. Dalam catatan BPS, volume ekspor pasir ke Singapura mencapai
250 juta metrik kubik per tahun. Pasir dijual dengan harga 1,3 dollar
Singapura per meter kubik.
Saking masifnya aktivitas pengambilan pasir di Kepri, membuat daratan Pulau
Nipah yang masih masuk wilayah Kota Batam nyaris tenggelam karena abrasi.
Inilah bayangan jika keran ekspor dibuka. Kita bakal rugi, dan justru
menguntungkan negara lain untuk memanfaatkan pasir laut kita.
Apalagi, kebutuhan material bahan tambang berupa pasir di dunia terus
meningkat setiap tahunnya. Maraknya pembangunan gedung-gedung di dunia
memunculkan kekhawatoran peningkatan eksploitasi, perdagangan dan konsumsi
pasir yang sangat besar.
Bahkan PBB sempat menyatakan bahwa pada tahun 2012 dunia telah kehilangan
hampir 30 miliar ton pasir hanya untuk membuat beton. Bayangkan! Ini lebih
dari 10 tahun yang lalu. Tentu saja kondisinya sekarang semakin masif.
Mengutip dari The Guardian, Dunia mengonsumsi 30-40 miliar ton agregat
bangunan per tahun dan setengahnya adalah pasir. Pasir merupakan bahan kedua
terpenting setelah air sebagai bahan alami yang diekstraksi oleh manusia.
Produksi global telah meningkat seperempat hanya dalam lima tahun, didorong
oleh permintaan China dan India yang tak terpuaskan untuk perumahan dan
infrastruktur. Dari 15 hingga 20 miliar ton yang digunakan setiap tahun,
sekitar setengahnya menjadi beton.
Kebutuhan akan beton sedemikian rupa sehingga menghasilkan hampir 2 meter
kubik setiap tahun.
Cina memimpin tuntutan dalam ledakan konstruksi berbahan bakar pasir saat
ini, menghabiskan setengah dari pasokan beton dunia. Antara 2011 dan 2014
menggunakan lebih banyak beton daripada yang dilakukan Amerika Serikat
sepanjang abad ke-20.
Agregat adalah bahan utama untuk jalan raya, dan China membangun jalan raya
baru sepanjang 146.000 km dalam satu tahun.
Pada tahun 2050, dua pertiga umat manusia akan tinggal di daerah perkotaan,
akibat dari migrasi dan pertumbuhan penduduk. Populasi India, nomor dua
setelah China dalam hal kelaparan akan beton, diperkirakan akan tumbuh dari
1,32 miliar menjadi 1,7 miliar pada pertengahan abad ini.
Kelaparan Cina akan pasir tidak pernah terpuaskan, situs pengerukan
terbesarnya di Danau Poyang menghasilkan 989.000 ton per hari.
Perdagangan pasir internasional meningkat karena pasokan lokal melebihi
permintaan. Penghancuran habitat penting bagi ikan, buaya, penyu, dan bentuk
kehidupan sungai dan laut lainnya menyertai penghancuran penghalang pasir
dan terumbu karang yang melindungi masyarakat pesisir, seperti di Sri Lanka.
Ekstraksi pasir menurunkan permukaan air dan mencemari air minum, seperti di
Delta Mekong di Vietnam, sementara kolam stagnan yang dibuat oleh ekstraksi
di darat menyebabkan malaria.
Awas! Dampak Lingkungan Nyata Adanya
Pembukaan keran ekspor pasir laut dikhawatirkan bakal menimbulkan kerusakan
lingkungan yang masif. Bukan hanya risiko merusak ekosistem laut, kebijakan
tersebut juga mengancam keberadaan pulau-pulau kecil.
Dalam jangka panjang, tambang pasir laut tentu bakal memunculkan bencana
iklim, menenggelamkan pulau karena aktivitas tersebut dapat mengubah kontur
dasar laut yang bakal mempercepat dampak mempengaruhi gelombang laut.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta Presiden
Jokowi untuk membatalkan izin ekspor pasir laut.
Protes itu disampaikan Susi melalui akun Twitter pribadinya
@susipudjiastuti. "Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan
jauh lebih besar," kata Susi dikutip Selasa (30/5/2023).
Susi menerangkan saat ini perubahan iklim atau climate change sudah terasa.
Ia mengatakan ekspor pasir laut tersebut akan memperparah kondisi iklim
Indonesia.
Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dg penambangan pasir laut 🙏🙏🙏🙏 https://t.co/oL4qCQd3bE
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) May 28, 2023
Lantas, dampak lingkungan seperti apa sih? Pertama, penambangan pasir laut
dapat meningkatkan kekeruhan perairan, akibat pengadukan sedimen dasar laut.
Kekeruhan perairan dapat menyebabkan hilangnya mikrobiologi, organisme, dan
sumber daya ikan di dalamnya.
Sudah banyak penelitian yang mengungkapkan mengenai penambangan pasir laut
telah mengungkapkan dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem.
Tidak ada yang tahu berapa banyak kerusakan yang terjadi pada lingkungan
karena ekstraksi pasir merupakan ancaman yang sebagian besar tersembunyi,
kurang diteliti dan sering terjadi di tempat-tempat terpencil.
"Kami kecanduan pasir tetapi tidak mengetahuinya karena kami tidak
membelinya sebagai individu," kata Aurora Torres, ahli ekologi Spanyol yang
mempelajari efek ekstraksi pasir global di Pusat Penelitian Keanekaragaman
Hayati Integratif Jerman dikutip dari The Guardian.
Pembangunan perkotaan semakin membebani simpanan yang terbatas yang dapat
diakses, menyebabkan konflik di seluruh dunia. Pengerukan pasir mendegradasi
karang, rumput laut dan padang lamun dan merupakan penyebab hilangnya
keanekaragaman hayati, mengancam spesies yang sudah di ambang kepunahan.
Konsumsi pasir kita melampaui pemahaman kita tentang dampak lingkungan dan
sosialnya.
Perlu diketahui, di Asia Tenggara, pasir merupakan unsur penting dalam
geopolitik.
Ambisi kekaisaran China di Laut China Selatan dilanjutkan dengan pembangunan
pulau pasir buatan yang menampung pangkalan militer yang dimaksudkan untuk
memperkuat klaimnya di wilayah tersebut.
Bentuk baru dari ekspansi teritorial ini juga dilakukan oleh Singapura yang
kaya tapi kecil, yang mengakibatkan konflik dengan tetangganya yang lebih
besar.
Seperti yang sudah disebutkan tadi, bahwa pengimpor pasir terbesar di dunia,
Singapura telah membuat peningkatan 20% di wilayah daratannya dengan
menggunakan pasir yang bersumber dari Indonesia, Malaysia, Kamboja, dan
Thailand, sebagian besar secara ilegal.
Pada tahun 2008, mereka mengklaim hanya mengimpor 3 juta ton pasir dari
Malaysia, tetapi angka sebenarnya, menurut pemerintah Malaysia, adalah 133
juta ton, hampir semuanya diselundupkan.
Seiring pertumbuhan Singapura, tetangganya yang luas, Indonesia menyusut.
Ekstraksi pasir ilegal mengancam keberadaan sekitar 80 pulau kecil dataran
rendah Indonesia yang berbatasan dengan Singapura, yang merusak ekologi
laut.
Bukannya Pemerintah Sedang Merangkai Roadmap Blue Economy?
Saat ini pemerintah Indonesia tengah memberikan perhatian penuh terhadap
pengembangan energi baru dan terbarukan dalam skala nasional maupun global.
Salah satu upayanya dengan mengantisipasi perubahan iklim melalui
penandatanganan Paris Agreement sebagai bentuk keterlibatan dalam komitmen
global untuk menanggulangi perubahan iklim.
Seiring dengan upaya green economy muncul pula istilah blue economy yang
sebenarnya belum terlalu dikenal di Indonesia. Sebenarnya apa itu blue
economy?
Pada dasarnya,konsep blue economy sendiri tidak jauh berbeda dengan konsep
green economy dari segi lingkungan maupun pada aspek penekanan ekonomi.
Perbedaan utama blue economy dan green economy terletak pada fokus
pembangunan ekonomi.
Bila green economy Indonesia fokus pada pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan dan penurunan risiko kerusakan lingkungan, maka blue economy
lebih difokuskan pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di sektor
kelautan.
Konsep ekonomi biru Indonesia dilandasi oleh potensi laut negara kepulauan
Indonesia sehingga perlu pelestarian sumber daya laut yang akan berdampak
pada cadangan sumber pangan yang berkelanjutan.
Hal ini sejalan dengan tujuan kebijakan pembangunan kelautan nasional yang
tercantum dalam RPJPN 2005-2025 pada misi ketujuh, yaitu mewujudkan
Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan
kepentingan nasional melalui pembangunan ekonomi kelautan berkelanjutan yang
ramah lingkungan.
Harapannya, istilah-istilah berkelanjutan yang diupayakan pemerintah bukan
hanya greenwashing yakni strategi pemasaran dan komunikasi yang dilakukan
perusahaan dalam rangka membangun citra ramah lingkungan, tetapi hal
tersebut hanyalah palsu.
Sumber:
cnbcindonesia
Foto: Presiden Joko Widodo (Jokowi)/Net
Jokowi Buka Keran Ekspor Pasir, Awas RI Bakal Rugi Banyak
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar