Kuasa Asing di Nikel: Mineral Penting Dikangkangi Negeri Xi Jinping
Dikuasai pengusaha China, dihargai setengahnya, tidak banyak menyerap pengangguran warga, serta rawan terjadinya manipulasi angka royalty membuat program penambangan nikel yang massif dipertanyakan banyak kalangan. Hilirisasi nikel seolah telah menjerumuskan masa depan Indonesia.
Bila makna ‘kedaulatan’ pada frase ‘kedaulatan pangan’ dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan diterapkan kepada urusan nikel di negara ini, yang tersisa tinggal tragedi. Indonesia benar-benar tak berdaulat dalam menangani urusan nikel, mineral langka yang sejatinya diberikan Tuhan untuk kemakmuran seluruh warga negara kita.
Lihat saja, bila kedaulatan itu memiliki makna kemandirian, dalam urusan nikel Indonesia tak terlihat berdaya untuk menentukan sistem yang sesuai dengan sumber daya lokal yang ada. Sejatinya, dalam urusan kedaulatan itu ada dua pihak yang tak bisa diceraikan: (1) negara yang memiliki hak mandiri untuk menentukan kebijakan, dan (2) masyarakat yang juga punya hak menentukan sistem yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Pasalnya, sekilas mencermati realitas pertambangan nikel di negara kita, yang terlihat banyak meraup untung justru para pebisnis China. Mereka tampak mendominasi pertambangan nikel di sini. Dikatakan dominan, karena selama ini seolah mereka berbisnis tanpa aturan. “Kalau katanya kita kaya nikel, kok serampangan banget cara bekerjanya? Bargain power kita di mana?” kata Putra Adhiguna, kepala peneliti pada Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).
Dominasi pengusaha China itu bisa dilihat dari kehadiran mereka di area penghasil nikel, Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, misalnya. Setidaknya ada lima perusahaan di pulau seluas 286 kilometer persegi itu. Ada PT Halmahera Persada Lygend, PT Gane Sentosa Damai, PT Trimegah Bangun Persada (TBP), PT Megah Surya Pertiwi (MSP) dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF). Selalu ada saham pengusaha China di perusahaan-perusahaan itu.
Ambil contoh PT Gema Kreasi Perdana (GKP) yang juga ada di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Dari penelusuran Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), lembaga swadaya publik yang peduli dengan isu keadilan pertambangan, perusahaan-perusahaan ini saling berkaitan dan berada di bawah Harita Group, milik keluarga Lim Hariyanto Wijaya Sarwono. Grup ini bergerak di sektor sumber daya alam, mulai tambang nikel, bauksit, batubara, perkebunan sawit, hingga kayu dan perkapalan.
GKP tercatat memiliki saham di PT Halmahera Persada Lygend sebesar 31,55 persen. Sebagian saham lain dimiliki Ningbo Lygend Mining asal China. Sebanyak 63,1 persen saham HJF dimiliki TBP dan 36,9 persen dimiliki Lygend Resources & Technology, juga asal China. Ningbo Lygend dan Lygend Resources berada di bawah Lygend Group.
Sekitar 40 persen saham MSP dimiliki Xinxing Qiyun Investment Holding juga asal negeri Chung Kok. GKP punya catatan merah menerobos lahan warga penolak tambang, “Kendaraan listrik jadi simbol ekonomi rendah karbon. Dampak negatif dan ekstraksi mineral dan logam yang dibutuhkan seringkali diremehkan,” kata Melky Nahar, koordinator Jatam Nasional.
Ada dua grup besar yang memproses nikel Indonesia, the Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah, dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Pulau Halmahera, Maluku Utara. Nikel dari dua kelompok industri ini untuk menyuplai industri baterai ZHC dan CNGR di…China juga.
Catatan Jatam, investasi untuk rantai pasok nikel didominasi China dengan investasi sekitar 30 juta dollar AS, termasuk untuk IMIP dan IWIP. IMIP adalah kawasan industri yang didirikan Tsingshan (China) dan penambang lokal, Bintang Delapan Group. Tsingshan, melalui anak perusahaannya, Shanghai Decent Investment Group, punya 50 persen saham IMIP. Grup Bintang Delapan dan PT Investasi Pertambangan Sulawesi, masing-masing punya 25 persen.
Sedangkan IWIP adalah perusahaan patungan antara 40 persen saham Tsingshan melalui anak perusahaannya, Perlus Technology, dan masing-masing 30 persen ZHC dan Grup Zhenshi. Tsingshan memiliki beberapa investasi di IWIP, bersama ZHC dan PT Weda Bay Nickel (WBN).
Saham WBN hanya 10 persen yang dimiliki PT Antam dan Strand Minerals, 57 persen Kembali milik Tsingshan dan 33 persen Eramet, perusahaan tambang Prancis. Sementara Eramet bermitra dengan perusahaan kimia Jerman, BASF, untuk membangun kilang di Halmahera.
Tentang dominannya perusahaan asing, terutama China, dalam pertambangan nikel nasional itu, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia seolah menyalahkan perbankan nasional. “Kita nggak bisa menyalahkan investor, siapa suruh perbankan nasional kita belum mau membiayai industri smelter secara massif? Masalahnya di situ,” kata Bahlil saat memberikan sambutan pada acara Indonesia-China Smart City Expo 2023, Rabu (24/5/2023).
Dengan dominasi China yang kuat, masuk akal bila sebagian besar hasil penggalian nikel Indonesia itu pun dikirim ke China. Hal itu kian terbukti berdasarkan kajian Bussines and Human Rights Resources Center (BHRRC) yang dirilis pertengahan Mei lalu. “Pada titik saat ini yang untung ya China, karena hampir semua dikirim ke sana,” kata Putra, menegaskan.
Namun bukan hanya itu yang dipersoalkan banyak kalangan yang peduli akan tata kelola nikel Indonesia. Selain seolah dikeruk hanya untuk menutupi laparnya industri China akan nikel, banyak hal lain yang menjadi persoalan besar. Yang sering diangkat, antara lain, adalah soal tidak berdayanya pemerintah menetapkan harga, penghitungan kadar nikel yang masih banyak merugikan, rendahnya pemasukan serta penerimaan pajak dari sektor tersebut, penyelundupan produk mineral ikutan ke luar negeri, tax holidays yang dianggap tidak adil, serta terutama dampak buruk penambangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan China itu terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.
Menurut Direktur Studi China Indonesia dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhammad Zulfikar Rakhmat, harga ekspor nikel Indonesia dihargai China dengan nilai rendah. Harga yang dibayar China itu 40 dolar AS per ton, hanya setengah dari harga di pasar global yang mencapai 80 dolar per ton.
Zulfikar menyayangkan cara yang dilakukan pemerintah guna menarik masuknya investor namun dengan cara nekat tersebut. “Pemerintah itu menjual nikel ke China 40 dolar AS per ton, atau separuh harga pasar. Akhirnya banyak juga ekspor-ekspor illegal, karena mereka merasa harga di pasar global lebih tinggi,”ujar dia.
Sisi pengukuran kadar bijih nikel pun masih menjadi persoalan yang tidak hanya merugikan para penambang di hulu, namun juga negara. Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal, dalam webinar “Waspada Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan”, beberapa waktu lalu, penentuan kadar bijih nikel yang lebih rendah itu juga merugikan negara dari berkurangnya penerimaan royalti serta pos penerimaan lainnya dari sektor pertambangan.
Pada 2020 saja Faisal menengarai adanya kerugian sebesar Rp 400 miliar. “Dari hasil perhitungan Core Indonesia, potensi kerugian negara dari pembayaran royalti saja akibat penentuan kadar bijih nikel yang lebih rendah, dari 1,87 persen menjadi 1,5 persen, misalnya, bisa mencapai Rp 400 miliar per tahun,” kata Faisal. Angka itu didapat dari perbedaan 0,37 persen, dikalikan dengan harga patokan mineral (HPM) dan nilai tukar pada 2020 dan dikalikan dengan total produksi di 2020.
Faisal juga memaparkan potensi kerugian akibat praktik illicit financial flows. Menurut Global Financial Integrity, Indonesia merupakan salah satu negara yang dirugikan dari praktik yang umum terjadi di sektor pertambangan itu. Nilai rata-rata illicit financial flows selama periode 2008-2017 mencapai 43 miliar dollar AS, berpotensi merugikan negara dalam bentuk kehilangan pendapatan pajak dan pos penerimaan lainnya. Sebagai contoh, sejak keluarnya Permen ESDM nomor 1 tahun 2014, pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel. Namun pada 2016 China mencatat masih mengimpor bijih nikel Indonesia sebesar 4,4 juta dollar AS, meskipun tidak ada data di pihak Indonesia yang menunjukkan ada ekspor bijih nikel.
Nikelobi - inilah.com
Air laut di Pesisir Pulau Obi berwarna orange diduga dampak limpahan ore nikel, (3/1/2022). (Foto: Mongabay Indonesia).
Persoalan besar lainnya dalam urusan nikel, menurut anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Golkar, Bambang Patijaya, adalah penyelundupan produk mineral ikutan nikel melalui ekspor Nickel Pig Iron (NPI). Bambang mengingatkan, sebagai mineral kritis cadangan nikel kurang lebih hanya sampai 10 tahun-13 tahun lagi. Apalagi jika 17 smelter NPI selesai konstruksi, maka cadangan nikel Indonesia dari 10 tahun ke depan.
“Nikel ini produksi turunannya Nickel Pig Iron, yang kandungan nikelnya 10 persen hingga 12 persen. Seharusnya tidak boleh lagi ada produksi NPI dari Indonesia. Bagi saya itu penyelundupan gaya baru,” kata Bambang. Pasalnya, sebelum ekspor bijih nikel dihentikan, ore (bijih) yang diproduksi hanya mengandung 1,7 persen hingga 2 persen nikel. Lalu sisanya 98 persen mengandung mineral lain yang tidak terbayar royaltinya. Jadi, bila ada NPI dengan kandungan nikel 10 persen-12 persen, 90 atau 88 persen sisanya tentu merupakan mineral lain.
Persoalan ketenagakerjaan ironisnya juga menjadi persoalan besar di sektor nikel. Sudah menjadi rahasia umum, pemerintah mengizinkan para investor China itu membawa tenaga kerja sendiri, sampai-sampai buruh kasar, dari negeri mereka. Alhasil, para pengangguran di wilayah setempat, harus gigit jari.
Direktur Studi China Indonesia CELIOS, Muhammad Zulfikar, menyayangkan tidak mampunya Indonesia mengambil sikap seperti Arab Saudi. “Saat China mau berinvestasi dan dia bilang mau bawa pekerjanya, yakni 80 persen pekerja China dan 20 persen pekerja Arab Saudi, Kerajaan bilang tak mau,”kata Zulfikar. Karena China butuh, saat nego mereka mengalah, dan tenaga kerja setempat pun turut menikmati investasi.”
Melengkapi semua keganjilan itu, menurut Zulfikar, adalah pemberian tax holidays kepada pengusaha China hingga 30 tahun. “Tiga puluh tahun mereka tidak harus bayar pajak. Jadi kita sudah rugi lingkungan, rugi pula secara ekonomi. Kalau menurut perhitungan kami, di sisi itu kita rugi sekitar Rp 32 triliun,” kata Zulfikar kepada Inilah.com.
Di atas segalanya, kerugian terbesar yang langsung dirasakan masyarakat setempat adalah rusaknya lingkungan dan hilangnya mata pencarian. Sejumlah temuan buruk didapati sekian banyak lembaga terkemuka. Walhi dan Jatam, di antaranya.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), hanya dari pemberian lahan konsesi pertambangan saja, ratusan ribu hectare hutan dipastikan lenyap. “Dari satu juta lahan konsesi yang diberikan pemerintah tahun 2021, 700 ribu hektare di antaranya ada dalam kawasan hutan,” kata Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Walhi Nasional, Fanny Tri Jambore Christanto. Kalau kawasan itu dibuka, pasti melepaskan emisi yang besar. Dalam hitungan Walhi, kalau saja dari tahun lalu seluruh wilayah konsesi pertambangan itu dialihfungsikan menjadi pertambangan nikel, kira-kira 83 juta ton CO2 akan dilepas dan membuat bumi kian pengap. Catatan Walhi, pada 2022 luas konsesi itu bertambah menjadi 1.037.435,32 hektare, dengan hutan mencapai 765.237,07 hektare.
Sementara Kepala Riset Jatam, Imam Shofwan, menilai pemerintahan Presiden Jokowi telah salah kaprah menyebut ekepansi nikel itu berguna untuk mengurangi emisi karbon pada kendaraan. Menurut Imam, kebijakan itu justru menciptakan korban lebih banyak dan mencakup area luas.
“Tambang nikel ini rendah karbon, kata pemerintah, tapi kata Jatam tinggi korban,” ujar Iwan saat berbincang dengan Inilah.com, Selasa (14/6) lalu. Ia mencontohkan ekspansi tambang yang masif di Pulau Obi. Perusahaan yang menambang di sana dinilai Imam telah menciptakan banyak korban dengan hancurnya sumber daya seisi pulau tersebut.
“Di lapangan, sekian banyak mata air warga hancur, tempat berladang mereka, kebun-kebun cengkeh, kebun jambu mete, juga hancur. Hutan-hutan sagu, makanan mereka, juga dihancurkan untuk dikeruk tanahnya,” kata Iwan.
Fakta apocalypse tersebut kian dibuat kelam dengan fakta terbaru yang muncul kemudian. Menurut Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE), Taufik Bawazier, dari 34 smelter nikel yang ada, hanya empat smelter yang masuk dalam kategori pemurnian yang layak jadi bahan baku industri. Mayoritas sisanya masih memproduksi nikel pirometalurgi alias bahan baku setengah jadi dari produk nikel yang benar-benar dibutuhkan industri kendaraan listrik.
“Kita perlu membalikkan situasi dengan masuk ke industri yang lebih hilir,” kata Taufik, di depan Komisi VII DPR RI, pekan pertama Juni ini.
Masihkah kita menilai program hilirisasi nikel berhasil dan–apalagi mengingat sekian banyak kerugian yang terjadi–berguna?
Sumber: inilah
Foto: Alat berat sedang mengeruk tanah dalam proses tambang nikel (Photo: Getty Images)
Kuasa Asing di Nikel: Mineral Penting Dikangkangi Negeri Xi Jinping
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar