Akal-akalan Lembaga Survei, Masih Layakkah Dipercaya?
SEBENARNYA perlu juga dibuat survei atas keberadaan lembaga survei. Cukup pertanyaan dibuat sesimpel mungkin. Berkisar pada, Masih Percaya Lembaga Survei? Jika mau ditambah boleh juga dibuat ranking, lembaga survei mana yang paling tidak dipercaya publik.
Tidak usah tanggung-tanggung jika perlu gunakan wawancara tatap muka langsung. Jangan licik seperti yang digunakan lembaga survei "pesanan" yang menggunakan Random Digit Dialing (RDD), yang pengumpulan datanya dilakukan melalui wawancara telepon.
Perlu dibuat, itu tentu tidak untuk mencambuk surveyor pemilik lembaga survei, tapi lebih untuk mengukur kepercayaan publik atas lembaga survei. Itu perlu agar lembaga survei mengaca diri, bahwa bacaan publik pada langkah tipu-tipu mengatur-atur angka rilis survei, sesuai apa yang dikehendaki pemesan itu sudah tertangkap basah. Sudah tidak lagi efektif dimainkan. Jangan terus anggap publik bisa terus dikibuli.
Ketidakpercayaan publik melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan rilis hasil survei satu lembaga dengan lembaga lain, kesan muncul saling berbagi antara Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo untuk posisi peringkat 1.
Mafhum jika rilis SMRC pastilah Ganjar Pranowo selalu ada di peringkat 1. Sedang rilis LSI selalu menempatkan Prabowo Subianto di peringkat 1. Begitu pula lembaga survei berbayar lainnya, publik sudah amat tahu siapa yang diposisikan di peringkat 1.
Meski lembaga survei tidak pernah menyampaikan siapa yang memesannya, tapi publik sadar betul mainan lembaga survei itu dalam memberi peringkat. Bahkan hafal di luar kepala lembaga survei yang bekerja untuk Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Sedang Anies Baswedan selalu setia ditempatkan di peringkat 3.
Melihat itu semua pantas saja jika filsuf Rocky Gerung geregetan sampai menyebut, bahwa semua lembaga survei itu penipu. Sikap Rocky meski tampak berlebihan, tapi tentu dengan dasar. Bersandar pada mayoritas lembaga survei yang patut disebut "menjual diri". Suka tidak suka memunculkan ungkapan sarkastis "penipu".
Tentu masih ada lembaga survei yang tetap konsen pada nilai kejujuran. menghadirkan rilis hasil surveinya dengan obyektif. Memang sih tidak banyak ketimbang lembaga survei yang disebut dengan "penipu".
Lembaga survei "penipu" tadi memang aktif merilis surveinya. Motif bahkan bisa dibuat absurd, tapi mengarah pada satu tujuan men- downgrade Anies Baswedan, itu saat mengajukan pertanyaan mengada-ada. Misal, apakah anda percaya bahwa Anies itu dijegal?
Pertanyaan dibuat dengan perkiraan jawaban sudah diketahui. Sebagaimana kecenderungan jawaban mayoritas responden yang akan menjawab dengan "tidak percaya". Kesan yang ingin ditampilkan, bahwa klaim kelompok Anies yang merasa dijegal, itu mengada-ada.
Juga hal semacamnya, Indikator Politik Indonesia, milik Burhanuddin Muhtadi merilis survei, periode 20 hingga 24 Juni 2024, dengan responden 1.220, dan tingkat kepercayaan 95 persen. Survei bertajuk "Kepemimpinan Nasional dan Dinamika Elektoral Jelang 2024 di Mata Generasi Muda".
Indikator bisa dianggap lembaga survei paling kreatif, atau setidaknya cukup kreatif dalam merilis survei memilih tema-tema yang menggiring opini publik sesuai pesanan. Maka, yang muncul dari hasil kreatifitasnya itu angka 63 persen publik menilai presiden ke depan harus sejalan dengan Jokowi.
Itu artinya mayoritas publik ingin keberlanjutan dibanding perubahan. Kreativitas yang dimainkan Indikator ini, dan mungkin akan disusul pollster lain, membuat framing bahwa keberlanjutan lebih baik dari perubahan. Tidak persis tahu apakah main-mainan semacam Indikator ini bisa disebut sebagai kerjaan "penipu", sebagaimana ungkapan Rocky Gerung.
Alhasil, melihat itu semua akhirnya semua yakin, bahwa lembaga survei memang dimanfaatkan oleh kandidat dan timnya, guna mengarahkan opini publik agar mendapatkan bandwagon effect. Di mana mayoritas lembaga survei yang ada terbelah menjadi dua periuk ke Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Yang makan dari periuk Prabowo ya menempatkannya di peringkat 1. Begitu pula yang mengunduh periuk dari Ganjar akan menempatkannya di peringkat 1. Tergantung siapa yang bayar peringkat bisa dimainkan antara Prabowo dan Ganjar.
Semua bisa di-setting lewat kecenderungan lembaga survei memilih metode survei berbasis RDD di mana pengumpulan data dilakukan lewat wawancara via telepon, bukan tatap muka. Kecenderungan yang muncul, survei berbasis RDD hasilnya akan memenangkan kandidat yang memakai jasanya. Angka Anies akan dibuat terus merosot. Berbeda jika yang digunakan itu metode tatap muka, angka Anies bertahan di sekitar 25 persen, sementara Prabowo dan Ganjar selisihnya tipis di sekitar 30 sampai 33 persen.
Main-mainan lembaga survei ini terbukti pada rilis survei Indikator, periode Februari-Mei 2023, di mana angka Anies ada di sekitar 25 persen, yang dilakukan lewat tatap muka. Pada periode yang sama SMRC dengan metode RDD memberi angka yang rendah di bawah 20 persen kepada Anies. Karenanya, pada rilis survei pada periode Juni Indikator menggunakan survei berbasis RDD, dan memberikan angka di bawah 20 persen.
Anehnya, data tracking-nya (Februari hingga Juni) Indikator tidak menggunakan datanya sendiri, justru menggunakan basis data LSI. Bisa jadi agar penurunan elektabilitas Anies tak tampak tajam dan ekstrem.
"Akal-akalan" semacam inilah yang menguatkan dugaan, bahwa hasil survei dimanfaatkan mengarahkan opini publik. Dan, itu akan terus dimainkan sampai Pilpres 2024 berlangsung.
Terlepas dari itu semua, bahwa ketiga kandidat ini memiliki elektabilitas yang seimbang. Anies bisa jadi memang ada di urutan 3, angka elektabilitasnya 27 hingga 28 persen. Sedang Ganjar dan Prabowo ada di sekitar angka 32 hingga 33 persen. Dengan angka seperti ini ketiga kandidat bersaing ketat, dan kecenderungan akan saling salip menyalip.
Anies justru punya kans menyalip dengan elektabilitas yang tidak terpaut jauh dengan kandidat lain, meski pembentukan opini terus dilakukan. Banyak hal belum dilakukan tim Anies, yang kini terus disibukkan oleh kerja-kerja non teknis yang tak semestinya, yang pastinya berdampak pada elektabilitasnya. Jika tim Anies menggeliat solid, maka tak mustahil Anies akan memuncaki peringkat. Tidak lagi bisa dibendung bahkan dikeroyok lembaga survei sekalipun.
Karenanya, melihat main-mainan atau akal-akalan lembaga survei berbayar tidak perlu dirisaukan. Betul apa yang dikatakan Anies, bahwa semua akan ditentukan pada waktunya. Dan, itu saat pencoblosan pada Pilpres 2024 nanti.
OLEH: ADY AMAR
(Penulis adalah seorang kolumnis
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Akal-akalan Lembaga Survei, Masih Layakkah Dipercaya?
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar