Breaking News

Kisah Jenderal TNI AD Gagal Sandang Baret Merah Gara-Gara Digigit Nyamuk


Mengikuti pendidikan komando agar bisa bergabung dengan satuan elite menjadi impian bagi setiap prajurit TNI AD. Hal yang sama terpatri di benak Letjen TNI (Purn) Soegito muda kala itu.

Latihan komando merupakan sebuah tahapan awal yang harus dilalui setiap prajurit yang akan bergabung dengan satuan elite. Dalam pendidikan komando, prajurit dilatih secara khusus untuk beroperasi dalam satuan infanteri ringan atau unit satuan khusus, yang mampu digerakkan dalam operasi pendaratan amfibi atau dari udara (parachuting).

Pendidikan komando bertujuan untuk mendidik dan mengembangkan kemampuan prajurit sehingga baik secara individu dan kelompok melaksanakan operasi komando. Sekitar tahun 1960-an, pendidikan komando diakhiri di Nusakambangan, Cilacap.

Sebelum upacara pembaretan, selalu diadakan demo penutup dari siswa komando yang disaksikan para undangan dan keluarga siswa. Kopassus menyebut demo saat matahari terbit ini dengan Seruko (Serangan Regu Komando).

Setelah menyelesaikan pendidikan komando dan para dasar serta berhak menyandang brevet komando dan baret merah, mereka disebar di unit-unit operasional Kopassus, yaitu Grup. Di Grup ini, pada tahap awal mereka akan melaksanakan orientasi untuk mendapatkan gambaran tugas, nilai-nilai, dan tradisi satuan barunya.

Walau sudah tahu risikonya, tidak ada yang bisa menghalangi pentolan Kopassus Letjen Soegito untuk mengikuti pendidikan komando. Salah satu alasannya cukup sepele, ingin sekali di lengan kanan bajunya ada tulisan Komando. Sehingga apa pun yang akan terjadi selama masa pendidikan, akan dihadapinya tanpa perasaan gentar.

Dikutip dari buku "Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen", Kamis (1/6/2023), pendidikan komando dimulai di Batujajar pada Februari 1965. Soegito kembali bertemu dengan kelompok juniornya dari AMN (Akademi Militer Nasional) 63 yang baru pulang dari Operasi Tumpas di Sulawesi Selatan. Sebanyak 15 orang perwira remaja alumni 63 mengikuti pendidikan komando.

Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam bukunya Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) menyebutkan, bahwa mereka adalah angkatan pertama alumni AMN yang mengikuti pendidikan dasar komando yang sebetulnya adalah kali kedua bagi lulusan AMN.

Tidak mau lama-lama meratapi kegagalannya menjalani pendidikan dasar komando, Soegito sudah larut dalam kesibukan barunya sebagai Staf dari Mayor Inf Gunawan Wibisono, teman satu lichting Mayor Inf Benny Moerdani.

Tahap demi tahap latihan dilahap Soegito dengan baik, tanpa kesulitan. Memasuki tahap terakhir yaitu longmarch dari Batujajar ke Cilacap sejauh hampir 500 kilometer selama 10 hari, mendadak Soegito merasakan sakit tak tertahankan di seluruh sendi-sendi kakinya. Dia mendadak merasa lemah tak berdaya. Soegito tidak kuat lagi berjalan.

Tidak mampu melawan rasa sakitnya, Soegito muda pun menyerah. Pelatihnya Serma Sutari berusaha menguatkan, namun upaya itu sia-sia. Soegito pun akhirnya ditinggal kelompoknya hingga kemudian dievakuasi oleh pelatih. Singkat cerita, ia dikembalikan ke Cijantung.

Rekan-rekannya sadar Soegito tak berhasil menyentuh garis finish ketika sudah tiba di Nusakambangan. Saat dilakukan penghitungan, jumlahnya sudah tidak lengkap. Dari sejumlah nama yang dipanggil tidak ada Soegito.

"Pak Gito itu kan sprinter, pelari cepat. Biasanya pelari cepat tidak tahan jarak jauh. Tapi apakah itu sebabnya, saya tidak tahu," aku Letjen (Pur) Soetedjo rekan Soegito saat di wawancara di kantornya di Sinarmas Tower, Jakarta, awal Maret 2015.

Ketika itu Mayor Gunawan tengah disibukkan dengan beberapa penelitian terkait peralatan dan prosedur.

Sebagai staf, Lettu Soegito melaksanakan sepenuhnya program yang tengah dijalankan komandannya. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Gagal latihan komando, namun malah memberikan kesempatan kepada Soegito untuk menambah jam terjun.

Sebagai salah seorang perwira yang bertanggung jawab dalam riset penerjunan, mau tidak mau ia harus total selama proses penelitian supaya bisa memberikan laporan lengkap kepada atasannya.

Secara umum, Soegito menikmati tugasnya sebagai staf Mayor Gunawan. Apalagi tim dapat uang saku, membuat Soegito semakin senang.

Di akhir riset, Soegito menyerahkan laporan hasil kegiatan kepada Mayor Gunawan. Baru saja selesai menjadi staf Mayor Gunawan, datang lagi perintah untuk membantu Mayor Inf Heru Sisnodo di Pusdik RPKAD di Batujajar.

Saat ditemui Soegito, Mayor Heru sudah menjadi salah satu pimpinan di Batujajar.

"Dek Gito, nanti kalau mau latihan komando lagi, bila perlu apa-apa bilang saja kepada saya. Sekarang ikut saya jam terjun, sekalian nanti free fall," ajak Mayor Heru yang akrab disapa Soegito dengan panggilan Mas Heru.

Dengan membantu Mayor Heru, jam terjun Soegito semakin bertambah banyak saja. Anehnya Mayor Heru, Soegito yang nyata-nyata gagal mengikuti pelatihan komando malah diberi tugas merevisi kurikulum latihan komando.

Terang saja Soegito keberatan, yang sayangnya tak digubris. Malah Mayor Heru mengalihkan pembicaraan rencana-rencana penerjunan.

"Besok saya terjun, ikut ya."

Alhasil dari kegiatannya membantu Mayor Gunawan dan Mayor Heru berakumulasi kepada peningkatan jumlah jam terjun yang sangat signifikan.

Bisa dibilang hingga saat itu, jam terjun Soegito paling tinggi dari semua perwira lulusan AMN 61. Karena jam terjun yang cukup banyak itu, di kemudian hari di atas wing terjunnya ditambahkan bintang dan bintang merah sekembalinya Dili tahun 1976.

Di sela-sela tugas sambil menunggu dibukanya pendidikan komando, Soegito memeriksakan ke dokter mencari tahu penyebab sakit di kakinya yang menyebabkannya gagal mengikuti pendidikan komando.

Hasil diagnosa dokter menyebutkan ia terkena malaria, yang salah satunya menyebabkan sakit di persendian kaki dan daya tahan tubuhnya menurun. Flashback kejadian sebelumnya ketika merasakan sakit saat mengikuti program Infanteri Diperberat dan saat Operasi Tumpas, Soegito yakin sepertinya ia tersengat nyamuk yang membawa parasit plasmodium itu saat berdinas di Rindam, Padang.

Virusnya mendekam sekian tahun di dalam tubuhnya. Terutama di sendi-sendinya. Akhirnya kesempatan kedua untuk mengikuti pendidikan komando tiba juga.

Karena sudah pernah menjalaninya, Soegito malah menikmati setiap tahap yang dilaluinya. Bahkan pada tahap long march, petanya disimpan di ransel sewaktu memasuki wilayah Kabupaten Cilacap dan langkahnya diikuti oleh peserta yang lain, yang semuanya adalah juniornya.

Salah satu kenangannya saat pendidikan komando pada tahap pendaratan di Cilacap adalah disuruh salto oleh bintara pelatih dari sebuah ketinggian. Alasan pelatih sederhana sekali, hanya karena Soegito orang Cilacap. Alasan yang jelas-jelas tidak ada korelasinya.

Beberapa tahun kemudian, pelatih asal Aceh yang dikenal galak itu menjadi anggotanya saat diterjunkan di Dili, Desember 1975.

Usai menjalani pendidikan dasar komando, Soegito ditempatkan sebagai Komandan Kompi di Batalion 2 RPKAD di Magelang. Saat itu RPKAD baru memiliki dua batalion, dengan Batalion 1 di Cijantung. Setelah itu Soegito ditarik ke Cijantung dan diserahi jabatan Danki A Batalion 1.

Sumber: okezone
Foto: Letjen (Purn) Soegito. (Ist)
Kisah Jenderal TNI AD Gagal Sandang Baret Merah Gara-Gara Digigit Nyamuk Kisah Jenderal TNI AD Gagal Sandang Baret Merah Gara-Gara Digigit Nyamuk Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar