Ternyata Pancasila BPIP Berbeda dengan Pancasila Bung Karno
KAJIAN Rumah Pancasila terhadap Pancasila BPIP yang akhirnya melahirkan Kepres No 24 tahun 2016 tentang lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 menjadi berbeda dengan Pancasila Bung Karno sebagai dasar negara.
Mengapa berbeda?
Memang pidato 1 Juni itu Ketuhanan Yang Berkebudayaan di urutan ke lima tetapi secara konsep dan tata letak, frasa kata berbeda dan Pancasila 1 Juni itu baru pendapat Bung Karno saja padahal Bung Karno sendiri mengatakan kalau kita ingin membuat dasar negara jangan dianggit sendiri tetapi ajaklah dengan yang lain.
Jadi justru Bung Karno tidak merasa membuat dasar negara sendiri justru harus melibat semua rakyat.
Dasar negara itu jika dibuat sendiri akan mudah retak dan galihlah sejarah bangsa sedalam dalam nya. Oleh sebab itu setelah 1 Juni maka Dr.Rajiman membentuk panitia kecil 8 orang dan ditambah lagi 2 orang kemudian keluar satu orang menjadi 9.Di panitia 9 inilah dasar negara dikomporomikan diperdebatkan yang hasilnya adalah Piagam Jakarta.
Kemudian masuk pada pembentukan UUD 1945 Piagam Jakarta yang akan dipakai sebagai pembukaan UUD 1945 oleh Ki Bagus Hadi Kusumo, frasa kata sila ke satu Ketuhanan dengan Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya, menurut kemanusiaan yang adil dan beradab diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengapa berbeda Pancasila Bung Karno dengan Pancasila BPIP, sebab BPIP menganggap Pancasila Bung Karno itu hanya yang dipidatokan 1 Juni 1945, padahal proses sejarah Pancasila itu dari 1 Juni, 22 Juni, 18 Agustus 1945 final dan setelah itu Bung Karno tidak berhenti melakukan kursus -kursus Pancasila di berbagai perguruan tinggi dan istana negara, bahkan paling fenomenal justru pidato 17 Agustus 1963. Di sanalah Bung Karno dengan jelas mengatakan Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 adalah loro-loroning atunggal itu artinya yang mendasari negara Proklamasi 17 Agustus 1945 itu Pancasila yang ada di alenia ke 4 pembukaan UUD 1945.
BPIP tidak nengerti bahwa Pancasila itu adalah antitesis dari individualisme, liberalisme, kapitalisme .
BPIP Sebagai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila justru membiarkan negara menjadi individualisme, liberalisme , kapitalisme, padahal protes keras bangsa ini terhadap individualisme adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
BPUPKI rapat besar pada tanggal 15-7-2605 dibuka pukul 10.20 mengatakan (cuplikan Soekarno):
”Maka oleh karena itu jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong- menolong, faham gotong royong, faham keadilan sosial, enyakanlah tiap-tiap pikiran,tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya.“
Toean-toean dan njonja-njonja jang terhormat.
Kita rantjangkan oendang-oendang dasar dengan kedaulatan rakjat, dan boekan kedaulatan individu.
Kedaulatan rakjat sekali lagi, dan boekan kedaulatan individu. Inilah menoeroet faham panitia perantjang oendang-oendang dasar, satoe-satoenja djaminan bahwa bangsa Indonesia seloeroehnja akan selamat dikemoedian hari. Djikalau faham kita ini poen dipakai oleh bangsa-bangsa lain, itoe akan memberi djaminan akan perdamaian doenia jang kekal dan abadi.
…………. Marilah kita menoendjoekkan keberanian kita dalam mendjoendjoeng hak kedaulatan bangsa kita, dan boekan sadja keberanian jang begitoe, tetapi djoega keberanian mereboet faham jang salah di dalam kalboe kita. Keberanian menoendjoekkan, bahwa kita tidak hanja membebek kepada tjontoh2 oendang2 dasar negara lain, tetapi memboeat sendiri oendang2 dasar jang baroe, jang berisi kefahaman keadilan jang menentang individualisme dan liberalisme; jang berdjiwa kekeloeargaan, dan ke-gotong-royongan. Keberanian jang demikian itoelah hendaknja bersemajam di dalam hati kita. Kita moengkin akan mati, entah oleh perboeatan apa, tetapi mati kita selaloe takdir Allah Soebhanahoewataala. Tetapi adalah satoe permintaah saja kepada kita sekalian:
Djikalau nanti dalam zaman jang genting dan penoeh bahaja ini, djikalau kita dikoeboerkan dalam boemi Indonesia, hendaklah tertoelis di atas batoe nisan kita, perkataan jang boleh dibatja oleh anak-tjoetjoe kita, jaitoe perkataan: “Betoel dia mati, tetapi dia mati tidak sebagai pengetjoet”.
Bukannya BPIP sebagai pembina ideologi Pancasila mengerti sejak UUD 1945 diganti dengan UUD 2002 telah terjadi penyimpangan terhadap Ideologi Negara Berdasarkan Pancasila? Justru menganti Pancasila 18 Agustus dengan Pancasila 1 Juni.
Akibat dari ditetapkan Lahirnya Pancasila 1 Juni melalui Kepres No no 24 tahun 2016, akibat penetapan ini telah mendegradasi pemikiran Soekarno.
BPIP mengatakan Pancasila lahir 1 Juni sedang Pancasila Bung Karno tidak perna dilahirkan.
Cuplikan Kursus Pancasila
Presiden Soekarno pada tanggal 24 September 1955di Surabaya.
..............”Tidak benar Saudara-saudara, bahwa kita sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia – sebenarnya telah mengenal akan – Panca Sila?
Tidakkah benar kita dari dahulu mula, telah mengenal Tuhan, hidup di dalam alam Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita dahulu pernah menguraikan hal ini panjang lebar.
Bukan anggitan baru. Bukan karangan baru. Tetapi sudah sejak dari dahulu mula bangsa Indonesia adalah satu bangsa yang cinta kepada Ketuhanan.
Yah kemudian Ketuhanannya itu disempurnakan oleh agama-agama. Disempurnakan oleh Agama Islam, disempurnakan oleh agama Kristen. Tetapi dari dahulu mula kita memang adalah satu bangsa yang berketuhanan.
Demikian pula, tidakkah benar bahwa kita ini dari dahulu mula telah cinta kepada Tanah Air dan Bangsa? Hidup di dalam alam kebangsaan?
Dan bukan saja kebangsaan kecil, tetapi kebangsaan Indonesia. Hai engkau pemuda-pemuda, pernah engkau mendengar nama kerajaan Mataram? Kerajaan Mataram yang membuat candi Prambanan, candi Borobudur? Kerajaan Mataram ke-2 di waktu itu di bawah pimpinan Sultan Agung Hanjokrokusurno? Tahukah Saudara-saudara akan arti perkataan Mataram? Jikalau tidak tahu, maka aku akan berkata kepadamu “Mataram berarti Ibu”. Masih ada persamaan perkataan Mataram itu misalnya perkataan Mutter di dalam bahasa Jerman – Ibu. Mother dalam bahasa Inggeris – Ibu. Moeder dalam bahasa Belanda – Ibu. Mater dalam bahasa Latin – Ibu. Mataram berarti Ibu.
Demikian kita cinta kepada Bangsa dan Tanah air dari zaman dulu mula, sehingga negeri kita, negara kita, kita putuskan Mataram.
Rasa kebangsaan, bukan rasa baru bagi kita. Mungkinkah kita mempunyai kerajaan seperti kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dahulu, jikalau kita tidak mempunyai rasa kebangsaan yang berkobar-kobar di dalam dada kita?
Yaah kata pemimpin besar yang bernama Gajah Mada, Sang Maha Patih Ihino Gajah Mada. Benar kita mempunyai pemimpin besar itu. Benar pemimpin besar itu telah bersumpah satu kali “tidak akan makan kelapa, jikalau belum segenap kepulauan Indonesia tergabung di dalam satu negara yang besar”.
Benar kita mempunyai pemimpin yang besar itu. Tetapi apakah pemimpin inikah yang sebenarnya pencipta daripada kesatuan kerajaan Majapahit? Tidak!
Pemimpin besar sekadar adalah sambungan lidah daripada rasanya rakyat jelata. Tidak ada satu orang pemimpin besar, walaupun besarnya bagaimanapun juga, – bisa membentuk satu negara yang sebesar Majapahit ialah satu negara yang besar, yang wilayahnya dari Sabang sampai ke Merauke, – bahkan sampai ke daerah Philipina sekarang.
Katakanlah Bung Karno pemimpin besar atau pemimpin kecil – pemimpin gurem atau pemimpin yang bagaimanapun, – tetapi jikalau ada orang yang berkata: “Bung Karno yang mengadakan negara Republik Indonesia”. Tidak benar!!! Janganpun satu Soekarno sepuluh Soekarno, seratus Soekarno, seribu Soekarno – tidak akan bisa membentuk negara Republik Indonesia, jikalau segenap rakyat jelata Republik Indonesia tidak berjuang mati-matian!”
Kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan segenap rakyat. Maka itu pula menjadi pikiran Bapak, Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, – tetapi milik kita semua dari Sabang sampai ke Merauke!
Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini dijalankan oleh semua bangsa Indonesia.
Aku melihat di dalam daerah-daerah yang kukunjungi, di manapun aku datang, aku melihat Taman-taman Pahlawan. Bukan saja di bagian-bagian yang beragama Islam, tetapi juga di bagian-bagian yang beragama Kristen.
Aku melihat Taman-taman Pahlawan di mana-mana. Di sini di Surabaya, pada tanggal 10 November tahun 1945, siapa yang berjuang di sini?
Segenap pemuda-pemudi, kiai, kaum buruh, kaum tani, segenap rakyat Surabaya berjuang dengan tiada perbedaan agama, adat-istiadat,golongan atau suku.
Rasa kebangsaan kita sudah dari sejak zaman dahulu, demikian pula rasa perikemanusiaan. Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia ini, satu-satunya bangsa yang tidak pernah menjajah bangsa lain adalah bangsa Indonesia.
Aku tentang orang-orang ahli sejarah yang bisa membuktikan bahwa bangsa Indonesia pernah menjajah kepada bangsa lain.
Apa sebab? Oleh karena bangsa Indonesia berdiri di atas dasar perikemanusiaan sejak dari zaman dahulu. Dari zaman Hindu, kita sudah mengenal perikemanusiaan. Disempurnakan lagi rasa perikemanusiaan itu dengan agama-agama yang kemudian.
Di dalam zaman Hindu kita telah mengenal ucapan: “Tat Twam Asi”. Apa artinya Tat Twam Asi? Tat Twam Asi berarti “Aku adalah dia, dia adalah aku”.
Dia pakai, aku ikut pakai. Dia senang, aku ikut senang. Aku senang, dia ikut senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tat Twam Asi – perikemanusiaan.
Kemudian datanglah di sini agama Islam, mengajarkan kepada perikemanusiaan pula. Malah lebih sempurna. Diajarkan kepada kita akan ajaran-ajaran fardhu kifayah, kewajiban-kewajiban yang dipikulkan kepada seluruh masyarakat. Misalnya jikalau ada orang mati di kampungmu, dan kalau orang mati itu tidak terkubur, – siapa yang dianggap berdosa, siapa yang dikatakan berdosa, siapa yang akan mendapat siksaan daripada dosa itu? Bukan sekadar kerabat famili daripada sang mati itu. Tidak!
Segenap masyarakat di situ ikut tanggung jawab.
Demikianlah pula rasa kedaulatan rakyat. Apa sebab pergerakan Nasional Indonesia laksana api mencetus dan meledakkan segenap rasa kebangsaan Indonesia?
Oleh karena pergerakan nasional Indonesia itu berdiri di atas dasar kedaulatan rakyat.
Engkau ikut berjuang! Dari dahulu mula kita gandrung kepada kedaulatan rakyat.
Apa sebab engkau ikut berjuang? Oleh karena engkau merasa memperjuangkan dasar kedaulatan rakyat.
Bangsa Indonesia dari dahulu mula telah mengenal kedaulatan rakyat, hidup di dalam alam kedaulatan rakyat.
Demokrasi bukan barang baru bagi kita. Demikian pula cita-cita keadilan social, – bukan cita-cita baru bagi kita.
Jangan kira, bahwa cita-cita keadilan sosial itu buatan Bung Karno, Bung Hatta, atau komunis, atau kaum serikat rakyat, kaum sosialis. Tidak!
Dari dahulu mula bangsa Indonesia ini cinta kepada keadilan sosial. Kalau zaman dahulu, kalau ada pemberontakan, – Saudara-saudara berhadapan dengan pemerintah Belanda, semboyannya selalu “Ratu Adil”,ratu adil para marta. Sama rata, sama rasa. Adil, adil, itulah yang menjadi gandrungnya jiwa bangsa Indonesia.
Bukan saja di dalam alam pergerakan sekarang atau di dalam pergerakan alam nasional tetapi dari dulu mula.
Maka oleh karena itulah aku berkata, baik Ketuhanan Yang Maha Esa maupun Kebangsaan, maupun Perikemanusia-an, maupun Kedaulatan Rakyat, maupun Keadilan Sosial, bukan aku yang menciptakan.
Aku sekadar menggali sila-sila itu. Dan sila-sila ini aku persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia untuk dipakai sebagai dasar daripada wadah yang berisi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat.
Inilah Saudara-saudara, maka di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyousakai di dalam zaman Jepang, pertengahan tahun 1945 telah diadakan satu sidang daripada pemimpin-pemimpin Indonesia, dan di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai itu dibicarakan hal-hal ini.
Disinilah bukti bahwa Pancasila itu bukan lahir 1 Juni dan itu bung Karno sendiri yang mengatakan jika Pancasila dilahirkan 1 Juni jelas mendiskontroksi pemikiran Bung Karno ,menyelewengkan pemikiran Bung Karno terhadap Pancasila .oleh sebab itu kepres no 24 tahun 2016 harus digugat karena telah menyesatkan bangsawa negara Indonesia
Kaum cerdik pandai ,Ulama ,Tokoh Agama ,harus melakukan perlawanan sebab lahir nya Ke Tuhanan Yang Maha Esa 1 Juni melawan akidah agama apapun di Indonesia .
Dalam buku Bung Karno–Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adams, Si Bung kembali mempertegas…
“Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah.”
Jadi Bung Karno mengakui bukan yang menciptakan Pancasila memang benar, mana mungkin Bung Karno menciptakan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan begitu Pancasila bukan dilahirkan, siapa yang melahirkan? Memang menjadi tidak masuk akal masak Ke Tuhanan Yang Maha Esa dilahirkan tanggal 1 Juni 1945?
Mari kita ikuti cuplikan “Kursus Pancasila Bung Karno di Istana Negara” tanggal 16 Juni 1958 berikut ini.
“…Nah, ini yang menjadi pertimbangan dari pemimpin-pemimpin kita dalam tahun 1945, dan sebagai tadi saya katakan, sesudah bicara-bicara, akhirnya pada satu hari saya mengusulkan Pancasila. Pancasila itu diterima masuk dalam Djakarta Charter, masuk dalam sidang pertama sesudah proklamasi. Jadi kalau saudara ingin mengerti Pancasila, lebih dulu harus mengerti ini: meja statis, leitstar dinamis.
Saudara-saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, dan jika kita mencari suatu leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri.
Sudah jelas kalau kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu harus terdiri daripada elemen-elemen yang ada pada jiwa Indonesia. Kalau kita mau masukkan elemen-elemen yang tidak ada dalam jiwa Indonesia, tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.
Misalnya kalau kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika. Itu adalah elemen asing bagi kita, yang tidak “in concordantie” dengan jiwa kita sendiri, tak akan bisa menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus mempersatukan.
Demikian pula elemen-elemen untuk dijadikan leitstar dinamis harus elemen-elemen yang betul-betul menghikmati jiwa kita. Yang betul-betul, bahasa Inggrisnya “appeal” kepada jiwa kita.
Kalau kita kasih leitstar yang tidak “appeal” kepada jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak berakar kepada jiwa kita sendiri, ya tidak bisa menjadi leitstar dinamis yang menarik kepada kita…”
Para pembaca, dari cuplikan kuliah Bung Karno tadi kita bisa memahami ternyata Pancasila bukan hanya sekadar dasar negara lebih jauh lagi Pancasila adalah alat untuk menyatukan bangsa Indonesia.
Pancasila adalah jiwa masyarakat yang sedalam-dalamnya, jiwa Indonesia.
Oleh sebab itu Pancasila jelas bukan beraliran Individualisme. Jiwa Indonesia bukan Liberalisme dan Kapitalisme.
Rupanya BPIP Dan para pengamandemen UUD 1945 tidak memahami dasar negara, tidak memahami Pancasila sebagai “Meja Statis” dan “Leitstar Dinamis”. Sehingga dengan sengaja mencangkokan pikiran Barat Individualisme dan Liberalisme serta Kapitalisme di dalam UUD 2002 hasil amandemen.
Dan BPIP membiarkan negara menjalankan demokrasi liberal yang dasar nya Individualisme ,Liberalisme, Kapitalisme ,dengan sistem presidenseil dimana kekuasaan di perebutkan banyak banyakan suara, kalah menang ,pertarungan ,kuat kuatan, curang-curangan Caci maki dan membiarkan persatuan bangsa terkoyak koyak .
Ini adalah penghancuran jati diri bangsa Indonesia dengan cara mencangkokan pikiran Barat pada Pancasila.
Jadi sudah jelas bahwa BPIP tidak berideologi Pancasila 18 Agustus 1945 tetapi mengganti Pancasila 1 Juni 1945 ,sehingga kita melihat sebagai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila menbiarkan negara berudeologi Individualisme, Liberalisme,Kapitalisme .hal ini jekas paradox dengan Pancasila. (*)
Oleh :Prihandoyo Kuswanto
Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Ternyata Pancasila BPIP Berbeda dengan Pancasila Bung Karno
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar