Bahaya Bernegara Tanpa Evaluasi
MENGAPA dalam sejarah peradaban dunia revolusi sering terjadi? Kapan dan bagaimana revolusi terjadi ? Secara historis revolusi terjadi di banyak kawasan, dari Eropa hingga Asia Afrika. Dari revolusi Perancis (1789) hingga Arab Spring (2011).
Salah satu faktor utama munculnya revolusi selain karena model kekuasaan monarki absolut dan perilaku diktator otoritarian penguasa juga karena tiadanya ruang untuk mengoreksi kekuasaan, tidak ada semacam evaluasi terhadap jalanya pemerintahan, tidak ada keberanian legislatif untuk mengoreksi eksekutif, meskipun secara formal ada trias politica. Penguasa semaunya, pada saat yang sama parlemen tidak menjalankan fungsi kontrolnya. Parlemen hanya sebagai stempel atau pembenar langkah kekuasaan. Aspirasi rakyat diabaikan. Situasi itu bisa menimbulkan akumulasi kekecewaan rakyat banyak yang memicu terjadinya revolusi.
Fenomena Revolusi di Eropa diantaranya dipicu oleh gagasan besar tentang pentingnya check and balances (kontrol dan keseimbangan) di dalam kekuasaan, sebagai respon terhadap praktek kekuasaan yang sangat absolut, diktator dan otoriter saat itu. Gagasan Itu yang kemudian disebut trias politica (tiga pusat kekuasaan) yang harus dipisah agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan.
Gagasan trias politica yang dimulai dari pemikiran John Locke (1632 –1704) dan dikembangkan lebih maju oleh Montesquieu (1689 – 1755) yang telah memicu revolusi di Perancis itu kemudian menjadi gagasan sangat bersejarah yang merubah wajah dunia dari monarki absolut menjadi demokrasi.
Pasca revolusi Prancis gagasan trias politica ini kemudian di implementasikan dan kini digunakan di lebih dari 160 negara di dunia. Termasuk Indonesia.
Gagasan trias politica sesungguhnya menawarkan suatu konsep kehidupan bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif yang memiliki kedudukan yang sederajat. Sehingga, dapat saling mengawasi dan mengimbangi satu sama lain. Menurut Montesquieu (1748), pemisahan kekuasaan dilakukan untuk membatasi kekuasaan agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang akan melahirkan kesewenang - wenangan.
Indonesia dan Trias Politica
Itulah sebabnya sejak Indonesia merdeka telah disepakati para pendiri bangsa ini untuk memilih menjadi negara republik agar jalanya pemerintahan mendengarkan aspirasi dan melayani publik bukan untuk melayani penguasa. Negara Republik dan pemisahan kekuasaan adalah satu paket yang tak terpisahkan, itu semua di lakukan agar terhindar dari absolutisme dan otoritarianisne kekuasaan. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dipisahkan agar saling mengontrol masing masing dan tidak bertindak sewenang-wenang.
Bagaimana dengan Indonesia saat ini? Selain korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela dengan indeks korupsi yang hanya mendapat skor 34, dalam tahun-tahun terakhir ini tidak sedikit kebijakan pemerintah yang banyak menimbulkan masalah dan kemudian menjadi beban APBN. Dari pembangunan kereta cepat yang biayanya membengkak hingga pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang digadaikan kepada pihak asing.
Hilangnya Fungsi Kontrol dan Bahayanya
Persoalan yang menyelimuti republik kini semakin complicated. Itu semua terjadi karena fungsi kontrol, pengawasan atau evaluasi dari parlemen (DPR) tidak berjalan. DPR lebih banyak manut kepada eksekutif karena lebih dari 80 % anggota DPR dibawah kendali Eksekutif.
Atas nama koalisi 80 % lebih itu fungsi kontrol parlemen tidak dijalankan. Apalagi muncul pandangan di kalangan koalisi pemerintahan di DPR bahwa Presiden tidak bisa diberhentikan karena dipilih langsung oleh rakyat. Narasi itu tidak sesuai konstitusi UUD 1945 pada pasal 7A yang membolehkan DPR melakukan evaluasi yang berujung pemberhentian terhadap Presiden.
Pembiaran DPR terhadap langkah - langkah Presiden itu membuat Presiden menjalankan politik aji mumpung semaunya menjalankan kekuasaan. Membuat banyak kebijakan yang sesungguhnya bertentangan dengan aspirasi rakyat banyak dan bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.
Misalnya Presiden tidak menjalankan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Presiden nekat melawan amar putusan MK tersebut dengan membuat Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja. Padahal amar putusan MK itu memerintahkan agar memperbaiki undang-undang cipta kerja. Proses pembuatanya harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) agar pembuatan undang-undang harus melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna. Perppu yang dibuat Presiden itu sepihak dan sama sekali tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna sebagaimana amanat undang-undang tersebut. Cara Presiden Ini melanggar dua hal, yaitu melanggar amar putusan MK dan melanggar UU nomor
13 Tahun 2022. Saya menilai itu semaunya Presiden dan Presiden telah merusak cara bernegara.
Pemerintah yang memaksa Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang tanpa pelibatan partisipasi publik yang bermakna itulah salah satu yang membuat buruh terus menolak Undang - Undang cipta kerja hingga saat ini. Ekspresi Rocky Gerung yang sedemikian vulgar dalam rapat buruh yang menolak UU Cipta kerja pekan lalu itu adalah ekspresi dari puncak keresahan itu. Ketegangan sosial akan mungkin terus terjadi sepanjang akar persoalanya tidak diselesaikan.
Situasi seperti itu, tidak hanya membahayakan demokrasi dan ekonomi Indonesia tetapi juga sesungguhnya membahayakan masa depan negara dalam jangka waktu yang panjang. Akibat kebijakan Presiden yang egoistik dan aji mumpung itu (termasuk misalnya Pembangunan IKN, revisi UU KPK, dll) beban dan persoalan negara menjadi sangat serius dan rumit. Apakah situasi ini akan terus dibiarkan tanpa evaluasi terhadap Presiden? Sungguh saya sebagai akademisi harus mengingatkan kekacauan bernegara ini bersumber dari langkah-langkah Presiden. Sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia jika Presiden yang semaunya ini tidak di evaluasi dengan pasal 7A UUD 1945, apalagi korupsi semakin merajalela. (*)
Oleh Ubedilah Badrun
Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Ikuti Twitter Kami: @OposisiCerdas
Bahaya Bernegara Tanpa Evaluasi
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar