Rakyat Belum Merdeka, Demokrasi Dicengkram Oligarki
Lewat harta kekayaannya, para oligarki memanfaatkan demokrasi untuk mendapatkan posisi strategis, baik itu di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, guna bisa mengendalikan kekuasaan untuk kepentingannya.
Belakangan ini kata oligarki begitu akrab di telinga masyarakat. Kata ini sering digaungkan karena masyarakat protes terhadap makin dalamnya jurang ketimpangan antara si kaya dengan si miskin.
Filsuf kenamaan dunia, Aristoteles menyatakan sistem pemerintahan oligarki memiliki sifat yang berlawanan dengan orang-orang miskin. Sistem demokrasi, digadang-gadang mampu melawan orang-orang kaya yang jumlahnya sedikit tetapi memiliki pengaruh yang besar.
Namun faktanya berbeda, adanya konstitusi yang demokratis, tidak menutup kemungkinan bahwa pemerintah sebenarnya bisa saja berjalan di bawah kendali oligarki. Sebagaimana yang dikeluhkan masyarakat terhadap kondisi terkini negeri ini.
Jeffrey Winters dalam bukunya bertajuk Oligarki, berpendapat bahwa praktik ini sudah muncul pada era Presiden Soeharto, hanya saja pada masa itu istilah oligarki belum begitu semarak seperti sekarang, lebih dikenal dengan istilah konglomerasi.
Pada masa itu, masih menurut buku yang sama, Soeharto membagikan kekayaan alam Indonesia pada kelompok tertentu yaitu seperti jenderal dan para petinggi militer serta pebisnis kelas kakap yang punya kedekatan dengannya.
Sistem seperti ini pun akhirnya jatuh saat reformasi tahun 1998 silam. Pertanyaannya apa setelah reformasi sudah benar-benar hilang praktik oligarki dan konglomerasi?
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai kondisi Indonesia tidak banyak berubah setelah 25 tahun reformasi dan 78 tahun merdeka dari penjajah. Jika dulu negara sempat dikuasai oleh kolonial dan konglomerat, kini Indonesia justru terjerembab dalam pusaran oligarki, rakyat belum sepenuhnya merdeka, utamanya dalam segi ekonomi.
Faisal mengatakan bahwa pada era sebelum reformasi, sumber daya alam (SDA) masih dikelola oleh negara dan memiliki kontribusi besar bagi pendapatan negara melalui pajak. Namun, kondisi tersebut sangat jauh berbeda saat ini.
Contohnya, ekspor batu bara pada 2022 tercatat mencapai Rp850 triliun, tetapi negara disebut enggan mengambil pajak ekspor. Hal ini pun membuat negara tidak mendapatkan windfall profit.
“Konglomerasi berubah bentuk menjadi oligarki karena sentimen anti-China, sekarang pribumi. Waktu itu konglomerat tidak menguasai SDA seperti sekarang. Dulu SDA dikuasai oleh negara, sekarang enggak,” ujarnya dalam diskusi publik, di Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Kondisi ini pun diperparah dengan hadirnya para pebisnis dalam lingkaran kekuasaan. Sebut saja Luhut Binsar Pandjaitan yang kini menjabat sebagai Menko Marves dan Oesman Sapta Odang (OSO), yang merupakan ketua umum Partai Hanura. Keduanya, merupakan orang dekat Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Kita lihat Pak Luhut saat menyiapkan kebijakannya, perusahaannya juga disiapkan dan macam-macam. Lalu banyaknya partai politik semakin memperbesar peluang pebisnis masuk ke lingkaran kekuasaan. Muncul lah Partai Perindo dan partai-partai lain, misalnya Hanura oleh Pak OSO. Di DPR hampir 60 persen masuk pengusaha. Mereka juga pengambil keputusan,” terang Faisal.
Keterlibatan para pebisnis dalam kekuasaan ini, turut berkontribusi pada ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Faisal menegaskan, ketimpangan ini bisa dilihat dari aset deposit di bank. Menurutnya, rekening masyarakat yang memiliki saldo di bawah Rp100 juta mencapai hampir 99 persen.
Adapun, orang dengan simpanan senilai Rp5 miliar lebih yang hanya mencapai 0,03 persen mencatatkan pertumbuhan nilai dari 40 persen menjadi lebih dari 50 persen saat ini. “Jadi, 1 persen orang kaya menguasai kira-kira 45 persen kekayaan nasional, 10 persen menguasai kira-kira 75 persen ekonomi nasional. Dan, di tengah Covid-19 pun, orang kaya di Indonesia naik,” kata Faisal.
Indonesia sejatinya bisa lepas dari cengkraman para oligarki, asalkan para pembuat kebijakan punya kemauan yang kuat. Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menegaskan bahwa seharusnya para pemimpin baik itu presiden, DPR, MPR, DPD, semestinya bersama-sama membuat aturan atau sistem yang membatasi gerak para oligarki di tanah air.
Misalnya saja, adanya transparansi dalam hal benturan kepentingan, yang ia nilai hingga saat ini belum ada aturan seperti ini. “Kalau tidak dikorek oleh NGO, sebenarnya menteri A punya usaha dimana saja, menteri B punya saham dimana saja, saya kira tidak banyak orang yang tahu. Nah itu yang mestinya dibangun dan dijadikan sistem,” ujarnya dalam diskusi yang sama bersama Faisal di Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Begitu kuatnya cengkraman oligarki dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini, harusnya bisa merangsang kepekaan masyarakat untuk lebih peduli terhadap isu-isu politik.
Masyarakat harus mulai bergerak untuk lebih terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan. Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar beberapa waktu lalu, pernah mengeluarkan pendapat yang mendorong pendirian partai lokal oleh anak muda.
Tujuannya, agar dapat merebut kursi parlemen lokal melalui isu-isu lokal yang ada. Diyakini kekuatan dari suatu partai lokal itu dapat membenamkan kekuasaan politik oleh oligarki secara perlahan.
Sumber: inilah
Foto: Ilustrasi demokrasi dalam cengkraman oligarki. (Foto: Inilah.com).
Rakyat Belum Merdeka, Demokrasi Dicengkram Oligarki
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar