Jokowi dan Kebijakan Hilirisasi Ideologi Komunis China
Di awal-awal tampilnya Jokowi di pentas politik nasional, telah banyak disinyalir sejumlah kalangan bahwa Jokowi ini keturunan Komunis. Untuk konfirmasi atas hal ini silahkan di googling, tersedia banyak rekam jejak digital perihal ini. Walaupun tidak ada konfirmasi dari pihak berwenang bahwa benar Jokowi ada keturunan aktifis Partai Komunis Indonesia (PKI) dan atau _underbow_-nya.
Karena itu kita tidak dapat berkata dengan yakin bahwa memang Jokowi itu adalah keturunan PKI.
Namun jika kita amati pembelahan sosial pada pilpres tahun 2019 yang didesain secara naratif dengan menghadirkan istilah “cebong” dan “kampret”, secara teori dapat di baca sebagai “teori konflik” yang dikenal lazim penggunaannya dalam penerapan ideology komunis. Kita juga menyaksikan bahwa pihak pendukung Jokowi (Projo), mencitrakan diri mereka sebagai Pancasilais, dan mencitrakan lawan politik Jokowi sebagai radikalisme, ekstrimisme, anti-Pancasila. Persis seperti menduplikasi cara PKI dalam membangun propaganda di masa lampau, dengan mencitrakan kelompok Sukarnois sebagai “progressif revolusioner” di satu sisi, dan menuduh lawan politik mereka, (terutama kalangan NU dan Masyumi) sebagai kelompok yang anti revolusi.
Dalam hal investasi, kita juga menyaksikan hubungan erat antara rezim Jokowi dengan Komunis China, sebagaimana dulu juga di lakukan oleh Sukarno pada masanya, sehingga desakan pembubaran PKI oleh TNI-AD, Pelajar dan Mahasiswa pasca peristiwa G.30-S/PKI tidak digubris oleh Sukarno.
Singkat cerita, ada paralelisme penerapan ideologi komunis yang nampak pada level hilir, telah dilakukan oleh Jokowi dan para pendukunganya. Tentu saja berbeda secara tekhnikal karena faktor media sosial yang digunakan.
Dengan melakukan pencermatan secara mendalam, kami dengan yakin menyebut bahwa Jokowi telah melakukan Hilirisasi kebijakan ideologi Komunis, meskipun masih pada level yang belum sepenuhnya. Tentu saja, pihak China (Negara Tiongkok) yang menggandeng erat tangan Jokowi ini, memiliki kepentingan agar program hilirisasi ideologi komunis China di Indonesia terus berlanjut, dan karena itu dapat di pastikan bahwa anasir-anasir kekuatan ekonomi-politik Komunis China bermain dalam Pemilihan Presiden tahun 2024, sebagaimana mereka telah melakukannya pada Pilpres 2019 yang lalu, yang sukses mengelabui kita semua karena berhasil memasang dua pasangan Calon Presiden.
Skenario dua pasangan calon presiden yang sukses dilakukan pada pilpres 2019 yang lalu, memang tidak banyak di sadari para aktifis politik, para relawan yang di mobilisasi. Bahkan sedemikian “buta” nya dengan skenario dua pasangan capres itu, pada level relawan kedua kubu saling caci-maki, saling lapor polisi, saling hujat satu sama lain. Yang sesungguhnya semua itu by design melalui apa yang disebut sebagai “teori konflik” dalam narasi “tesa anti tesa”.
Pada akhirnya, masuknya Prabowo dan Sandiaga di Kabinet Jokowi, kemudian membuka tabir skenario dua pasangan itu. Kedekatan Jokowi dan Prabowo yang di tunjukkan belakangan ini, yang membuat PDI Perjuangan merasa “terhianati” sebenarnya tidak perlu terjadi, jika elit PDI Perjuangan menyadari skenario Komunis Tiongkok yang hilirisasinya sedang di jalankan oleh Jokowi itu.
Hilirisasi ideologi komunis dengan dukungan jaringan Tiongkok ini seperti yang telah di kemukakan di atas, memang masih “lemah”, masih tahap proses enkulturasi dalam pendekatan teori sosial. Hal itu karena memang program hilirisasi ideologi komunis ini, dimainkan melalui jalur politik ekonomi. Sebagaimana China melakukannya pula di sejumlah negara di Asia Selatan, Amerika Latin dan Afrika.
Setelah kita menyadari hal demikian, nampaknya sejumlah tokoh dengan lantang mulai bersuara. Terutama yang tergabung dalam KAMI. Tokoh-tokoh seperti Jenderal Gatot Nurmantyo, Prof Din Syamsudin, Rocky Gerung, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Refly Harun, Marwan Batu Bara, Faisal Basri, Anthony Budiawan, Said Didu, dan banyak lagi secara lantang menyuarakan keprihatinan mereka.
Kesadaran yang sama nampaknya merasuk juga dalam diri Surya Paloh (Ketua Umum Partai Nasdem), dan tentu saja para petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Komunikasi politik mereka intensifkan dan membentuk suatu kesadaran Kebangsaan berbasis Nasionalisme-Religius yang kemudian mereka sebut sebagai Koalisi Perubahan.
Selanjutnya, kita semua telah mengikuti bahwa gagasan tentang perlunya perubahan, memerlukan figur yang mampu membawa agenda-agenda perubahan itu, bukan sebatas menjadi wacana, namun mesti di sertai dengan langkah dan atau tindakan nyata. Dan untuk itu dibutuhkan figur yang tepat. Surya Paloh tentu telah melakukan profiling terhadap sejumlah tokoh bagi kebutuhan mengusung agenda perubahan itu. Nama Anies Baswedan yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI menjadi salah satu incaran Surya Paloh, dan benar adanya nama itu kemudian di deklarasikan oleh Partai Nasdem sebagai Calon Presiden, di susul oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Disinilah kita bisa memahami kenapa PKS tidak ngotot mengajukan Cawapres, karena sebagaimana Surya Paloh dengan Partai Nasdemnya, sosok Anies Baswedan adalah di pilih karena kebutuhan untuk memimpin agenda perubahan. Dan untuk kebutuhan itu, Nasdem dan PKS belum cukup untuk mengusung Anies Baswedan, dibutuhkan tambahan koalisi partai. Maka lobby politik dilakukan untuk mencukupi batas minimum pencalonan, menurut ketentuan perundang-undangan terkait dengan keharusan _presidential treshold_. Dukungan yang dibutuhkan datang dari Partai Demokrat. Namun seperti yang telah kita ketahui, bahwa telah terjadi hal yang menyebabkan koalisi Partai Nasdem, PKS dan PD itu tidak dapat di pertahankan.
Agenda perubahan harus berjalan, demi bangsa dan negara, demi Pancasila dan UUD 1945, demi NKRI, kira-kira begitulah dalam benak Surya Paloh. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang sudah setahun lebih partainya PKB berkoalisi dengan Gerindra tidak kunjung di tetapkan sebagai Cawapres oleh Prabowo, yang terus menunggu arahan Jokowi. Cak Imin memberi sinyal kepada Prabowo melalui petinggi PKB, akan meninggalkan Gerindra jika Cak Imin tidak segera ditetapkan sebagai Cawapres.
Nampaknya sinyal yang dikirim PKB itu dianggap enteng oleh Prabowo. Prabowo tanpa konfirmasi Cak Imin mengubah nama koalisi. Cak Imin memperlihatkan “taringnya”. Sepulang dari acara pendeklasian nama baru koalisi oleh Prabowo, (yang tidak diterima Cak Imin), ia tidak balik ke rumah, tapi langsung mengontak Surya Paloh malam itu juga. Surya Paloh dan Muhaimin pun bertemu di Nasdem Tower. Dan tanpa basa-basi, Surya Paloh menetapkan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Cawapres untuk mendampingi Anies Baswedan sebagai Calon Presiden.
Selanjutnya para pembaca juga tentu telah mengikuti perkembangannya.
Catatan ini kami akhiri dengan mengajak kita semua memperhatikan proses hilirisasi kebijakan pemerintahan Jokowi yang memboceng ideologi komunis china. Bagaimanapun Jokowi itu sering bicara dan berpidato dengan menyebut-nyebut Pancasila, namun yang kita saksikan justru penghianatan terhadap nilai-nilai Pancasila. Kita tidak perlu lama, tidak sulit untuk memahami hal diatas, silahkan saja bagaimana Jokowi menjamin kereta cepat jakarta-bandung dengan APBN. Tentu hal yang sama bisa dia lakukan untuk semua proyek kerjasama dengan China. Kita saksikan di Rempang, di Kalteng, di Lampung, di Morowali, di Ternate dan lain tempat, bagaimana rakyat kecil di gusur, di rampas tanah ulayat mereka. Kita mesti membaca semua itu sebagai fenomena “hilirisasi ideologi komunisme Tiongkok”.
Selamat memperingati tragedy G30 S/PKI, yang di susul dengan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, di susul dengan hari ABRI tanggal 5 Oktober, hari di mana tujuh jenazah korban kebiadaban PKI di makamkan.
Kami tentu berpesan bahwa mengingat sejarah sebuah tragedy, bukanlah bertujuan untuk mencaci maki sejarah itu. Namun agar kita bijak dalam menghadapi masa depan, supaya tragedy sejenis jangan sampai terulang kembali.
Mari kita usung bersama agenda perubahan, berikan dukungan bagi pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ( Amin ), disertai doa, semoga Allah swt memberikan _taufiq, hidayah dan inayah-Nya_ kepada mereka berdua, dan kepada seluruh Bangsa Indonesia di manapun berada.
Billahitaufiq wal hidayah
Depok, 29 September 2023
Oleh Hasanuddin
Catatan dalam rangka memperingati Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2023)
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Jokowi dan Kebijakan Hilirisasi Ideologi Komunis China
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar