Breaking News

Setelah ‘Dicuci’ di Jeruji Besi, Pantaskah Napi Korupsi Diberi Kesempatan Lagi Mengabdi?


“Tanpa lembaga pengawas yang kuat, impunitas menjadi fondasi yang sangat mendasar di mana sistem korupsi dibangun. Dan jika impunitas tidak dihancurkan, semua upaya untuk mengakhiri korupsi akan sia-sia. “

Setengah abad lalu, Bung Karno, Sang Proklamator kemerdekaan sudah memberi pesan akan dahsyatnya korupsi bagi keberlangsungan bangsa. Dalam sambutan di Kongres Persatuan Pamong Desa Indonesia, di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1964, Bung Karno berpidato seperti ini;

“Aku pernah berkata, ada orang kaya raya, auto Impala, auto Mercedes, gedungnya tiga, empat, lima tingkat, tempat tidurnya kasurnya tujuh lapis mentul-mentul. Tiap-tiap hari makan empat, lima, enam, tujuh kali. Ya, seluruh rumahnya itu laksana ditabur dengan ratna mutu manikam, Kakinya tidak pernah menginjak ubin, yang diinjak selalu permadani yang tebal dan indah.

Tapi orang yang demikian itu, pengkhianat. Tapi orang yang demikian itu menjadi kaya oleh karena korupsi. Orang yang demikian itu di wajah-Nya Tuhan yang Maha Esa, adalah orang yang rendah. Di wajah Tuhan Yang Maha Esa dia adalah orang yang rendah!,”

Diksi yang dipilih Bung Karno sedemikian keras dengan mengkategorikan pelaku korupsi sebagai pengkhianat bangsa. Dalam kampus besar bahasa Indonesia, pengkhianat adalah perbuatan tidak setia, tipu daya, perbuatan yang bertentangan dengan janji.

Perkataan Bung Karno tentang korupsi kemudian ditutup dengan penegasan bahwa secara spiritual, pelaku korupsi adalah orang-orang yang dimurka oleh Tuhan Yang Maha Esa, apapun agamanya.

Sedemikian rendahnya drajat para pelaku korupsi di mata Sang Pendiri Bangsa. Jika demikian, lantas bagaimana dengan para mantan koruptor yang sudah ‘dicuci’ dosanya di dalam jeruji besi, kemudian mereka mencoba kembali mencalonkan diri? Apakah kesempatan kedua itu diberi?.

Adalah Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tertinggi negara telah mengeluarkan aturan tentang diperbolehkannya para mantan napi ini untuk maju sebagai calon legislatif (Caleg). Sang ‘perwakilan’ tuhan dalam urusan menjatuhi hukuman telah menetapkan dasar argumen meloloskan para mantan ‘pengkhianat’ bangsa ini, lewat putusan MA Nomor 30 P/HUM/2018.

Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Catur Wido Haruni, ketika berbincang dengan Inilah.com, mengatakan celah itu yang kemudian dimanfaatkan para napi korupsi untuk kembali ke gelanggang samudera perpolitikan Indonesia.

“Normanya itu ada celah untuk masuk dalam dunia politik,” ujar Catur.

Putusan MA diberikan berawal dari gugatan seseorang bernama Lucianty atas larangan eks napi koruptor nyaleg sebagaiman diatur Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018.

Berdasarkan Salinan putusan yang didapatkan Inilah.com, salah satu dasar yang menjadi acuan MA, yakni soal Hak Asasi Manusia (HAM). MA merasa larangan bagi mantan napi korupsi untuk menjadi caleg bersinggungan dengan HAM, utamanya soal hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih, dimana hak ini tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).  Sementara Indonesia, telah meratifikasi kovenan itu melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.

Pedoman HAM lain yang juga dijadikan argument yakni Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Pada bilednya,  pasal itu menjelaskan setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam pemilu.

“Dalam prespektif HAM, siapapun diberi kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Tidak ada diskriminasi untuk dipilih dan memilih,” kata Catur

Dasar lain yang juga menjadi acuan, yakni MA menilai pembatasan hak asasi hanya bisa diatur melalui undang-undang, sementara larangan bagi napi korupsi hanya diatur melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Pada saat yang sama, UU Pemilu tidak mengatur secara rinci larangan eks napi koruptor nyaleg. Dengan demikian, larangan tersebut merupakan norma baru yang tak diatur undang-undang.

“Maka ketentuan tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang dan Nomor 7 tahun 017 tentang Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” tulis MA dalam putusan itu.

Selain itu, Pemilu Serentak 2024 merujuk pada UU Nomor 7 Tahun 2017. Pada undang-undang tersebut, hanya ada aturan mengenai narapidana secara umum.

“Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” bunyi Pasal 240 UU Pemilu.

Catur menjelaskan, pasal 240 ini pernah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dari situ kemudian lahirlah putusan MK, yang menyatakan bahwa mantan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri dengan syarat telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan.

“Dalam hal ini sepertinya MK punya alasan filosofis ataupun sosiologis, apakah orang ini (mantan pelaku korupsi) betul-betul berubah setelah keluar penjara,” kata Catur.

Menurut Catur, tak ada yang salah dengan aturan itu, yang salah adalah mereka yang kembali menyerahkan hak suaranya kepada mantan napi.”Karena kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, maka rakyat harusnya bisa memilih pemimpin yang baik dan berintegritas. Jika rakyat cerdas, maka para narapidana korupsi ini tidak akan terpilih,” kata Catur.

Senada, pakar hukum pidana Chaerul Huda menilai tak ada yang salah memberikan kesempatan kedua bagi para napi korupsi ini.  Toh menurut Chaerul Huda, beberapa tokoh nasional termasuk Bung Karno juga pernah terlibat masalah hukum.

“Soekarno itu bekas napi, bolak balik masuk penjara Belanda, kenapa tidak dilarang jadi Presiden?,  AM Fatwa itu bekas napi, terlibat tindak pidana makar, kenapa bisa jadi anggota DPR,” ujar Chairul Huda kepada Inilah.com

Indonesia Coruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 15 mantan napi korupsi kembali maju sebagai calon legislatif baik tingkat DPRD maupun DPR, salah satunya adalah kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS),  Munir, dari Dapil Kalimantan Barat I, nomor urut 4.

Sekjen PKS Habib Aboe Bakar Al Habsyi terang-terangan mengatakan bahwa sejatinya partai telah mengunci pintu bagi Munir untuk maju pada 2019, namun pada pemilu 2024, pintu itu terpaksa dibuka dengan argumen mendapat desakan yang besar dari masyarakat.

“Oleh karenanya tim penjaringan kemudian mencoba memberikan kesempatan kedua kepada yang bersangkutan (Munir),” kata Aboebakar kepada Inilah.com.

Aboebakar yang juga anggota Komisi III DPR itu menyatakan,  dengan kejelasan aturan berdasarkan putusan MK, maka sejatinya tak ada larangan bagi para mantan napi maju sebagai caleg.

“Di sini lah titik poinnya, bagaimana nilai keadilan ini dirasakan oleh semua pihak. Pencalonan tersebut memungkinkan, karena MK memberikan jalan. Oleh karenanya, tidak adil juga ketika kita menghukum mereka untuk kedua kalinya. Atau bahkan tak adil lagi kalau kita mencabut peluang yang memang menjadi hak mereka,” kata Aboebakar Al Habsyi.

Sementara Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Filri Bahuri mengingatkan adanya kewajiban bagi para caleg mantan napi korupsi ini, untuk secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.

“Pernyataan dan pengumuman caleg sebagai mantan terpidana kepada publik dapat dijadikan pertimbangan bagi pemilih untuk menentukan pilihan dalam pemilu,” kata Firli dalam keterangan tertulis yang diterima Inilah.com.

Mantan vokalis Nirvana Kurt Cobain mengatakan begini, “The duty of youth is to challenge corruption“, yang artinya tugas kita sebagai generasi muda adalah menantang korupsi. Sementara peraih nobel perdamaian dunia, Rigoberta Menchú, menyatakan bahwa impunitas merupakan pondasi dari sistem korupsi itu dibangun. Kini semua diserahkan lagi kepada pemilih, akankah memberi kesempatan kedua bagi (meminjam istilah Bung Karno) si pengkhianat bangsa untuk kembali mengabdi, mengingat dosa mereka telah ‘dicuci’ di balik jeruji besi. (Nebby/Clara/Diana).

Rigoberta Menchú
Penerima Hadiah Nobel.

Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Setelah ‘Dicuci’ di Jeruji Besi, Pantaskah Napi Korupsi Diberi Kesempatan Lagi Mengabdi? Setelah ‘Dicuci’ di Jeruji Besi, Pantaskah Napi Korupsi Diberi Kesempatan Lagi Mengabdi? Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar