Perang Dingin Megawati-Jokowi
Awal Mei 2022, saat wacana Gibran Raka jadi cawapres mengemuka, Jokowi berkomentar, “Yang logis sajalah… umur [belum mencukupi] ... dan baru 2 tahun jadi wali kota.”
Kini, usia bukan lagi masalah berkat putusan MK, dan Gibran telah resmi diumumkan sebagai cawapres Prabowo Subianto. Jokowi pun berkata, “Orang tua tugasnya hanya mendoakan dan merestui.”
Gibran yang kerap berkelit tak lagi menutupi pilihan politiknya. Ia tiba-tiba muncul di Rapimnas Golkar, dan mengatakan telah pamit dari PDIP. Padahal, dua hari sebelumnya, ia membantah bakal datang ke Rapimnas Golkar; dan empat hari sebelumnya, ia juga bilang masih di PDIP.
Semua rumor santer terbukti bukan kabar burung. Tak ada yang kebetulan dalam politik. Semua bagian dari rancang bangun skenario politik. Lantas, bagaimana dengan PDIP yang ditinggalkan Gibran—dan mungkin Jokowi? Akankah Megawati mengambil langkah balasan?
***
Presiden Jokowi tengah mengikuti konferensi internasional di Beijing, China, Rabu 18 Oktober 2023, ketika Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengumumkan Mahfud MD, Menko Polhukam di kabinet Jokowi, sebagai cawapres Ganjar Pranowo.
Pada seremoni politik penting yang berlangsung selang dua hari setelah putusan MK itu, PDIP tak merasa perlu menunggu Jokowi tiba di tanah air meski sang Presiden adalah “kader terbaik partai”.
Situasi tersebut berbeda dengan momen ketika PDIP mendeklarasikan Ganjar sebagai capres pada 21 April. Saat itu, Jokowi yang sudah mudik ke Solo untuk merayakan Idul Fitri, mendadak dipanggil kembali ke Jakarta untuk menghadiri deklarasi Ganjar di Istana Batu Tulis, Bogor.
Dalam deklarasi Ganjar tersebut, Jokowi yang mendampingi Megawati turut menyampaikan pidato. Dalam pidatonya itu, ia mengapresiasi dan menghormati keputusan Mega memilih Ganjar sebagai capres PDIP, serta memuji Ganjar sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.
Itu enam bulan lalu. Kini, dalam deklarasi cawapres PDIP, Jokowi bukan cuma tak diundang karena sedang bertugas ke luar negeri, tapi juga sama sekali tak disinggung namanya dalam 19 menit pidato Megawati.
Tak ada pujian maupun sindiran untuk Jokowi. Tak ada satu kata pun dari mulut Megawati tentang Jokowi—yang sudah 20 tahun bersama PDIP, sejak masih di DPC Solo, dicalonkan jadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai akhirnya Presiden RI dua periode.
Namun, usai deklarasi Mahfud MD, Puan yang ditanyai wartawan soal Jokowi, melontarkan ucapan pedas, “Nanti tanyakan kalau Pak Presiden sudah pulang, masih mendukung Ganjar Pranowo atau punya pilihan lain. Tolong ditanyakan. Saya juga mau tahu jawabannya.” [Saya] dukung semuanya untuk kebaikan negara ini. - Jokowi di Surabaya, 22 Oktober 2023
Sebagai kader PDIP, Jokowi memang tidak pernah mendukung Ganjar secara tegas. Kepada berbagai kelompok relawan yang selalu menunggu dan mengikuti arahannya, Jokowi justru sering bilang “ojo kesusu” alias jangan terburu-buru. Padahal, PDIP sudah resmi mengusung Ganjar sebagai capres.
Sikap abu-abu Jokowi tersebut, ditambah orkestra politik grande untuk memuluskan jalan Gibran menjadi cawapres, menurut sejumlah sumber di lingkaran PDIP, memicu retak lebih lebar dalam hubungannya dengan Megawati.
Golkar, Rumah Baru Gibran
Pasca-putusan MK, jalan Gibran menuju kursi cawapres telah terang benderang. Tak sampai 24 jam sejak palu sidang diketok pada 16 Oktober, isu Gibran bakal menyeberang ke Golkar telah menyebar.
Pekan sebelumnya, dalam rapat para ketua umum partai anggota Koalisi Indonesia Maju, Prabowo meminta usulan nama-nama kandidat cawapres. Ia lalu menyebut ada 4 nama bakal cawapres, yang berdasarkan asal wilayahnya datang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan luar Jawa.
Ketika itu, PAN menjagokan Menteri BUMN Erick Thohir yang berasal dari luar Jawa; Golkar mengajukan ketua umumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto; dan Demokrat menyarankan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang identik dengan suara Nahdliyin.
Namun, menurut sumber di lingkup koalisi tersebut, usulan dan pengerucutan nama-nama cawapres itu sesungguhnya sekadar formalitas, sebab sedari awal, sosok yang menjadi pilihan Prabowo tak lain adalah Gibran, putra sulung Jokowi.
Beberapa minggu sebelum rapat usulan bakal cawapres itu, Golkar sebetulnya tak rela bila Gibran yang maju sebagai cawapres dari Gerindra. Bila Gibran menjadi cawapres usungan Gerindra, sedangkan capres juga berasal dari Gerindra, artinya pasangan capres-cawapres akan berasal dari partai yang sama.
Jika seperti itu, yang terjadi bukan lagi the winner takes it all, melainkan “Belum winner sudah takes all. Mending kita enggak usah berkoalisi,” ujar sumber di internal koalisi, menirukan protes Golkar.
Itu sebabnya kemudian muncul rencana untuk meng-Golkar-kan Gibran, agar cawapres tetap berasal dari Golkar, bukan Gerindra. Wacana ini bahkan sudah mencuat sebulan belakangan.
Menurut sejumlah sumber di internal Golkar, gagasan agar Gibran maju sebagai cawapres Golkar sesungguhnya bukan keinginan murni partai beringin itu, tapi didesain supaya terlihat demikian.
Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono sempat mengungkap wacana Gibran masuk Golkar melalui salah satu organ sayapnya, yakni Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia. AMPI dipilih jadi medium karena dianggap cocok dengan sosok Gibran yang berasal dari kalangan muda.
Sumber lain di Golkar menyebut, walau wacana Gibran ke Golkar via AMPI sudah muncul dari jauh-jauh hari, namun keputusan itu baru disepakati melalui Rapat Pleno Golkar pada Rabu malam, 18 Oktober 2023, tepat setelah Ketua Umum PSI yang juga putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, bersilaturahmi ke kantor DPP Golkar di Anggrek Neli, Palmerah, Jakarta Barat.
Meski demikian, Airlangga mengatakan bahwa rapat AMPI hanya membahas rangkaian acara HUT Golkar, susunan panitia Rapimnas Golkar, dan tokoh-tokoh Golkar yang menempati posisi strategis pada Pemilu 2024.
Jumat, 20 Oktober, Gibran bertolak ke Jakarta. Malam itu, ia menemui Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan menyampaikan kemungkinan maju di Pilpres 2024.
Esoknya, Sabtu, 21 Oktober, Gibran datang ke Rapimnas Golkar. Hasil rapimnas menetapkan Gibran sebagai cawapres Prabowo. Gibran juga ditawari masuk Golkar oleh Airlangga. Namun, status kepartaian Gibran hingga saat ini belumlah jelas. Meski mengaku sudah pamit ke PDIP, ia belum menyerahkan surat pengunduran diri resmi.
“Kami harap mereka berjiwa besar. Datang baik-baik, pergi juga baik-baik.” - Deddy Sitorus, Juru Bicara PDIP
Sumber lain di lingkup Golkar menyebut, Gibran akan tetap menggunakan jalur AMPI sebagai organ sayap partai beringin, agar kepindahannya dari PDIP tak terlalu frontal. Setelah masuk AMPI, Gibran akan diberi jabatan mentereng di DPP Golkar sebagai Wakil Ketua Umum mewakili unsur AMPI.
Terkait skenario itu, Ketua Umum AMPI Jerry Sambuaga tak menampik atau mengiyakan. Ia hanya mengatakan mendukung putusan Rapimnas Golkar yang mengusung Prabowo-Gibran.
Sumber kumparan menyebut, jalan Gibran masuk AMPI dimuluskan lewat Rapat Pleno DPP AMPI yang mengubah AD/ART AMPI. Namun, hal ini dibantah Jerry.
“Tidak [mengubah aturan]. Itu hanya rapat pleno biasa dan agenda rutin organisasi. Salah satu agendanya kan konsolidasi organisasi, jadi kami mengonsolidasikan anggota kami di daerah,” kata Jerry.
Menurut sumber kumparan, sejatinya deklarasi Gibran cawapres direncanakan segera usai putusan MK. Akan tetapi, resistensi publik terhadap putusan tersebut membuat rencana ditunda.
Adapun soal kandidat-kandidat cawapres Prabowo yang sempat pasang kuda-kuda dengan menyiapkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai salah satu persyaratan peserta pemilu, hal itu menurut sumber lain hanyalah sebagai pengalihan isu sementara untuk meredakan opini negatif atas putusan MK.
Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting Rio Prayogo berpendapat, Jokowi adalah mastermind kubu Prabowo. Menurutnya, Jokowi adalah sosok sutradara yang mengatur permainan dan strategi di belakang langkah Prabowo.
“Walaupun belum ada official statement dari Jokowi, tetapi gejalanya sudah jelas mengarah ke sana. Ada putusan MK, ada foto Prabowo-Gibran di mana-mana, deklarasi di mana-mana. Agak sulit menyebut itu bukan skenario politik,” kata Rio kepada kumparan, Kamis (19/10).
Reaksi Sunyi Megawati
Hingga kini, Dewan Pimpinan Pusat PDIP maupun ketua umumnya, Megawati, belum memberikan tanggapan publik terkait langkah Gibran menyeberang ke sisi Prabowo, atau sikap Jokowi yang mendua.
Namun, tak sedikit kader PDIP yang marah dan kecewa. Mereka kemudian mengunggah ulang video saat Megawati membela Jokowi yang pernah dihina dengan sebutan “kodok”.
“Coba lihat Pak Jokowi. Saya suka nangis lihatnya. Beliau itu sampai kurus… mikirin kita, mikirin rakyat loh. Masak masih ada yang mengatakan Jokowi kodok. Benar-benar tidak punya moral. Pengecut…” - Megawati, Agustus 2021
“Bayangin, Presiden kita, Pak Jokowi, dibilang kodoklah, apalah. Saya bilang sama beliau, ‘Sudah Pak, nggak perlu dimasukin ke hati. Saya dan seluruh anak-anak PDIP berada di belakangmu.’” - Megawati, Januari 2022
Meski sampai saat ini Megawati belum mengomentari manuver keluarga Jokowi yang menjauh dari PDIP, Puan Maharani mengatakan bahwa Megawati hanya ingin Jokowi berbuat yang terbaik untuk bangsa.
“Ada kasih ibu sepanjang masa. Ibu Mega sangat sayang [kepada Jokowi], dalam artian sayang sebagai kader terbaiknya,” kata Puan usai menghadiri Apel Hari Santri di Surabaya, Minggu (22/10), yang juga dihadiri Jokowi.
Soal Jokowi yang mendoakan dan merestui Gibran sebagai cawapres, Puan tak heran. Ia yakin Jokowi tentu akan condong mendukung anaknya sendiri.
Beberapa sumber mengatakan, sebutan “petugas partai” yang kerap dilontarkan Megawati untuk Jokowi menjadi salah satu pemicu awal keretakan keduanya. Bagi Megawati, status sebagai petugas partai tidaklah berubah apa pun posisi yang dijabat kadernya.
“Saya pesan ke Pak Jokowi, sampeyan saya jadikan capres, tapi jangan ingat [jabatan] capresnya saja. Anda adalah petugas partai yang harus melaksanakan tugas partai.” - Megawati, Mei 2014
Dalam Rakernas IV PDIP di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Megawati sempat mengutarakan keheranannya lantaran dianggap sombong karena menyebut Joowi “petugas partai”. Menurut perempuan yang sudah 24 tahun memimpin PDIP itu, panggilan “petugas partai” ada dalam aturan AD/ART partainya.
"Setiap Anggota Partai yang terpilih dan duduk dalam jabatan politik dan jabatan publik adalah petugas partai yang harus tunduk dan patuh terhadap aturan dan perintah Partai sesuai tingkatannya." - Pasal 20 ayat (2) AD/ART PDIP
Sumber di internal PDIP menyebut, Jokowi dan Megawati memang sudah seperti berpisah jalan meski tidak diumumkan secara formal. Hal itu tak mengherankan bagi Rio.
“Kalau [Jokowi dan Megawati] dipertentangkan, seribu alasan bisa disampaikan. Misalnya [Jokowi] ingin menjaga dinastinya; ingin menunjukkan bahwa dia kuat, tidak seperti julukan ‘petugas partai’ yang disematkan padanya; atau ingin sosok presiden berikutnya sesuai skenario dia,” papar Rio.
Kini, dengan resminya Gibran menjadi cawapres Prabowo, maka konflik Jokowi dan Megawati sudah mencuat ke permukaan. Ini, kata Rio, menjadi tanda bahwa Jokowi tak lagi senapas dengan PDIP.
“Yang tadinya laten, sekarang sudah tampak. Nanti kompetisi di antara Jokowi dan Megawati bisa head to head,” ujarnya.
Ketua DPP PDIP Komarudin Watubun mengatakan, sampai saat ini Gibran masih memegang KTA PDIP. Gibran, Jokowi, dan Bobby Nasution (menantu Jokowi yang menjabat Wali Kota Medan) masih dianggap “satu perahu” kecuali mereka memilih jalan lain.
“Pada saat memilih pindah ke tempat lain, partai akan ambil tindakan. Itu berlaku sama bagi semua kader PDIP,” ujarnya.
Dalam AD/ART PDIP, anggota partai dilarang menjadi anggota organisasi politik lain. Bila melanggar disiplin partai dan tidak mematuhi larangan partai, maka anggota terkait akan dikenai sanksi—paling ringan adalah peringatan, dan paling berat berupa pemecatan atau pemberhentian.
Namun, sumber lain di internal PDIP menyebut bahwa partainya tak akan mengambil langkah ekstrem seperti memecat kader. Mereka ingin fokus ke pemenangan Ganjar dan tak mau ambil pusing dengan huru-hara terkait Gibran maupun Jokowi.
Toh, menurut salah satu orang dekat Ganjar, faktor Jokowi telah dikesampingkan dalam urusan pemenangan Ganjar mulai Agustus 2023. Mereka siap berjibaku tanpa bantuan Jokowi.
Sumber lain di PDIP juga menyebut, partainya lebih baik kalah namun kukuh secara ideologis, ketimbang menang pemilu secara pragmatis. Artinya, menurut dia, PDIP siap menjadi oposisi jika kalah dalam Pilpres 2024.
Hal tersebut diamini Adi Prayitno, analis politik UIN Syarif Hidayatullah. Berdasarkan amatannya selama ini, “PDIP itu gen politiknya hitam dan putih. Kalau kalah oposisi, kalau menang berkuasa. Misalnya, waktu zaman SBY, PDIP ditawari masuk ke koalisi SBY, tapi menolak.”
Maka, amat wajar bila alih-alih tunduk kepada kekuatan politik lain, PDIP memilih menjadi oposisi bila tak memenangi pemilu. Menurut Adi, dibanding beberapa parpol lain, PDIP sulit diatur-atur.
Lebih lanjut, retak hubungan Megawati-Jokowi dikhawatirkan berimbas ke stabilitas pemerintahan di ujung periode Jokowi. Sempat muncul isu bahwa menteri-menteri dari PDIP sedang menunggu komando, apakah akan bertahan di kabinet atau mundur.
Sumber lain juga mengatakan, Panitia Khusus mungkin akan dibentuk di DPR untuk memperkarakan sejumlah megaproyek Jokowi seperti Ibu Kota Negara (IKN), kereta cepat, juga food estate yang dipegang Prabowo.
Namun, isu-isu itu ditampik oleh Puan Maharani, putri Megawati yang juga Ketua DPR dan Ketua DPP PDIP. Puan menyebut bahwa menteri adalah hak prerogatif presiden.
“Kalau presidennya masih percaya dan menugaskan menteri-menteri yang ada, ya semua menteri itu wajib menuntaskan [pekerjaannya] dan wajib membantu Presiden di kabinet,” tegas Puan.
Saat ini, ada 5 menteri asal PDIP yang tergabung dalam kabinet Jokowi. Mereka adalah Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Anas, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Namun, bila toh posisi PDIP berubah dari partai penyokong Jokowi menjadi lawan politiknya, ia tak sendiri. Ada tiga partai lain yang menempatkan kadernya di kabinet, dan kini menempuh jalan politik berbeda dengan Jokowi, yakni PPP (yang bergabung dengan PDIP mendukung Ganjar-Mahfud) dan NasDem serta PKB (yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar).
PKB saat ini punya 3 menteri di kabinet, Nasdem 2 menteri, dan PPP 2 menteri. Perubahan peta politik dari koalisi lama ke koalisi baru bukan tak mungkin membuat hubungan antar-anggota kabinet menjadi canggung di sisa masa kepemimpinan Jokowi yang tinggal setahun lagi.
“Jokowi akan seperti lame duck—bebek lumpuh. Artinya sudah tidak dianggap, setidaknya oleh NasDem, PKB, PDIP, dan PPP,” ujar Adi Prayitno.
Sementara soal kemungkinan munculnya Pansus DPR untuk menggoyang program Jokowi, Rio melihatnya sebagai risiko politik dan konsekuensi logis yang mesti dihadapi sang Presiden, sebab selama 9 tahun ini, PDIP-lah yang mengamankan segala kebijakan Jokowi. Kini, terserah PDIP pula untuk menentukan langkahnya usai manuver yang dibuat keluarga Jokowi.
“Itulah politik, dan Jokowi sudah memilih jalan akhirnya untuk berpisah dengan Megawati dan PDIP,” kata Rio.
Sebaliknya, bila basis elektoral PDIP tergerus dengan hilangnya faktor Jokowi, maka itu menjadi risiko politik PDIP.
Jokowi Tabrak Etika Politik
Pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo tak pelak membuatnya memecahkan rekor. Baru kali ini terjadi dalam sejarah Indonesia, seorang anak presiden maju jadi cawapres saat ayahnya masih berkuasa sebagai presiden.
Megawati saja membutuhkan jeda waktu lebih dari 30 tahun untuk menjadi Presiden RI setelah ayahnya, Soekarno, lengser. Soekarno turun dari kursi presiden pada 1967, sedangkan Megawati naik ke tampuk kekuasaan pada 2001.
“Memang belum pernah ada anak presiden langsung jadi cawapres. Anak-anak Megawati dan SBY kan enggak,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan. Bahkan, Soeharto yang berkuasa 32 tahun pun tidak begitu.
Selain itu, menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago, ketika anak presiden maju dalam pilpres, maka terdapat potensi penyalahgunaan kekuasaan yang besar.
“Karena Presiden masih berkuasa dan memegang kendali penuh pada hari H pencobosan. Ini betul-betul mengancam prinsip dasar demokrasi, yakni kesetaraan,” kritik Pangi.
Sebagian simpatisan Jokowi pun kini kecewa, termasuk seniman Butet Kartaredjasa yang sejak 2014 mendukungnya. Menurut Butet, majunya Gibran adalah bencana moral yang merontokkan legacy Jokowi sebagai role model pemimpin yang baik.
“Rakyat Indonesia bukan orang bodoh yang tak bisa membaca peristiwa. Rakyat punya kecerdasan ‘membaca’ yang tersembunyi di balik semua itu,” ujar Butet dalam suratnya untuk Jokowi.
Secara terpisah, Jusuf Kalla mengingatkan bahaya praktik politik “sayang anak”. Menurutnya, hubungan kekeluargaan bisa mengganggu proses politik karena berpotensi mengakibatkan benturan kepentingan.
Akan lebih bijak, ketimbang menampik dengan ucapan “Tidak mencampuri urusan anak-anak yang sudah dewasa,” seorang presiden bisa menyarankan kepada anaknya untuk menunda keinginan maju pilpres, setidaknya sampai ia tak lagi menjabat.
Sumber: kumparan
Foto: Ilustrasi Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo/Net
Perang Dingin Megawati-Jokowi
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar