Menunggu Sanksi Ketua MK
KETUA Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman terus terpojok. Majelis Kehormatan MK (MKMK) memojokkannya. Sampai, Anwar kepada wartawan katakan begini: "Saya jadi hakim sejak 1985. Belum pernah berurusan seperti ini." Apakah ia bakal disanksi?
Pemojokan posisi Anwar terutama akibat ucapan Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie kepada pers, Rabu (1/11) begini:
“Ketidakhadiran Anwar Usman (dalam Rapat Permusyawaratan Hakim - RPH) karena ia menyadari adanya konflik kepentingan. Juga adanya alasan kedua, yaitu sakit.”
Dilanjut: "Ini kan pasti salah satu alasan itu benar. Kalau satu benar, berarti satunya lagi tidak benar.”
Pernyataan Jimly itu, setelah MKMK meminta keterangan enam hakim yang ikut RPH. Dan, RPH memutus gugatan perkara nomor 29, 51, dan 55/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) RI yang akhirnya ditolak MK.
Enam hakim yang dimintai keterangan adalah Anwar Usman, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo. Mereka dimintai keterangan tim MKMK hingga Rabu, 1 November 2023
Jimly tidak menyebut Anwar bohong. Tidak menyebut langsung. Tapi, kalimat Jimly itu sama saja dengan menganggap bahwa Anwar bohong soal ia tidak hadir di RPH. Padahal, RPH sedang membahas yang menghasilkan putusan menguntungkan Gibran Rakabuming Raka jadi Cawapres, mendampingi Capres Prabowo Subianto.
Penjelasan Anwar kepada wartawan, Jumat (3/11) konsisten, bahwa waktu itu (RPH pada 19 September 2023) ia sakit. Karena sakit, minum obat. Karena minum obat, ia ketiduran di kantor.
Anwar: "Saya sakit tetapi tetap masuk. Saya minum obat. Lalu saya ketiduran. Saya bersumpah, demi Allah, bahwa saya memang sakit.”
"Saya ini sudah jadi hakim dari tahun 1985, alhamdulillah. Saya tidak pernah melakukan sesuatu yang menyebabkan saya berurusan seperti ini," ujar Anwar lagi.
Sampai di sini belum terungkap, dari mana asal pernyataan Anwar, bahwa ia tidak ikut RPH, karena diduga terjadi konflik kepentingan. Berdasarkan aturan, hakim harus mundur dari persidangan yang ia ikuti, jika terjadi konflik kepentingan. Konflik kepentingan artinya, keputusan hakim bisa menguntungkan diri sendiri atau kerabat atau kelompoknya.
Ternyata, soal itu diungkap hakim Arief Hidayat yang ikut dalam RPH dan juga sudah dimintai keterangan oleh tim MKMK. Arief kepada wartawan menjelaskan:
19 September 2023 digelar RPH membahas putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang juga berkenaan dengan gugatan usia minimum capres-cawapres. Ada sembilan hakim peserta.
Dari sembilan, hanya delapan yang hadir. Satu-satunya hakim yang tidak hadir Anwar Usman. Maka, RPH dipimpin Wakil Ketua MK, Saldi Isra.
Ketika RPH akan dimulai, hakim Arief (peserta) bertanya ke Saldi Isra, mengapa ketua (Anwar Usman) tidak hadir? Dijawab Saldi: “Mungkin untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan.”
Arief Hidayat: "Disebabkan, isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, di mana kerabat Ketua (Anwar Usman) berpotensi diusulkan (waktu itu belum diusulkan) dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh salah satu partai politik. Sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo.”
Kemudian tanpa kehadiran Anwar Usman, RPH menghasilkan putusan tegas dan konsisten dengan sikap Mahkamah Konstitusi dalam putusan-putusan terdahulu berkaitan dengan syarat usia jabatan publik, yakni urusan itu merupakan ranah pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah).
MK pun kala itu menolak gugatan yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan para kepala daerah itu.
Jadi, Anwar tidak hadir di RPH, disimpulkan Wakil Ketua MK, Saldi Isra, mungkin karena ada potensi konflik kepentingan. Bukan pernyataan Anwar.
Lantas, ada RPH berikutnya. RPH yang juga sama-sama membahas gugatan usia minimal capres-cawapres pada perkara nomor 90. Di situ Anwar Usman hadir.
Di RPH yang ini sikap MK mendadak berbalik, dan menyatakan bahwa kepala daerah dan anggota legislatif pada semua tingkatan, berhak maju sebagai capres-cawapres meski belum usia 40 tahun.
Itulah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial, kemudian dihebohkan media massa dan medsos. Sampai di medsos tersebar istilah Mahkamah Keluarga.
Kelanjutannya, atas dasar putusan MK itu diketahui bahwa putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka bisa mengikuti Pilpres 2024 walaupun usianya belum 40 tahun, tetapi berbekal pengalaman menjabat sebagai Wali Kota Solo selama hampir tiga tahun. Pencalonan Gibran, sah oleh putusan MK yang ini.
Intinya, ada RPH dua kali. Yang satu tanpa Anwar, satu lagi ada Anwar.
Kini MKMK belum memutuskan, apakah para hakim yang menyidangkan perkara itu melanggar aturan atau tidak.
Kalau seumpama melanggar aturan, lalu apa sanksinya? Dan, kalau hakimnya disanksi, apakah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dinyatakan sah atau tidak?
Seandainya dinyatakan tidak sah, apakah pencalonan Gibran sebagai Cawapres bisa dibatalkan? Seumpama pencalonan Gibran dibatalkan, bagaimana reaksi para pihak yang terlibat?
Andaikata para pihak yang terlibat beraksi, lalu bagaimana reaksi masyarakat di tingkat bawah yang selama ini mendukung Prabowo-Gibran?
Rentetan seandainya itu pasti kini sedang diperhitungkan oleh para pihak yang berwenang. Mereka akan menentukan suatu keputusan berisiko tinggi terhadap kehidupan masyarakat, menjelang Pemilu ini.
Kalau Anwar Usman berkarier hakim sejak 1985 dan ia mengaku, baru sekarang berurusan seperti ini, memang hal seperti ini belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya.
Peristiwa ini menunjukkan kuatnya pengaruh Jokowi. Kekuatan pengaruh Jokowi terkait tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi, yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) Selasa, 11 Juli 2023. Mencapai 81,9 persen. Ini tingkat kepuasan masyarakat tertinggi terhadap Presiden RI. Sebelumnya, belum ada yang mencapai level ini.
Tingkat kepuasan masyarakat yang tinggi terhadap Jokowi, identik dengan pendukung Jokowi sangat banyak. Sebagian dari mereka, sudah fanatik.
Pendukung Jokowi pasti pendukung Gibran. Nah, apa yang terjadi seandainya pencalonan Gibran itu nanti dibatalkan? Atau sebaliknya, kalau pencalonan Gibran tidak dibatalkan, padahal putusan MK itu (seandainya) dinyatakan tidak sah, apa yang bakal terjadi?
Jawabnya menunggu keputusan MKMK dan para pihak terkait. Mereka kini masih mikir.
OLEH: DJONO W OESMAN
Penulis adalah Wartawan Senior
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Menunggu Sanksi Ketua MK
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar