Setara Institute Tolak Normalisasi Pelanggaran Konstitusi Soal Pencawapresan Gibran
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan tiga pasangan capres dan cawapres termasuk Gibran Rakabuming Raka. Putera Presiden Joko Widodo itu berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Secara legal-formal langkah Gibran dianggap sah oleh KPU, kendati banyak pihak yang menilai hal itu telah mengorbankan demokrasi, merusak kepatuhan pada konstitusi dan meruntuhkan muruah Mahkamah Konstitusi.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai pencalonan Gibran akan memunculkan pergunjingan sepanjang masa.
“Secara formal tetap legitimate terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden. Tapi akan selalu jadi pergunjingan sepanjang masa soal proses pencapresannya lantaran putusan MK yang kontroversial,” terang Adi di Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah pun mengungkap soal netralitas aparatur negara.
Menurut Dedi, majunya Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto tidak punya dampak signifikan. Kendati demikian, posisi sebagai anak presiden dinilai jadi pertimbangan.
“Majunya Gibran sebenarnya tidak punya dampak apapun dalam konteks pemilihan, tetapi Gibran akan punya peran signifikan karena dia putera presiden,” ujarnya.
Ia menilai bahwa presiden kemudian punya seperangkat alat kekuasaan, militer, polisi, bahkan penyelenggara pemilu.
Beberapa saat lalu presiden juga menunjukkan kekuatan dengan mengumpulkan semua pejabat, walikota, bupati, gubernur se-Indonesia.
"Bisa dibayangkan kalau pertemuan kemarin ada tawar-menawar kontrak bagi keberlanjutan masing-masing penjabat untuk lanjut di tahun selanjutnya. Maka besar kemungkinan mereka harus membayar kontribusi terhadap presiden dan salah satunya tentu adalah membuat dukungan pada Gibran Rakabuming Raka,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Setara Institute Ismail Hasani mengungkapkan adanya upaya normalisasi pelanggaran konstitusi dalam pencalonan Gibran.
Lembaga itu menyebut beberapa lembaga survei melakukan kampanye publik dengan menggambarkan mayoritas responden menganggap majunya Gibran bukan politik dinasti, sejumlah pakar hukum juga memberikan justifikasi dengan melakukan normalisasi pelanggaran konstitusi.
Kini normalisasi juga dilakukan oleh KPU dengan meloloskan Gibran Rakabuming Raka yang berhasil memenuhi syarat sebagai kandidat, meskipun pelanggaran etik berat melekat dalam pengambilan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023.
“Setara Institute menolak normalisasi pelanggaran konstitusi dengan tetap mendorong publik peka dan menjadikan kontroversi Putusan 90/PUU-XXI/2023 sebagai variabel dalam menentukan pilihan dalam Pemilu nanti. Cara ini sekaligus sebagai bagian pengawasan publik agar pemilu dijalankan secara berintegritas dan adil,” ungkapnya.
Jaga integritas
Setara Institute juga mendorong penyelenggara pemilu menjadi aktor utama yang menjaga integritas pemilu sehingga tercipta keadilan elektoral (electoral justice) pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Lembaga itu juga menentang segala bentuk intervensi, intimidasi, dan netralitas artifisial yang ditunjukkan oleh beberapa pihak.
Terkait netralitas, Setara Institute menilai netralitas saat ini adalah buatan bukanlah netralitas otentik.
“Karena di satu sisi menyerukan netralitas dan menyatakan tidak ada intervensi, tapi di sisi lain tetap membiarkan orkestrasi kandidasi, mobilisasi sumber daya, termasuk tidak melakukan upaya maksimum memastikan keadilan pemilu,” pungkasnya.
Sumber: pojoksatu
Foto: Gibran Rakabuming Raka. (Istimewa)
Setara Institute Tolak Normalisasi Pelanggaran Konstitusi Soal Pencawapresan Gibran
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar