Simfoni Seteru Jokowi-Mega, Kapal Besar Itu Kini Terbelah Dua
“Politik adalah permainan jangka panjang dan kura-kura biasanya akan mengalahkan kelinci,"
Jika ada yang bertanya di dalam dunia politik dimanakah letak etika? Bila pertanyaan ini diajukan ke Aristotelian, jelas tidak bisa dipisahkan. Sebab dalam bukunya, Nicomachean Ethics, Aristoteles menyimpulkan bahwa politik inheren dalam etika. Artinya, bahwa politik dan etika bukan sekadar sintesis (penggabungan dua variabel), melainkan bersifat tautologis (menyatu) tanpa bisa dipisahkan.
Sementara Machiavellisme menganggap bahwa segala sesuatu yang dilakukan demi pemerintahan dan negara (baca:politik), apapun itu, adalah sah dan baik untuk dilakukan. Artinya, dalam konsepnya, Machiavelli mengabaikan masalah tujuan etika. Machiavelli berpendapat bahwa cara mendapatkan kemenangan atau kekuasaan, seharusnya dikaji dengan cara-cara ilmiah tanpa memasukan kebaikan atau keburukan tujuan dan pencapaiannya.
“Politik adalah permainan jangka panjang dan kura-kura biasanya akan mengalahkan kelinci," begitu kira-kira orang bijak mengatakan.
Bukan maksud hati ingin mempersoalkan penggagum etika dalam berpolitik, namun kiranya ada beberapa hal yang perlu kita pahami bersama. Pertama, dalam politik tidak ada kepastian, karena logika politik tidak sama dengan logika Aristotelian, di mana kesahihan sebuah premis menghasilkan kesimpulan yang valid. Ini terjadi karena prinsip berpikir logika Aristotelian bersifat deduktif sligositik.
Politik tidak mengandaikan hal tersebut, mengapa? Karena politik adalah seni kemungkinan. Politics is the art of the possible, the attainable — the art of the next best begitu kata Otto Von Bismarck. Yang menjadi aspek pertimbangan bukan derajat kepastian melainkan derajat probabilitas. Itu sebabnya logika yang berlaku dalam ilmu politik adalah logika probabilitas.
Misal saat ini berlaku A, dalam beberapa hari kemudian, bahkan mungkin jam, dapat menjadi C, D, atau yang lainnya. Andreas Schedler, seorang Peneliti Senior di CEU Democracy Institute, menyebut politik adalah seni mengelola ketidakpastian. Satu-satunya kepastian adalah ketidapastian itu sendiri, dengan kata lain politik adalah suatu anomali dari keniscayaan.
Begitu pula kini yang terjadi di kapal besar bernama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai yang berisi muatan 19,3 persen suara dalam pemilu 2019 perlahan tapi pasti mulai menurunkan sekoci. Romantisme Nahkoda Megawati Soekarnoputri dengan anak buah kapal (ABK) berprestasi (baca:petugas partai) Joko Widodo (Jokowi) perlahan mulai berakhir. Sang ABK kini merasa mampu menjadi nakhoda, setelah 10 tahun ia membangun kapalnya sendiri.
Cilakanya sang ABK tidak hanya berlayar sendiri, sebab ia juga membawa muatan besar berisi para relawan. Makin cilaka, saat moncong meriam berisi mortir bernama Gibran Rakabuming Raka diarahkan ke kapal besar PDIP.
Kapal sang ABK juga bukan sembarang, lebih mirip kapal perang. Kapal itu makin digdaya ketika para armada sekutu dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) ikut berlayar bersama. Bukan tanpa alasan mereka mau bersama, secuil informasi menjelaskan muatan besar 19,3 persen tidak boleh lagi dimuat dalam satu kapal saja. Tidak boleh ada lagi sebuah kapal besar dapat mencalonkan “ABK” sendiri tanpa bersekutu dengan armada lain untuk memilih seorang pemimpin. Kabar anginnya, soal muatan ini belum menemukan titik temu hingga saat ini.
Kembali ke soal ABK berprestasi. Kini memang terasa sekali perseteruan dengan sang nahkoda yang telah membesarkannya dari Solo hingga Jakarta. Dimulai dari seorang komandan Kapal bernama Hasto Kristiyanto.
"Kami begitu mencintai dan memberikan privilege yang begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga, namun kami ditinggalkan karena masih ada permintaan lain yang berpotensi melanggar pranatan kebaikan dan konstitusi," ujar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangannya, belum lama ini.
Hasto membuka tabir yang selama ini terselimuti oleh romantisme masa lalu. Nyanyian bertema pengkhianatan ditemani alunan orkestra menghantam jiwa, kini menjadi sebuah simfoni seteru antara Nahkoda dan sang ABK, khususnya setelah meriam bernama Gibran lahir dari ‘rahim’ Mahkamah Konstitusi (MK).
"Apa yang terjadi dengan seluruh mata rantai pencalonan Mas Gibran, sebenarnya adalah political disobidience terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia. Ke semuanya dipadukan dengan rekayasa hukum di MK," kata Hasto.
Migrasi Suara: Pileg ke PSI, Pilpres ke Gibran
Terlepas dari seteru yang kabarnya juga dibumbui konflik internal keluarga, pada kenyataanya kini kapal besar PDIP terbelah dua. Jokowi dengan Gibran sebagai cawapres KIM dipercaya dapat merontokan suara di Pilpres nanti. Belum lagi ditambah dengan kapal bernama Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kebetulan dinahkodai sang adik Kaesang Pangarep.
Akan rontoknya muatan suara PDIP dari manuver yang dilakukan Jokowi dapat dibaca dari hasil survei indikator Politik. Memang dalam survei pada basis pilihan partai, menempatkan PDIP sebagai peraup suara tertinggi dengan 25,2 persen. Namun alasan mayoritas responden memilih PDIP karena sosok Jokowi mencapai 23,9 persen, sementara yang memilih PDIP karena Megawati hanya 2,2 persen.
Kemanakah larinya suara para relawan maupun simpatisan Jokowi itu? Dipercaya mereka akan mengisi muatan kapal PSI dalam mengarungi samudera pileg nanti.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin ketika berbincang dengan Inilah.com, meyakini hal itu. Menurutnya, ketika Kaesang mengambil alih nahkoda dari Giring Ganesha (mantan Ketum PSI), ceruk suara pertama yang diambil berasal dari pendukung-pendukung dan relawan Jokowi.
Ceruk suara kedua, berasal dari PDIP. Fakta soal muatan suara PDIP yang diambil PSI terjadi pada Pemilu 2019.
“PSI ini bisa menggembosi kandang banteng, kan dulu juga di DKI 2019 suara PSI dapatnya dari basis massa banteng. Jangan-jangan di daerah PSI akan menggembosi, akan mengambil suara dari banteng. Bisa saja itu terjadi, dan mungkin saja di politik itu terjadi. Karena di 2019 itu terjadi, maka 2024 bisa juga terjadi,” kata Ujang.
Keyakinan yang sama juga disampaikan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno. Kepada Inilah.com. Ia menilai faktor anak Presiden jadi penentu meningkatnya suara PSI di Pileg nanti.
“Faktor Kaesang sebagai anak presiden bisa memberi dampak electoral,” kata Adi.
Dalam kesempatan lain, Adi Prayitno menyebut safari politik Kaesang yang kerap menyasar sejumlah relawan Joko Widodo (Jokowi), sudah memperlihatkan bahwa Kaesang ingin memastikan semua alat politik pendukung Jokowi naik dalam perahu PSI.
Faktor perkawinan antara relawan Jokowi dengan PSI juga terlihat dari miripnya slogan yang diusung, yakni “Jokowisme”.
"Tinggal dibuktikan apakah relawan Jokowi ini punya kaki-kaki yang kuat di akar rumput yang bisa loloskan PSI ke Senayan. Selama ini kan relawan politik kerap dicibir dan dipandang sebelah mata karena tak punya basis massa solid," kata Adi.
Soal pertumbuhan suara PSI pasca Kaesang memegang kendali memang terjadi. Survei keluaran Polling Institute 31 oktober memperlihatkan adanya grafik kenaikan elektoral terhadap partai berlogo mawar merah tersebut.
Pada awal Oktober 2023, elektabilitas PSI berada di angka 1,1 persen. Namun jelang akhir Oktober 2023, ada peningkatan menjadi 1,6 persen. Tren positif PSI ini, justru berbanding terbalik dengan PDIP yang cenderung menurun dalam dua bulan terakhir.
"Kalau mengambil suara (PDIP) ya pasti ada tempat yang beririsan," ujar Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep belum lama ini.
Bagaimana dengan Pilpres? Survei Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI) memperlihatkan armada besar Prabowo-Gibran dalam sekutu KIM meraih 40,1 persen suara di Jawa timur. Di ‘kandang banteng’ ini, Prabowo-Gibran mendapat limpahan suara dari para pendukung Jokowi.
"Jatim merupakan basis Jokowi selama dua kali Pilpres di 2014 dan 2019. Jadi faktornya loyalis Jokowi yang dulunya banyak merapat ke Ganjar, kini mulai beralih ke Prabowo," ujar Direktur ARCI, Baihaki Sirajt, dalam keterangan resminya.
Pun di daerah-daerah Jawa Timur yang dulu menjadi ‘kandang banteng’ kini mulai terkikis seiring pencalonan Gibran menjadi cawapres Prabowo, terutama pendukung PDIP yang berada di wilayah Mataraman.
"Faktor Gibran dan Jokowi mempengaruhi pemilih PDIP di Jatim beralih dari Ganjar ke Prabowo. Jadi mereka kalau partai tetap memilih PDIP, tapi Capresnya Prabowo," kata Baihaki.
Sementara di Jawa Tengah, dedengkot relawan Jokowi yang kini menjabat Menkominfo, Budi Arie Setiadi, dari jauh hari sudah meyakini Gibran mampu meraih hasil positif.
Budi menilai Jateng sama seperti wilayah lainnya yang masih terbuka untuk dikuasai siapapun. Namun dia tak menampik jika saat ini Jateng selalu dilabeli sebagai 'kandang banteng', karena PDI Perjuangan pada pemilu sebelumnya menguasai wilayah tersebut.
“Kita yakin konsentrasi pilpres ini kan milik figur," ujar Ketua Umum Relawan Pro Jokowi (Projo) itu, seperti dikutip dari Inilahjateng.
Dengan komitmen itu, ia yakin mampu membawa Prabowo-Gibran menang satu putaran pada Pilpres 2024 mendatang.
Kembali ke soal politik adalah seni mengelola ketidapastian, ini juga yang mungkin sedang dijalankan politisi saat ini. Strategi tingkat tinggi sedang dirancang sedemikian rupa oleh para petinggi, tak lupa kalkulasi kepada siapa dukungan akan diberi. “Jangan salah naik perahu” menjadi kata yang tepat bagi mereka yang takut tertinggal rombongan. Sementara bagi kita, ada baiknya mengutip sajak WS Rendra berjudul “Aku Tulis Pamflet Ini”.
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Sumber: inilah
Foto: Ilustrasi seteru Jokowi dan PDIP. (Desain:Inilah.com/Febri)
Simfoni Seteru Jokowi-Mega, Kapal Besar Itu Kini Terbelah Dua
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar