UU MK Digugat, Minta Presiden-DPR Tak Seenaknya Ubah Syarat Umur Hakim MK
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi menyayangkan dua kandidat calon presiden (capres) tidak hadir dalam acara "Konferensi Orang Muda Pulihkan Indonesia".
Seorang Dosen dari Fakultas Hukum UMI Makassar, Fahri Bachmid, menggugat UU Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut teregister dengan nomor perkara 81/PUU-XXI/2023.
Fahri menguji materi Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK. Pasal tersebut mengatur seorang yang ingin menjadi hakim MK harus berumur paling rendah 55 tahun.
Gugatan Fahri ini berangkat dari kewenangan pembentuk undang-undang dalam hal ini pemerintah dan DPR dalam menentukan batas usia baik syarat minimal maupun maksimal untuk menduduki jabatan di lembaga negara.
Namun dewasa ini, pembentuk undang-undang dinilai semakin memperlihatkan kesewenang-kewenangannya dalam menentukan syarat minimal dam maksimal usia untuk menduduki jabatan pemerintahan itu.
Contohnya seperti UU KPK, di mana DPR-Presiden telah mengubah syarat pasal 29 huruf e yang semula mensyaratkan usia minimal pimpinan yakni 40 tahun, berubah menjadi 50 tahun.
Kondisi tersebut menyebabkan salah satu pimpinan KPK tidak bisa kembali mencalonkan lagi sebagai pimpinan untuk periode keduanya. Sehingga akhirnya harus menggugat lagi ke MK.
Hal serupa, dikhawatirkan terjadi di MK. Saat ini syarat usia menjadi hakim MK yakni 55 tahun. Pembentuk UU dinilai telah sepakat mengubah syarat usia hakim MK menjadi 60 tahun.
Apa dampaknya?
Menurut pemohon, kondisi tersebut akan menyebabkan tiga hakim MK tidak memenuhi syarat usia. Ketiganya yakni Saldi Isra, Guntur Hamzah, dan Daniel Yusmic.
"Bahwa artinya terhadap penentuan batas syarat minimal atau maksimal usia menduduki jabatan dalam lembaga negara atau pun penentuan batas usia pensiun walaupun merupakan bentuk Open Legal Policy, kecuali pilihan kebijakan tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Hal itulah yang telah dilakukan MK dalam beberapa putusan seperti putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 dan Putusan Nomor 121/PUU-XX/2022. Hal tersebut tentunya juga menguatkan peran MK sebagai Guardian of Constitution, the protector of citizens constitutional right dan the protector of human right," kata Fahri.
Pemohon menilai, terhadap adanya pengaturan syarat usia minimum ataupun maksimum dalam UU 7/2020 haruslah ditetapkan menjadi syarat yang tetap dan tidak berubah-ubah.
Setidaknya jika diubah harus ada landasan filosofis ataupun sosiologis yang kuat dan jelas untuk mengubahnya.
"Karena apabila tidak dinyatakan demikian, maka dapat saja kewenangan pembentuk UU dapat menjadi upaya politik dalam proses bargaining terhadap kepentingan pembentuk UU atas lembaga tersebut. Apalagi lembaga tersebut adalah badan peradilan ataupun lembaga penegak hukum yang harus dijamin independensinya serta kemerdekaannya dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya," ucap pemohon.
Dengan demikian, pemohon menilai bahwa pengubahan syarat minimal menjadi hakim konstitusi yang cenderung selalu diubah-ubah oleh pembentuk UU telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
Artinya ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 apabila dimaknai 'selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.
Atas dasar tersebut, pemohon meminta agar:
Menyatakan Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap frasa 'berusia paling rendah 55 tahun', apabila dimaknai 'selain dari yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo'
Gugatan tersebut akan diputus oleh MK pada 29 November pekan depan.
Kekawatiran Denny Indrayana
Gugatan tersebut tampaknya diiringi kekhawatiran yang dirasakan oleh Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana.
Denny di X menyebut Presiden-DPR akan mengubah syarat umur hakim MK dari 55 tahun menjadi 60 tahun. Kondisi itu, akan menyebabkan tiga hakim MK tak memenuhi syarat.
Mereka adalah Saldi Isra, Guntur Hamzah, dan Daniel Yusmic. Denny menyebut, nantinya pembuat UU akan menanyakan hakim yang belum 60 tahun ini akan diminta konfirmasi ke lembaga pengusulnya.
Guntur Hamzah diusulkan DPR, sementara Saldi Isra dan Daniel Yusmic oleh Presiden.
"GH (Guntur Hamzah) diloloskan DPR, Daniel diloloskan Presiden. Saldi diganti Presiden? Makin kelihatan kepentingan elektoral pilpres, di atas pertimbangan etika moral-konstitusional," ucap Denny.
"Modus manipulatif-koruptif mengubah syarat cawapres demi Gibran, mengubah syarat umur hakim MK untuk memastikan kemenangan, harus di: LAWAN!" ucapnya.
Sumber: kumparan
Foto: Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)/Net
UU MK Digugat, Minta Presiden-DPR Tak Seenaknya Ubah Syarat Umur Hakim MK
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar