Breaking News

Akhir Kepemimpinan Jokowi: Mendarat Mulus Atau ‘Crash Landing’?


Dengan sekian banyak sengkarut, noda dan polah lancung yang terbongkar, tampaknya akan sukar bagi Presiden Joko Widodo mengakhiri kepemimpinannya dengan husnul khatimah. Meski demikian, akankah ‘pesawat kepemimpinan’ Jokowi berhasil mengelak turbulensi hak angket DPR dan mendarat mulus, atau justru mengalami çrash landing?  

Jumat (8/11) lalu, bukan hanya kalangan di luar civitas akademika, para mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) pun sebentar terkesiap saat memasuki pintu masuk. Di lokasi yang sering disebut warga Kampus Biru sebagai area Bundaran UGM itu tegak sebuah baliho berukuran sekitar tiga kali empat meter. Pada baliho besar itu terpampang foto Presiden Jokowi sebatas perut. 

Yang membuat orang terhenyak, tak hanya foto wajah Presiden yang ‘dibelah’ dua penutup kepala dan jas yang berbeda, yakni caping dan mahkota, dan jas resmi serta jaket almamater UGM. Ada tulisan besar terpampang di sana : "Penyerahan Nominasi Alumnus UGM Paling Memalukan  Mr Joko Widodo".

Hari itu, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Universitas Gadjah Mada memang menggelar diskusi publik dan mimbar bebas bertajuk “Rezim Monarki Sang Alumni: Amblesnya Demokrasi, Ambruknya Konstitusi, dan Kokohnya Politik Dinasti”. Hadir dalam diskusi tersebut aktivis Hak Asasi Manusia, Fatia Maulidyanti, mantan Ketua Kontras, Haris Azhar, serta pegiat anti-korupsi sekaligus peneliti Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar. 

Seolah memuncaki acara, BEM KM UGM kemudian memanggil seorang mahasiswa yang mengenakan topeng laiknya Jokowi. Kepadanya diserahkan selembar kertas bertuliskan “Sertifikat, diberikan kepada IR.H. Joko Widodo sebagai Alumnus UGM Paling Memalukan”. Sertifikat itu diberikan dan ditandatangani Ketua BEM KM UGM,  Gielbran Muhammad Noor.

"Sertifikat ini akan kami kirimkan langsung ke beliau (Jokowi), tapi lewat pos saja. Kita malas, di (Istana Negara) sana  banyak tikus," kata Gielbran. Mahasiswa Fakultas Peternakan itu bilang, pengiriman sertifikat itu pun akan dibarengi dokumen Maklumat Bulak Sumur, merujuk alamat kampus UGM di Yogya. “Ada tiga poin dalam Maklumat Bulak Sumur,”kata Gielbran. 

“Pertama, menuntut iklim demokrasi yang demokratis; kedua, Konstitusi yang tidak diotak-atik tanpa otak; ketiga, mencabut semua kebijakan yang tidak sesuai kehendak rakyat, termasuk Undang Undang Cipta Kerja dan UU Kesehatan."

Jika ulah para mahasiswa UGM dengan baliho mereka Jumat lalu itu bisa disebut “happening art”, maka mahasiswa Universitas Indonesia (UI) pun punya cara sendiri untuk melontarkan kritik. Lewat seni pertunjukan, Teater Sastra UI pada Kamis (14/12) mendatang rencananya akan mementaskan lakon “Komedi Lurah Koplak : Lingsir, Lungsur, Longsor”. 

Belum jelas apa yang akan tergelar di pentas nanti. Tetapi mengingat para pemainnya adalah kalangan mahasiswa yang kritis, dengan kondisi negara yang tidak “baik-baik saja” ini besar kemungkinan cerita yang diangkat adalah kisah satir penuh kritik sosial.

Tak hendak ketinggalan oleh adik—malah mungkin anak-anak—mereka, sehari setelah gelaran BEM KM UGM, di Jakarta para tokoh masyarakat, budayawan, akademisi, rohaniwan dan ulama, professional, musisi dan para seniman, bahkan ada yang menuliskan diri sebagai “umum”, bergabung menggelar acara “Bongkar: Panggung Rakyat 2023”. 

Tidak hanya mengisi acara dengan penampilan seni penuh kritik, kalangan yang menggabungkan diri sebagai Aliansi Selamatkan Demokrasi Indonesia (ASDI) itu menyerukan enam tuntutan. Dua di antaranya, “Negara harus memulihkan hak masyarakat dan menghentikan represi aparat…”, serta “Negara harus memulihkan penegakan hukum atas korupsi, pelanggaran berat hak asasi, dan kejahatan ekologis yang merusak bumi dan merenggut hak-hak generasi mendatang.” 

Banyak di antara pegiat ASDI dikenal publik sebagai pendukung Presiden Jokowi di masa lalu. Di antara mereka terdapat Goenawan Mohamad, Butet Kertaredjasa, penyanyi Once Mekel, hingga seniman kontroversial seperti Young Lex. Hadir pula akademisi terkemuka cum aktivis, Arianto Sangaji, datang jauh-jauh dari kediamannya di Kota Palu. 

Tuntutan pemakzulan

Jika para seniman sudah melontarkan kritik pedas, wajar saja kalau aktivis dan politisi berada beberapa langkah di depan. Mungkin terilhami “Petisi 50”, kelompok kritis di masa Orde Baru, Rabu (6/12) lalu, sejumlah tokoh, dari aktivis, ulama hingga purnawirawan TNI, berkumpul di Gedung PDHI Sasonoworo, yang terletak di Kompleks Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta. 

Mereka tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat, berdialog serius dalam tema “Rakyat Menuntut Pemakzulan Presiden Jokowi”. Hasilnya, dalam pernyataan pers yang beredar sehari kemudian, mereka mendesak DPR dan MPR segera memakzulkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. 

Bagi Petisi 100, hingga 20 Juli—saat mereka menyampaikan tuntutan itu kepada DPR--ada sepuluh alasan pemakzulan Jokowi. Alasan yang bertambah seiring semakon banyaknya kasus dan dugaan ulah lancung yang terguar ke ruang publik. 

"Pemakzulan semakin relevan setelah adanya pelanggaran-pelanggaran konstitusional baru yang dilakukan Jokowi,"tulis mereka dalam siaran pers itu. Yang dimaksud Petisi 100 itu di antaranya nepotisme, yakni keterlibatan Jokowi sebagai ipar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, dalam pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia capres-cawapres. Anwar Usman diputuskan Majelis Kehormatan MK telah melanggar etika berat, sehingga diberhentikan sebagai Ketua MK.

Nepotisme Jokowi itu, kata Petisi 100, jelas melanggar Pasal 22 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. "Dengan pelanggaran ini, Petisi 100 akan segera melaporkan tindak pidana yang telah dilakukan Jokowi, Anwar Usman dan Gibran,"ujar Petisi 100 dalam pernyataan mereka. 

Petisi 100 juga menyinggung pengakuan mantan Ketua Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, soal adanya intervensi Jokowi terhadap KPK. "Belum lagi dengan merevisi UU KPK untuk memperlemah KPK dengan diadakannya SP3 dan menjadikan lembaga rasuah itu berada di bawah Presiden."

Beberapa tokoh yang hadir dalam pertemuan di Gedung PDHI Yogyakarta itu, antara lain, mantan Ketua MPR Amien Rais; mantan KASAD, Jenderal TNI Purn. Tyasno Sudarto; guru besar UGM, Zainal Arifin Mochtar; akademisi M. Taufiq; Ketua FUI DIY, Syukri Fadholi; Ketua BEM KM UGM, Gielbran Muhammad Noor, pedakwah Rizal Fadillah, serta aktivis dan pengamat ekonomi Marwan Batubara.

Persoalannya, meski sejarah Indonesia mencatat bahwa ada dua presiden—Bung Karno dan Pak Harto—jatuh karena desakan mayoritas rakyat, secara resmi keduanya diberhentikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Soekarno dilengserkan MPRS melalui Sidang Istimewa MPRS, yang mulai digelar 7 Maret 1967. 

“Di akhir sidang istimewa, MPRS memutuskan mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan sekaligus menetapkan Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia,” tulis Kuncoro Hadi, dalam “Kronik ’65”. 

Kini, mungkinkah DPR RI melakukan hak interpelasi, atau bahkan hak angket, sebagai langkah awal pemakzulan Jokowi oleh MPR? Pengamat politik dan para ahli hukum tata negara ternyata masih berbeda pendapat. 

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, menegaskan bahwa dalam kondisi saat ini semestinya DPR tak membiarkan kesan hanya diam berpangku tangan. Hamdan mendorong agar DPR bertindak dan menggunakan hak mereka untuk mengetahui kebenaran, terutama  isu yang dihembuskan Agus Raharjo langsung ke ruang publik itu. “Ditambah masalah putusan MK, DPR seharusnya gunakan hak konstitusional menanyakan ini kepada Presiden, atau gunakan hak angket. Apa betul ada intervensi Presiden atau hanya fitnah?" cuit Hamdan di akun Twitter @hamdanzoelva, baru-baru ini.  

Pernyataan lebih keras datang dari pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani. Pengacara dan aktivis HAM itu mendesak DPR melakukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. 

Alasannya, Jokowi telah melakukan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan dalam kasus korupsi megaproyek E-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto yang kini mendekam menebus dosa di penjara. Bagi Julius, tidak ada dasar hukum apa pun bagi Jokowi untuk memanggil eks Ketua KPK Agus Raharjo, bertanya soal kasus yang sedang ditangani KPK, apalagi marah. 

“Artinya setiap bentuk pertanyaan terhadap perkara, setiap bentuk intip-intipan terhadap perkara itu harus dianggap sebagai bukan hanya intervensi, tetapi perbuatan menghalang-halangi proses hukum,”ujar Julius.

Soal  obstruction of justice itu diamini ahli hukum tata negara, Refly Harun. Bagi Refly, menelisik kebenaran pernyataan Agus itu masalah yang sangat serius, apalgi manakala Presiden pun cukup lama membiarkannya sebelum merespons. “Ini tidak boleh disepelekan begitu saja. Karena kalau, misalnya Pak Agus Rahardjo bohong, itu harus ada tindak lanjutnya. Tapi kalau dia benar? Berarti kan ada upaya untuk menghalangi proses peradilan. Itu tindak pidana,” kata Refly menjawab pertanyaan Inilah.com. 

Refly menunjuk Pasal 21 UU KPK soal obstruction of justice, yang ancaman hukumannya tiga sampai 12 tahun. Alasan itu yang membuat Refly heran DPR tidak menindaklanjuti ‘temuan’ baru yang diungkap Agus ke publik secara langsung via siaran televisi itu. “Itu punya potensi sebagai tindak pidana. Ilegal sama tindak pidana itu berbeda,”kata dia. 

Feri Amsari, akademisi Universitas Andalas, Padang, tamatan William & Mary Law School, Amerika Serikat, berpendapat bahwa pemakzulan terhadap Presiden Jokowi telah memenuhi unsur Konstitusi. “Seluruh konteks dan unsur-unsur pemakzulan sudah terpenuhi,”kata Feri. 

Ia menunjuk keterlibatan aparat kepolisian, skandal bekas Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi, pemanggilan para menteri, pembiaran kampanye di luar jadwal, dan pemanggilan pejabat daerah, dan sebagainya, sudah bisa menjadi bukti konkret. Menurut Feri, tinggal bagaimana sikap dan nyali para anggota DPR menegakkan Konstitusi dan berhadapan dengan rezim. 

Namun tak kurang juga yang bersikap skeptis. Tidak hanya kepada DPR, melainkan kepada isu yang dihembuskan Agus Rahardjo sendiri. Di antara mereka terdapat dua pakar hukum tata negara, Herdiansyah Hamzah Castro dan Margarito Kamis. 

“Interpelasi sepertinya cuma gimmick,”kata Herdiansyah. Hal seperti itu menurutnya menjadi masalah DPR, terutama periode terakhir. “Keseringan masuk angin. Fungsi pengawasannya melempem ketika berhadap-hadapan dengan Presiden.” Padahal, kata dia, kalau DPR mengaktifkan fungsi pengawasannya melalui penggunaan hak interpelasi atau hak angket, itu pertanda demokrasi kita sehat. 

Namun demikian, ia bersyukur Agus berani bicara terbuka. “Itu mengonfirmasi kalau operasi pelemahan KPK itu lahir dari kekuasaan. Presiden yang harusnya jadi panglima pemberantasan korupsi, justru paling depan dalam membunuh KPK.”

Pun demikian Margarito. “Ah, itu soal kecil saja,”kata Margarito kepada Inilah.com, dalam percakapan telepon. “Bunga-bunga saja dalam situasi politik yang lagi asyik-asyik ini.”  Bagi Margarito, apa yang Agus katakan, dan kemudian disangkal Jokowi, tak lebih dari bunga-bunga seiring situasi politik yang menghangat. Pasalnya, Agus pun, menurut dia, tak memberikan bukti apa pun. 

“Pak Agus cuma bilang begitu, kan?” kata dia. Lebih jauh, Margarito juga tak yakin DPR mau menindaklanjuti ‘temuan’ baru tersebut, meski terbuka secara telanjang langsung ke hadapan publik. “Orang DPR sekarang pusing dengan Pileg, Pilpres dan segala macam. Kalau (kata untuk menyatakan skeptis—redaksi) mereka mau mengurusi itu.”

Prediksi Margarito tersebut tepat untuk anggota DPR seperti Wakil Ketua Umum partai Gerindra, Habiburrokhman. Dia melihat pernyataan tersebut biasa saja, tidak istimewa. “Pernyataan tersebut tidak memiliki nilai pembuktian apapun secara hukum,”kata Habiburrokhman, menjawab pertanyaan Inilah.com. pasalnya, kata dia, di dalam hukum berlaku  prinsip bahwa satu saksi bukanlah saksi. 

Agus, kata Habiburrokhman, juga tidak memberikan saksi dan bukti lain. Belum lagi pernyataan itu pun, kata dia, dibantah pihak Jokowi. 

Untuk soal itu, Ketua DPR, Puan Maharani, mengatakan DPR menjunjung tinggi supremasi hukum. Itu, kata Puan, yang mendasari tanggapan DPR atas dugaan intervensi Presiden Jokowi seperti cerita Agus. Puan mengatakan berkomitmen untuk mengedepankan supremasi hukum serta menjalankan prinsip tersebut dengan baik dan benar.

Puan tidak memungkiri, meski belum diputuskan, wacana penggunaan hak interpelasi sudah muncul di DPR.”Bahwa kemudian ada wacana atau keinginan dari anggota untuk melakukan itu (hak interpelasi), itu merupakan hak anggota. Kami juga akan mencermati apakah hal itu diperlukan atau tidak,”kata Puan, di sela-sela rapat paripurna penutupan masa persidangan II tahun 2023-2024. 

Pernyataan Agus akhirnya memang mengusik Istana. Presiden Jokowi sendiri sudah bereaksi, meski dipandang banyak pihak lambat dan belum memberikan kejelasan. Terhadap pernyataan Agus itu, Senin (4/12) lalu Jokowi mempertanyakan motivasi Agus. “Terus untuk apa (kasus Setya Novanto) diramaikan itu? Kepentingan apa diramaikan itu? Untuk kepentingan apa?" kata  Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. 

Jokowi meminta publik melihat kembali pemberitaan pada November 2017. Pada saat itu, Jokowi menegaskan bahwa dirinya telah meminta agar Setnov menjalani proses hukum yang berjalan di KPK. "Coba dilihat. Dilihat di berita-berita tahun 2017, di bulan November, saya sampaikan saat itu Pak Novanto, Pak Setya Novanto ikuti proses hukum yang ada, jelas. Berita itu ada semuanya," kata Presiden. Ia juga meminta publik melihat bahwa proses hukum terhadap Setnov terus berjalan, dengan mendapatkan vonis hukuman penjara 15 tahun.

Jokowi bahkan menyanggah adanya pertemuan dengan Agus tersebut. “Saya suruh cek. Saya (itu) sehari kan (menghadiri) berapa puluh pertemuan. Saya suruh cek di Setneg, nggak ada. Agenda di Setneg, nggak ada. Tolong dicek lagi aja," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (4/12).

Sementara mengenai tudingan Sudirman Said, yang menguatkan pernyataan Agus, klarifikasi dilakukan Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana. Ari menegaskan, Jokowi tidak pernah memarahi Sudirman karena melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), 2015 lalu. 

"Tidak benar Presiden Jokowi memarahi Sudirman Said karena melaporkan Setya Novanto (ketua DPR saat itu) ke MKD," ujar Ari dalam keterangannya, awal bulan ini. Namun, meski membantah, Istana tidak melakukan langkah hukum apapun terhadap Agus Rahardjo.

Kini, mungkinkah DPR—seperti kata Feri Amsari—punya nyali untuk menggulirkan hak mereka, interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat, yang mungkin saja berujung pada pemakzulan? Mungkinkah DPR, yang konon lebih dari setengahnya dihuni kalangan pengusaha yang sering dibilang pragmatis itu, mau mengajukan permintaan kepada MK, setelah  menggalang dukungan sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya dua per tiga jumlah keseluruhan mereka? Sejarah akan mencatat. Entah dengan tinta emas atau dengan bau yang menyengat di sepanjang kehidupan bangsa ini ke depan. 

Sumber: inilah
Foto: Ilustrasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di ujung masa jabatannya. (Foto: Inilah.com/Febri).
Akhir Kepemimpinan Jokowi: Mendarat Mulus Atau ‘Crash Landing’? Akhir Kepemimpinan Jokowi: Mendarat Mulus Atau ‘Crash Landing’? Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar