Faktor Jokowi, Mitos atau Fakta?
SEJUMLAH pollster kerap mengungkapkan bahwa penentu kemenangan sepasang kandidat di Pilpres 2024 adalah faktor Jokowi. Sosok Jokowi dianggap masih memiliki pengaruh dalam memberikan efek elektoral di pemilihan presiden mendatang. Faktor Jokowi atau Jokowi effect ini dikaitkan dengan semakin tingginya derajat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, maka semakin besar pula kepercayaan ataupun loyalitas publik pada sosok calon presiden yang direkomendasikan Presiden Jokowi.
Bahkan, survei Litbang Kompas pada 27 Juli-7 Agustus 2023 memaparkan 8,1 persen responden yang memastikan bakal memilih sosok ataupun calon presiden yang direkomendasikan oleh Presiden Jokowi. Pertanyaannya, sejauh mana signifikansi faktor Jokowi terhadap efek elektoral pemilihan presiden mendatang? Tentu, pertanyaan ini tak bisa dijawab hanya semata-mata dengan kesimpulan sejumlah lembaga survei.
Namun perlu ada review atas faktor Jokowi terhadap hasil pemilu yang lalu sebagai alat uji yang sederhana apakah kepuasan publik terhadap petahana punya pengaruh elektoral? Lebih jauh lagi, apakah pemilih mampu membangun nexus antara kinerja petahana dengan pilihan politik mereka terhadap kandidat yang dianggap didukung oleh petahana?
Bukan Sekadar Faktor Jokowi
Kesimpulan bahwa kepuasan publik punya dampak terhadap elektoral berangkat dari pendekatan apa yang disebut teori economic voting yang memiliki pengandaian bahwa pemilih akan menghadiahi petahana dengan memilihnya kembali atau memilih yang dianggap penerusnya jika performa dianggap baik atau memuaskan. Teori ini perlu kita buktikan secara konkret dalam review hasil pemilu sudah berjalan. Langsung saja kita mengujinya pada Pilpres 2019.
Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 15-22 Maret 2019 menunjukkan, mayoritas masyarakat puas dengan kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebanyak 72,9 persen responden mengaku puas dengan kinerja pemerintah dalam empat tahun terakhir.
Survei Indo Barometer pada 6-12 Februari 2019 menyebut sebanyak 64,9 persen menyebut puas dengan kinerja Jokowi. Survei Charta Politika pada 1-9 Maret 2019 menyebut tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla mencapai 65,9 persen. Semua survei ini dilakukan satu sampai dua bulan menjelang Pilpres 2019 yaitu 17 April 2019.
Dan hasilnya, pasangan Jokowi-Maruf hanya mendapatkan 55,50 persen suara pada Pilpres 2019. Dibandingkan perolehan suara pada Pilpres 2014 di mana Jokowi-JK memperoleh 53,15 persen suara maka di Pilpres 2019 suara Jokowi selaku petahana yang memiliki kepuasan publik yang tinggi hanya memperoleh kenaikan 2,35 persen suara. Bahkan dari sebaran suara yang diraih, dibanding Pilpres 2014, pada Pilpres 2019 Jokowi selaku petahana kehilangan suara mayoritas (kemenangan) di empat provinsi yakni Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Provinsi pemilih Jokowi berkurang dari 23 provinsi pada Pilpres 2014 menjadi 21 provinsi pada Pilpres 2019. Jokowi-Maruf hanya berhasil merebut kemenangan tipis di salah satu provinsi basis Prabowo pada 2014, yakni Gorontalo. Tentu, sebagai kandidat petahana yang memiliki kepuasan publik yang cukup tinggi dan dukungan partai koalisi yang bertambah perolehannya hanya naik 2,35 persen bukan sesuatu yang spektakuler.
Apabila dianalisis secara rinci, kemenangan Jokowi diraih akibat adanya penguatan atau penambahan suara di sejumlah basis wilayahnya. Di Bali misalnya, pada Pilpres 2019 suara Jokowi mencapai 91,68 persen, pada 2014 hanya memperoleh 71,42 persen, mengalami kenaikan signifikan hingga 20,26 persen suara. Begitu juga di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Tentu, Bali, Jawa Tengah, dan DIY adalah basis tradisional PDIP, yang disebut sebagai kandang banteng. Sama halnya di Jawa Timur, kenaikan signifikan yang menyumbang suara Jokowi mayoritas di sejumlah daerah yang disebut Mataraman, meliputi eks Karesidenan Madiun dan Karesidenan Kediri, seperti Kabupaten Blitar dari 72 persen pada 2014 menjadi 85,21 persen pada 2019, Kabupaten Kediri dari 68 persen menjadi 82,5 persen, Tulungagung dari 66 persen menjadi 80,4 persen.
Semua wilayah ini adalah basis tradisional PDIP. Basis tradisional dalam pengertian wilayah yang dimenangi PDIP secara terus-menerus selama lima kali pemilu era reformasi. Kemenangan yang dimaksud di sini adalah raihan suara tertinggi dalam ajang pemilu legislatif untuk penghitungan suara tingkat DPR-RI.
Artinya, kepuasan publik terhadap Jokowi bukanlah faktor satu-satunya yang memberikan efek elektoral. Apalagi sebagai penentu. Menjadikan kepuasan publik sebagai satu-satunya faktor penentu seseorang memilih kandidat pemimpin di pemilu mendatang bukan hanya berlebihan namun juga menyesatkan.
Dalam kontestasi pemilihan presiden, terdapat dua faktor yang berpengaruh pada pilihan seseorang terhadap calon presiden. Pertama, adalah faktor daya tarik. Daya tarik ini berkaitan dengan beberapa faktor yang melekat dalam diri sang calon presiden seperti kepribadian, latar belakang, dan rekam jejak sang kandidat.
Survei Kepemimpinan Nasional yang diselenggarakan Litbang Kompas pada Januari lalu menyebutkan 31,1 persen atau nyaris sepertiga responden menyukai calon presiden yang punya pribadi sederhana dan merakyat. Selain sederhana dan merakyat, 21,6 persen atau sekitar seperlima dari responden menyukai calon presiden yang memiliki pengalaman dan prestasi sebagai pemimpin daerah.
Kedua, faktor daya dorong. Daya dorong adalah faktor eksternal dari pemilih yang bisa menguatkan sikap pemilih dalam menentukan pilihannya. Faktor daya dorong ini layaknya lingkaran sosial seperti keluarga atau kolega. Masih menurut Survei Kepemimpinan Nasional Litbang Kompas, 32,1 persen atau hampir sepertiga dari responden survei menyatakan, pilihan presiden mereka dipengaruhi oleh keluarga, termasuk orang tua atau pasangan (suami/istri).
Besarnya pengaruh lingkaran sosial terdekat ini pun terjadi secara cukup merata di setiap kalangan. Dilihat berdasarkan kategori usia, keluarga menjadi pihak eksternal yang paling berpengaruh terhadap pilihan capres. Artinya, lingkar sosial terdekatlah yang dominan mengkonstruksi pilihan politik seseorang.
Dan besar kemungkinan hal ini diakibatkan adanya transfer nilai, ideologi atau pandangan politik di lingkungan sosial terdekatnya. Maka peranan mesin politik partai atau blusukan kandidat yang menjangkau hingga akar rumput serta intens, tak berjarak dengan masyarakat adalah faktor yang tidak bisa dikesampingkan.
Keterbatasan memori, rendahnya pengetahuan politik soal tugas dan kinerja pejabat publik, serta kurangnya perhatian pada isu-isu publik pemilih kita seringkali menyebabkan kepuasan publik tak menyisakan implikasi elektoral. Sekali lagi, bukan perkara yang mudah membangun nexus antara kinerja petahana dengan pilihan politik seseorang terhadap kandidat yang dianggap didukung oleh petahana.
Hal ini dibuktikan ditengah kepuasan publik terhadap pemerintah Jokowi sangat tinggi namun 64,4 persen masyarakat menyatakan tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi menurut survei Populi Center. Tentu, hal ini berbanding terbalik dari pengandaian teori economic voting.
Contoh paling nyata adalah Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana sang petahana Ahok-Djarot memiliki kepuasan publik sekitar 75 persen berdasarkan sejumlah sigi lembaga survei ternama.
Namun kepuasan publik sang petahana hanya berakhir menjadi mitos belaka. Keseleo lidah atas satu-dua kalimat sensitif menjelang pemilu menciptakan random shocks (bencana elektoral) yang merusak efek kepuasan publik terhadap preferensi pemilih.
Tragedi Mahkamah Konstitusi, “Ndasmu Etik”, politik dinasti, dan segala blunder dari sang kandidat bukan tak menutup kemungkinan bisa menciptakan random shocks yang bukan saja membuat teori kepuasan publik yang digembor-gemborkan lembaga survei bisa berakhir menjadi mitos, melainkan juga hanya sebatas menyisakan desas-desus.
Perolehan suara Prabowo-Gibran yang baru berkisar 45-46 persen yang tak jauh dari suara tradisional Prabowo selama dua kali pilpres bukanlah sesuatu spektakuler dengan didukung penuh oleh petahana yang memiliki kepuasan publik yang sangat tinggi.
Tentu, sangat menyedihkan apabila ternyata teori kepuasan publik yang selama ini diyakini banyak orang bakal punya efek elektoral hanya semata-mata glorifikasi tanpa makna. Hanya sebatas propaganda berjubah riset ilmiah.
Penulis adalah Ketua Umum DPP GMNI
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Faktor Jokowi, Mitos atau Fakta?
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar