Isi Laporan Koalisi Masyarakat Sipil ke PBB Dugaan Sisi Kelam Era Jokowi
Presiden Joko Widodo atau Jokowi dilaporkan koalisi masyarakat sipil ke PBB
dugaan pelanggaran HAM dengan dalih pembangunan. Sikap politik ini
didasarkan untuk advokasi HAM internasional pada isu ekonomi, sosial dan
budaya yang disampaikan kepada Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan judul, “The Dark Side of Indonesia’s
Development under Joko Widodo”
Barikut isi laporan 'The Dark Side of Indonesia Development under Joko
Widodo' atau jika diartikan Sisi Kelam Pembangunan Indonesia Era Jokowi.
Disebutkan dalam laporan tersebut jika sisi gelap pembangunan di era Jokowi
semakin terlihat jelas ketika menyikapi krisis kesehatan akibat pandemi
COVID-19. Indonesia.
Seperti negara-negara lain di dunia, juga berupaya melakukan hal tersebut
pulih dari pandemi ini. Namun sayangnya, Indonesia lebih mengedepankan
paradigma pembangunan ekonomi dengan mengejar pertumbuhan ekonomi
alih-alih berfokus pada keselamatan dan kesehatan penduduknya.
Pandemi yang telah terjadi seolah dijadikan peluang bagi pemerintah dan
pejabat negara serta kroni-kroninya untuk berbisnis dengan rakyat yang
perekonomiannya jelas-jelas terpuruk akibat pandemi mulai dari pengadaan
obat-obatan untuk pandemi, tes COVID, impor masker, hand sanitizer, dan alat
pelindung diri untuk dokter dan kesehatan pekerja.
HRWG berpegang pada posisi Indonesia di isu HAM Global. Mengingat Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional terkait penghormatan dan perlindungan HAM 🤝 pic.twitter.com/vv8Q0QP2ZA
— Kontekstual (@kontekstualcom) February 19, 2024
Akibatnya komoditas tersebut menjadi langka dengan harganya melambung
tinggi.
Selain itu, di tengah pandemi COVID-19, Pemerintah Indonesia juga
mengeluarkan kebijakan yang memperburuk kerusakan lingkungan dan
meningkatnya ketimpangan sosial-ekonomi.
Kebijakan tersebut antara lain pengesahan UU Cipta Kerja yang mempermudah
pemberian izin investasi dengan mengabaikan daya dukung lingkungan hidup dan
lingkungan hidup perlindungan hak-hak masyarakat, revisi UU Minerba yang
memberikan banyak insentif perusahaan pertambangan namun mengabaikan
kerusakan lingkungan yang diakibatkannya, proyek strategis nasional (PSN)
mendorong percepatan perusakan lingkungan melalui proyek pembangunan fisik
besar-besaran oleh pemerintah dan sektor swasta.
Selain itu kebijakan Jokowi yang juga diduga mendorong pengrusakan
lingkungan diantaranya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
telah berperan penting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di bidang
pengelolaan sumber daya alam dan pengesahan Undang-Undang Ibu
Kota Negara (IKN).
Pokok Persoalan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Ketenagakerjaan Penciptaan menjadi Hukum merupakan hak masyarakat atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, salah satu contohnya adalah hilangnya
kesempatan untuk ikut serta dalam mengajukan keberatan dan penilaian
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Masyarakat sipil menanggapi laporan Pemerintah Indonesia kepada Komite Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB (CESCR) sebagai laporan bayangan menilai
upaya Pemerintah Indonesia untuk pulih dari pandemi dan bencana COVID-19
sekaligus sebagai empat tantangan serius terkait pemajuan hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya, antara lain korupsi, ketimpangan; pengentasan
kemiskinan; pendidikan, gizi, dan kesehatan; akses terhadap pekerjaan dan
modal yang layak serta kerusakan lingkungan hidup dan pemenuhan hak-hak
kelompok rentan ECOSOC.
"Korupsi mengakibatkan banyak pelanggaran hak asasi manusia, khususnya untuk
penikmatan hak-hak ECOSOC. Secara sistematis, pelemahan Pemberantasan
Korupsi Komisi (KPK) dilaksanakan melalui perubahan Undang-Undang
Pemberantasan Korupsi dan bubarnya KPK dari di dalam. Pemerintahan Jokowi
merevisi UU KPK yang substansinya melemahkan KPK," tulis laporan tersebut.
Mengenai ketimpangan, koalisi ini menilik laporan Oxfam Indonesia yang
menyatakan Indonesia merupakan negara terburuk keenam di dunia mengenai
ketimpangan.
"Hal ini disebabkan oleh fundamentalisme pasar yang memungkinkan sekelompok
orang kaya untuk menikmati keuntungan pertumbuhan ekonomi selama dua dekade
terakhir dengan penguasaan lahan terbanyak," sebut laporan tersebut.
Setidaknya pada tahun 2016, 1% orang terkaya di Indonesia populasi menguasai
49% dari total kekayaan nasional. Dalam laporan lain, kelompok 1%
meningkatkan seluruh kekayaan mereka menjadi USD 21 miliar pada tahun 2019
saja.
Sementara mengenai kerusakan lingkungan hidup, menurut Yale University,
Indonesia berada pada peringkat 137 dari 180 negara.
Menurut Kementerian Kehutanan, pada tahun 2020, Indonesia kehilangan 115,459
juta hektar akibat kebakaran. Di dalam 2002-2022, Indonesia kehilangan 10,2
juta hektar hutan primer. Sejak mencapai puncaknya pada tahun 2016, total
kerugian luas hutan primer telah mencapai 929 ribu ha.
Temuan lain menunjukkan bahwa 82% sungai di Indonesia tercemar, dan 11%
sangat tercemar. Hal ini mengakibatkan krisis akses terhadap air bersih.
Laporan ini mempersoalkan dampak pemerintahan yang mengutamakan pertumbuhan
ekonomi dan mengabaikan hak asasi manusia kewajibannya, khususnya terhadap
sejumlah kelompok rentan di Indonesia.
Misalnya saja bagi para pekerja migran kelompok, meskipun Indonesia telah
meratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Konvensi
Perlindungan Pekerja Migran, kebijakan mengenai pekerja migran Indonesia
belum sepenuhnya menyelaraskan kedua instrumen ini dalam kebijakan
penganggaran dan operasional.
Pekerja migran masih belum bisa mengakses Pelayanan jaminan sosial berbasis
BPJS, seperti kesehatan dan ketenagakerjaan.
"Pemerintahan Joko Widodo khususnya pada masa pemerintahannya yang kedua
jangka panjang, secara sistematis telah gagal menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ini Sebab, pemerintahan Joko Widodo telah mengambil sejumlah kebijakan yang
justru menumbuhkan korupsi, eksploitatif dan sumber daya ekstraktif yang
menguntungkan sejumlah kecil kroni, dan mengabaikan beberapa kelompok
rentan," bunyi laporan ini.
Indonesia pertama kali melaporkan kewajiban internasionalnya kepada Komite
Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) pada tahun 2014. Jadi, timeline dari laporan
bayangan ini sejalan dengan dua periode pemerintahan Joko Widodo.
Laporan ini menjadi laporan bayangan yang harus ditanggapi pemerintah
Indonesia kepada Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB.
Laporan ini dilakukan karena Indonesia sendiri telah meretifikasi dua
perjanjian internasional mengenai penghormatan, perlindungan dan pemenuban
HAM yakni konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik (iccpr)
dan konvenan internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, (icescr)
pada tahun 2005.
"Kerena itu, Indonesia berkewajiban mematuhi berbagai ketentuan kedua
konvenan tersebut dan melakukan evaluasi berkala dengan komite HAM PBB,"
ujar laporan yang mendasari pengiriman dua laporan oleh lembaga non
pemerintah ini.
Pelaporan yang dilakukan lembaga Human Rights Working Group (HRWG) juga
melaporkan atas represifitas dengan menggunakan isu-isy sektarian yang
bermuatan agama sekaligus golongan.
Laporan ini pun akan menjadi salah satu bahan Komite HAM dan Ekonomi Sosial
Budaya (Ekosob) untuk melakukan dialog strategis bersama pemerintah RI pada
20-21 Februari dan 11-12 Maret 2024 di Jenewa, Swiss.
Sumber:
suara
Foto: Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi. Isi Laporan Koalisi Masyarakat
Sipil ke PBB Dugaan Sisi Kelam Era Jokowi (Suara.com/Antara)
Isi Laporan Koalisi Masyarakat Sipil ke PBB Dugaan Sisi Kelam Era Jokowi
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar