Mampukah Argumen Anies-Ganjar di MK Batalkan Kemenangan Prabowo-Gibran?
Dua hari lagi adalah batas maksimal KPU umumkan hasil resmi Pilpres 2024. Hingga kini, KPU telah menetapkan hasil rekapitulasi pada 33 dari 38 provinsi di Indonesia.
Di hampir semua provinsi itu, paslon 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, terlihat unggul, kecuali di Aceh dan Sumatera Barat yang dimenangi paslon 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Sementara paslon 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, tidak unggul di satu provinsi pun.
Jika mengacu pada hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, Prabowo-Gibran meraih 58% suara, AMIN 25%, dan Ganjar-Mahfud 17%.
Ganjar menyatakan siap menggugat hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi setelah KPU merilis hasil rekapitulasinya. Ia menyebut timnya tengah mengumpulkan data-data dan saksi-saksi untuk dihadirkan di MK.
Niat serupa dimiliki AMIN yang telah beberapa kali menggelar focus group discussion terkait kecurangan pemilu yang dihadiri langsung oleh Anies Baswedan.
“Kami menyiapkan bahan-bahan, saksi-saksi, untuk ke MK. Setidaknya hipotesis [kecurangan] TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) bisa kita uji dan betul-betul bisa kita buktikan,” ujar Ganjar di Jakarta, Sabtu (9/3).
Pasal 74 ayat 3 UU MK mengatur permohonan gugatan hasil pemilu ke MK hanya dapat diajukan maksimal 3x24 jam setelah KPU resmi mengumumkan hasil pemilu secara nasional. Jadi, jika KPU mengumumkan pada 20 Maret, maka paslon 01 dan 03 cuma punya kesempatan mendaftarkan gugatan sampai 23 Maret.
Dalam permohonan yang diajukan, tim hukum paslon 01 dan 03 wajib menguraikan kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut mereka.
Sesuai Pasal 78 UU MK, gugatan hasil Pilpres wajib diputus MK maksimal 14 hari kerja sejak permohonan dicatat di Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).
Tim Hukum Nasional (THN) AMIN dan Tim Hukum Ganjar-Mahfud menyatakan, persiapan gugatan mereka ke MK masing-masing telah mencapai 90%. Keduanya sama-sama menganggap Pilpres 2024 diwarnai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Kriteria Kecurangan TSM
Dalil terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) telah diatur dalam Pasal 463 UU 7/2017 tentang Pemilu. Di situ diatur bahwa Bawaslu yang berwenang menangani pelanggaran TSM dalam lingkup administratif.
Objek pelanggaran administratif secara TSM meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu; serta perbuatan menjanjikan atau memberikan uang/materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu/pemilih.
Dalam konteks Pilpres, Bawaslu telah mengatur kriteria pelanggaran administratif TSM harus memuat 3 syarat, yakni:
Apakah hanya Bawaslu yang berwenang menangani pelanggaran TSM?
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Charles Simabura, berpandangan bahwa kewenangan Bawaslu sesuai UU Pemilu hanya menyangkut 2 objek TSM, yakni mengenai politik uang dan prosedur tata cara.
Maka, pelanggaran lain di luar dua hal tersebut, seperti mobilisasi ASN atau gelontoran bantuan sosial untuk kepentingan kampanye, merupakan ruang yang bisa dimanfaatkan paslon untuk menggugat hasil pemilu ke MK.
“Semisal, mobilisasi ASN itu tidak melanggar tahapan, prosedur, ataupun proses. Mobilisasi aparat, keterlibatan BUMN, bansos, itu bisa saja bukan pelanggaran TSM seperti yang dimaksud UU Pemilu, tapi masuk ke ranah pelanggaran yang terjadi selama masa kampanye dan berpengaruh pada hasil pemilu. Di sinilah yang harus dibuktikan oleh pasangan calon,” jelas Charles pada kumparan, Jumat (15/3).
Mantan hakim MK Maruarar Siahaan menyatakan, Mahkamah berwenang menangani pelanggaran TSM terutama jika Bawaslu tak ambil inisiatif untuk mengusut berbagai dugaan masalah yang timbul selama tahapan pemilu.
Sementara Charles—yang juga pakar hukum tata negara—lebih lanjut mempertanyakan kriteria pelanggaran administratif TSM yang disusun Bawaslu, semisal mengenai syarat kecurangan terjadi di 50% provinsi.
Menurutnya, hal itu tak sesuai dalil sederhana TSM bahwa kecurangan memengaruhi hasil pemilu, sebab jumlah pemilih di Pulau Jawa saja sudah mencapai 56%.
Artinya, kecurangan yang mempengaruhi hasil pemilu sebetulnya tak harus sampai menyebar ke banyak provinsi, cukup di Jawa yang hanya punya enam provinsi namun jumlah pemilihnya separuh lebih dari total DPT.
Selain itu, dokumen perencanaan kecurangan sebagai syarat pelanggaran administratif TSM juga dinilai Charles tak masuk akal.
“Tidak semua kejahatan didokumentasikan,” ucapnya.
Bisakah Dalil Kecurangan Batalkan Hasil Pilpres?
Sepanjang Pilpres digelar sejak 2004 sampai 2019, belum pernah satu kali pun MK membatalkan hasilnya atau memerintahkan pemungutan suara ulang. Namun, tidak demikian dengan sengketa hasil pilkada. MK beberapa kali membatalkan hasil pilkada, bahkan mendiskualifikasi paslon tertentu.
“Belajar dari kasus Pilkada, apakah bisa diadopsi untuk konteks Pilpres? Semua tergantung pembuktian,” ujar Charles.
Ketua THN AMIN Ari Yusuf Amir menyatakan, timnya akan mengajukan argumen kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, mereka bakal menjelaskan bahwa hasil yang diumumkan KPU berbeda dengan fakta. Selain itu, THN AMIN meyakini perolehan suara paslon 02 tak mungkin mencapai 58% bila tanpa kehadiran Gibran, putra sulung Presiden Jokowi, sebagai cawapres.
Sementara secara kualitatif, THN AMIN akan mempersoalkan kualitas pemilu. Mereka menilai proses seleksi komisioner KPU dan Bawaslu bermasalah sejak awal. Tim Seleksi KPU-Bawaslu yang ditunjuk Presiden Jokowi pada Oktober 2021, misalnya, ketika itu dipimpin Juri Ardiantoro yang menjabat sebagai Deputi IV Kepala Staf Presiden. Dua tahun kemudian, November 2023, Juri mundur dari jabatannya di KSP karena bergabung dengan Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Selain itu, menurut THN AMIN, para komisioner yang terpilih terbukti bermasalah, khususnya Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang telah dijatuhi vonis etik peringatan keras sebanyak 3 kali.
Argumen kualitatif THN AMIN juga menyasar pengerahan aparat negara, mulai dari menteri hingga kepala desa, untuk pemenangan Prabowo-Gibran.
Akrobat Politik Aparat Desa
Dulu, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menyerukan "Jokowi 3 Periode" di tengah acara silaturahmi nasionalnya. Kini, Desa Bersatu yang dimotori Apdesi terang-terangan mendukung Prabowo-Gibran. Mengapa aparat desa agresif berpolitik?
Ada pula argumen tentang penggunaan anggaran negara melalui bansos dan politik uang untuk meningkatkan suara Prabowo-Gibran. THN AMIN yakin, jika tak ada kecurangan, perolehan suara Prabowo-Gibran tak bakal sampai 50%, sehingga Pilpres 2024 bisa berlangsung 2 putaran.
“Kami meminta [ke MK] agar mendiskualifikasi paslon 02 dan memutuskan pemungutan suara ulang antara paslon 01 dan 03,” ujar Ari pada kumparan di kantornya di Jaksel, Rabu (13/3).
Wakil Direktur Eksekutif Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Finsensius Mendrofa, menyatakan akan menguraikan argumen kecurangan TSM, mulai dari perusakan alat peraga kampanye (APK) paslon 03, gelontoran bansos dan politik uang untuk pemenangan Prabowo-Gibran, sampai intimidasi dan mobilisasi kades.
Menurut Tim Deputi Hukum TPN, apabila faktor-faktor tersebut tak menodai jalannya pemilu, Ganjar-Mahfud setidaknya akan melaju ke putaran kedua.
“Kalau lihat berbagai video yang beredar, ada salah seorang menteri yang bahkan mencoba mempersonalisasikan bansos dengan Presiden Jokowi. Ini mestinya tidak boleh terjadi. Korelasi bansos dengan [hasil] pemilu ini akan coba kami sampaikan di sidang MK,” jelas Finsensius pada kumparan di kantornya, Jaksel, Kamis (14/3).
Sebetulnya, argumen kualitatif dari kedua kubu pernah didalilkan Prabowo terhadap Jokowi selaku incumbent saat menggugat hasil pada Pilpres 2019. Kini, dalil serupa ditujukan lagi kepada Jokowi lantaran anaknya ikut kontestasi pilpres.
Pada 2019 itu, MK menolak gugatan Prabowo karena dinilai bersifat asumtif. Bukti-bukti yang diajukan pun dianggap kurang kuat lantaran dari kliping berita. Oleh sebab itu, jika mau berhasil, kubu Anies dan Ganjar kini harus mampu mengajukan bukti yang jauh lebih kuat.
Contohnya, ujar Charles, terkait dalil mobilisasi kades. Perlu ada bukti bahwa benar ada mobilisasi kades dengan janji perpanjangan masa jabatan menjadi 8 tahun dalam revisi UU Desa. Jika dalil tersebut bisa dibuktikan, lanjut Charles, maka unsur “terstruktur”, yakni terlibatnya penyelenggara negara, sudah terpenuhi.
“Kemudian semisal mau buktikan pembagian bansos menyalahi aturan, harus didalilkan berdasarkan UU atau Perpres terkait [yang mengatur bahwa] penyaluran bansos harusnya seperti ini sehingga praktik penyaluran bansos [jelang pemilu] jelas melanggar aturan ini,” ucap Charles.
Maruarar Siahaan secara terpisah menyatakan, gelontoran bansos jelang pemilu bisa digunakan untuk membuktikan dalil kecurangan secara sistematis dan masif karena pembagian bansos berdampak masif terhadap tingkat keterpilihan paslon tertentu.
Korelasi antara bansos dan keterpilihan paslon itu terbentuk karena tingkat kemiskinan masyarakat yang masih tinggi, sedangkan tingkat pendidikannya rendah (70% penduduk Indonesia merupakan lulusan SMP ke bawah). Argumen tersebut bisa diperkuat dengan pendapat Perludem dan Bawaslu yang pernah katakan bahwa pemberian bansos untuk kepentingan pemilu merupakan bentuk politik uang.
“Kedua kelompok ini (masyarakat miskin dan berpendidikan rendah) pasti terpengaruh oleh sistem yang masif seperti ini (bansos),” ujar Maruarar.
Demi memperkuat dalil tersebut, ia menyarankan kubu paslon yang ajukan gugatan untuk meminta kesaksian Menkeu Sri Mulyani dan Mensos Tri Rismaharini.
Maruarar dan Charles berpendapat, sepanjang dalil-dalil kualitatif seperti mobilisasi kades maupun politik uang dapat dibuktikan, bukan tak mungkin hasil Pilpres 2024 bisa dibatalkan, bahkan paslon tertentu didiskualifikasi. Pilkada Jawa Timur 2008 dan Pilkada Kotawaringin Barat 2010, bisa menjadi rujukan.
Dalam putusan Pilgub Jatim nomor 41/PHPU.D-VI/2008, paslon Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) mampu membuktikan adanya mobilisasi kades yang dilakukan paslon Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) di putaran kedua. Bukti tersebut berupa surat pernyataan dari 23 kades di Kecamatan Klampis, Bangkalan, Madura, untuk memenangkan Karsa.
Ada pula bukti kontrak program antara cagub Soekarwo dengan Moch. Moezamil selaku Sekjen Asosiasi Kepala Desa Jawa Timur. Isi kontrak tersebut adalah: cagub akan memberi bantuan kepada pemerintah desa, mulai Rp 50 juta sampai Rp 150 juta, sesuai jumlah pemilih yang memilih Karsa.
KaJi juga mampu menguatkan dalilnya dengan berbagai rekaman perbincangan telepon. Hasilnya, MK membatalkan hasil rekapitulasi di 3 kabupaten di Madura, dan memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan ulang di wilayah-wilayah tersebut.
Sementara dalam gugatan Pilkada Kotawaringin Barat 2010, MK mengkonfirmasi adanya politik uang dan pembagian sembako sebesar Rp 150 ribu-Rp 200 ribu yang dilakukan oleh paslon Sugianto-Eko Soemarno dari kesaksian 68 orang. Politik uang tersebut ada yang disamarkan dalam bentuk honor relawan.
MK juga menemukan adanya ancaman maupun intimidasi terhadap pemilih dan beberapa kepala desa. Mereka didesak untuk memilih paslon Sugianto-Eko. Ada 19 warga dan 9 kades yang bersaksi atas dalil intimidasi tersebut.
Bukti-bukti itu lantas membuat MK terbitkan putusan nomor 45/PHPU.D-VIII/2010 yang membatalkan kemenangan Sugianto-Eko, mendiskualifikasi mereka, dan menetapkan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto sebagai pemenang.
“Jadi kita mau lihat progresivitas MK dalam mengawal prinsip demokrasi substansial. Tahun 2008 saja MK bisa lakukan itu, kenapa sekarang tidak?” ujar Charles.
Maruarar, Hakim MK 2003-2008, menegaskan, “Proses yang buruk, melanggar UU, pasti hasilnya tidak jujur. Ini argumen yang kami pakai tahun 2008 dalam [memutus] Pilgub Jatim; saya kebetulan ketua panelnya ketika itu.”
Rencana Kesaksian Kapolda
Demi membuktikan dalil kecurangan di Pilpres, khususnya faktor intimidasi, Tim Hukum TPN berencana menghadirkan kapolda sebagai saksi di MK. Namun Wakil Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud Henry Yosodiningrat belum menyebut siapa kapolda yang ia maksud.
Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran untuk Gugatan Pilpres, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan tak masalah bila ada kapolda jadi saksi, sebab kapolda itu hanya membawahi satu provinsi sehingga kesaksiannya tidak bisa membatalkan hasil pemilu di provinsi lain.
Namun Charles dan Maruarar memiliki pandangan berbeda. Menurut Charles, bila kapolda tersebut dapat “membuktikan bahwa dia selaku kapolda pernah mendapat instruksi bersama kapolda-kapolda lainnya [untuk menangkan paslon tertentu], atau ada telegram [berisi arahan] yang dia terima, itu bobot kesaksiannya beda, bisa memenuhi unsur terstruktur.”
Maruarar menegaskan, “Secara kualitatif, apa yang akan dibuktikan mencakup suatu perintah yang bisa diasumsikan, dipedomani, dan berlaku untuk seluruh jajaran, meskipun hanya satu orang yang berani menyatakan.”
Sasar Akar Masalah: Keabsahan Pencalonan Gibran
Tim Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud juga akan menyasar keabsahan pencalonan Gibran sebagai cawapres. Kubu 03 menguatkan argumen bahwa sumber dari segala kecurangan di Pilpres adalah putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat batas usia capres/cawapres sehingga membuat Gibran bisa ikut kontestasi Pilpres 2024.
Putusan itu kemudian dinyatakan cacat etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan Hakim MK Anwar Usman—yang juga paman Gibran—dicopot dari jabatannya selaku Ketua MK.
“Ini fakta yang tidak bisa ditutupi bahwa sumber dari segala sumber masalah itu putusan 90 MK. Lalu KPU tanpa menerbitkan [revisi] PKPU menerima pendaftaran paslon Prabowo-Gibran, dan kemudian DKPP menyatakan [Ketua KPU dan 6 komisioner lainnya] diputus melanggar kode etik dan disanksi peringatan keras terakhir,” jelas Finsensius dari Deputi Hukum TPN.
Charles berpendapat, upaya menyasar syarat formal pencalonan dalam gugatan kubu 01 dan 03 ke MK sah-sah saja. Argumen tersebut bakal menguji MK apakah berani mengkaji ulang putusannya yang meloloskan Gibran.
“[Argumen] ini mengajak MK untuk ‘menebus dosa’: mau nggak di ajang gugatan Pilpres ini mereka memperbaiki Putusan 90. Ini berat dan butuh keberanian luar biasa. Gempa politik bisa muncul. Tapi itu boleh-boleh saja didalilkan karena pada akhirnya yang memengaruhi putusan adalah keyakinan hakim,” papar Charles.
Argumen yang menyasar keabsahan peserta pemilu pernah beberapa kali digugat dan dikabulkan MK, seperti gugatan Pilkada Bengkulu Selatan 2008 yang pernah ditangani Maruarar. Dalam perkara bernomor 57/PHPU.D-VI/2008 itu, paslon Reskan Effendi-Rohidin Mersyah mempermasalahkan keabsahan calon bupati Dirwan Mahmud yang memenangi kontestasi.
Dirwan ternyata pernah menjalani hukuman 7 tahun penjara atas kasus pembunuhan. Padahal dalam syarat paslon sesuai UU Pilkada saat itu, calon bupati tidak boleh dihukum penjara di atas 5 tahun. Alhasil MK membatalkan kemenangan Dirwan dan pasangannya, Hartawan; mendiskualifikasi mereka; dan memerintahkan pemilu ulang.
Gugatan yang mempersoalkan syarat pencalonan dan berakibat pada diskualifikasi paslon juga pernah terjadi di Pilkada Sabu Raijua 2020. Ketika itu, MK membatalkan kemenangan dan mendiskualifikasi paslon Orient Patriot Riwu Kore-Thobias Uly, sebab Orient ternyata warga negara Amerika Serikat.
Terkait rencana gugatan hasil Pilpres 2024 kini, ujar Maruarar, putusan MK nomor 90 dan lolosnya Gibran sebagai cawapres telah terbukti melanggar etik. Dan produk hukum yang melanggar etik termasuk salah satu unsur perbuatan melawan hukum.
“Sejak lama Indonesia telah mengambil alih yurisprudensi perbuatan melawan hukum (kasus Lindenbaum vs Cohen) dari Belanda, di mana tahun 1919 Mahkamah Agung Belanda menetapkan bahwa pelanggaran etik termasuk salah satu kategori perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad),” kata Maruarar.
Sesuai Pasal 17 ayat 6 UU Kekuasaan Kehakiman pula, kata Maruarar, seharusnya Anwar Usman mundur dari sidang putusan syarat usia capres/cawapres karena ia punya konflik kepentingan dengan perkara tersebut. Dan karena Anwar tak mundur, Maruarar menganggap putusan MK 90 tidak sah alias cacat.
“Putusan yang cacat tidak boleh dieksekusi, tapi tetap dilaksanakan oleh KPU. Salah satu faktornya adalah karena Gibran anak presiden, dan presiden mengatakan boleh cawe-cawe soal pemilu. Jadi lengkap sebenarnya bukti-bukti itu,” kata Maruarar.
Menguji Yang Mulia Hakim MK
Dari segala argumen atau dalil yang diajukan nanti, pada akhirnya semua akan berpulang ke hakim MK. Finsensius menegaskan, tim Ganjar-Mahfud menggugat ke MK bukan karena tidak siap kalah, tapi karena itu merupakan mekanisme konstitusional yang disediakan negara.
“Kami menghindari gesekan horizontal yang mengakibatkan chaos di tengah masyarakat,” ucapnya.
Sementara THN AMIN berharap putusan MK bisa menyelamatkan konstitusi dan demokrasi. Direktur Eksekutif THN AMIN, Zuhad Aji Firmantoro, optimistis gugatan mereka akan dikabulkan jika formasi hakim MK sesuai dengan Putusan 90.
Meskipun komposisi hakim pada perkara 90 adalah 5-4, jika dilihat lebih detail, 2 dari 5 hakim, yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic, memiliki pendapat berbeda (concurring opinion). Keduanya mengubah syarat usia capres/cawapres dengan klausul berpengalaman sebagai gubernur, bukan wali kota.
Nantinya, dalam gugatan sengketa Pilpres, Anwar Usman—yang termasuk dalam komposisi 5 hakim—tak diperkenankan bersidang imbas putusan MKMK. Dan hakim MK pengganti Wahiduddin Adams yang ketika itu menolak putusan 90 ialah Arsul Sani yang sebelumnya menjabat anggota DPR dari Fraksi PPP.
“Kalau logika berpikirnya para hakim MK konsisten, maka suara untuk tidak mengikutsertakan cawapres 02 yang berlatar belakang wali kota, ya bisa menang. Lalu karena satu hakim pensiun digantikan Arsul Sani, secara hitungan PPP sebagai representasi paslon 03, ya [menguntungkan],” jelas Zuhad.
Harapan pun dilambungkan Maruarar. Ia yakin pada “beberapa hakim yang memiliki integritas tinggi, yang dissenting opinion waktu itu (putusan 90), ditambah 2 hakim pengganti yang baru.”
“Kalaupun misalnya nanti 8 hakim memutus dan masing-masing kubu ada 4 hakim, tetapi Ketua MK (Suhartoyo)—saya harap—berada di kubu yang membela konstitusi, itu memiliki nilai tambah. Bobot suaranya satu plus,” tutup Maruarar.
Sumber: kumparan
Foto: Capres 2024/Net
Mampukah Argumen Anies-Ganjar di MK Batalkan Kemenangan Prabowo-Gibran?
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar