Ketua MK Suhartoyo Berkepribadian Ganda, Musuh dalam Selimut, atau Memiliki Kelemahan yang Takut Diungkap?
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo terus menuai sorotan pasca-MK memutuskan menolak seluruh permohonan sengketa Pilpres 2024 yang diajukan pasangan capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Karena sikap MK yang akhirnya menolak gugatan sengketa pilpres itu dinilai tidak lepas dari adanya perubahan sikap Suhartoyo, yang juga sekaligus sebagai Ketua Sidang Pleno terkait gugatan hasil Pilpres 2024 tersebut.
“Itu kan misteri. Apakah dia berkepribadian ganda, ataukah dia musuh dalam selimut, atau apakah dia ada sesuatu yang menjadi kelemahannya. Kita tidak tahu. Tapi shift (pergeseran) ucapan dan perbuatan dari Suhartoyo itu berbeda 180 derajat dengan sebelum keputusan,” jelas Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Prof. Ahmad Humam Hamid kepada KBA News Rabu, 24 April 2024.
Sepanjang persidangan sengketa hasil Pilpres 2024 itu, lanjut Prof. Humam, Suhartoyo jelas terlihat memberikan ruang untuk mengungkap berbagai dugaan kecurangan yang menjadi dalil para pemohon.
Seperti pengungkapan politisasi bantuan sosial (bansos) dengan membuat terobosan memanggil empat menteri. Terlebih Suhartoyo juga merupakan salah satu hakim yang melakukan dissenting opinion atau menolak mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait uji materi UU Pemilu terkait syarat capres-cawapres yang menjadi celah Gibran Rakabuming Raka bisa menjadi cawapres.
“Kelebihan Suhartoyo itu adalah membuka pintu besar untuk penggalian berbagai dugaan kecurangan mulai dari putusan MK nomor 90 sampai kepada penggunaan bansos. Orang berharap itulah yang akan menjadi penanda bahwa dia akan bersatu dengan (Hakim MK) Saldi Isra,” lanjut sosiolog yang juga pemerhati politik ini.
Prof. Humam sendiri memuji tiga hakim MK, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih yang melakukan dissenting opinion terkait putusan MK yang menolak gugatan sengketa hasil Pilpres 2024 tersebut. Ketiga hakim ini menilai dalil para pemohon tentang politisasi bansos dan ketidaknetralan aparat misalnya beralasan hukum sehingga mestinya digelar pilpres ulang di beberapa provinsi.
Menurutnya, sikap ketiga hakim itu sesuai dengan penilaian dan aspirasi publik. Dia pun memuji ketiga hakim yang kebetulan semuanya bergelar profesor itu masih menunjukkan diri sebagai seorang intelektual dan akademisi.
“Ini juga gambaran bahwa nurani konstitusi itu masih tersemai dengan baik di kalangan universitas. Itu adalah ekspresi kepedulian kampus dan intelektual yang tersambung dengan nurani publik. Walaupun memang tidak semua publik,” katanya.
Meski demikian, terlepas dari itu semua, dia mengajak seluruh pihak untuk menghormati putusan MK tersebut. Makanya dia pun memuji sikap pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud yang langsung mengakui keputusan MK yang mengukuhkan kemenangan Prabowo-Gibran.
“Dan saya sangat sepakat dengan sikap yang ditempuh oleh pasangan 01 dan 03 untuk bonding kepada putusan MK, betapapun jeleknya. Dan itu adalah sebuah ekspresi keberadaban,” tandas ilmuan jebolan USK (S1), Universitas Ateneo de Manila, Filipina (S2), dan University of Kansas, Amerika Serikat (S3) ini.
Sebelumnya, salah seorang tim hukum Anies-Muhaimin, Bambang Widjojanto, juga menyoroti sikap Suhartoyo tersebut. Menurutnya, seandainya Suhartoyo konsisten dengan sikapnya yang melakukan dissenting opinion terkait putusan MK nomor 90, maka gugatan sengketa hasil Pilpres 2024 akan dikabulkan.
“Salah satu dalil yang kami ajukan itu berkaitan dengan apa yang disebut dengan prosedur pendaftaran. Bila saja dissenting opinion dalam putusan 90 masih dijadikan basis dan dasar untuk memutus permohonan sengketa pilpres ini, dipastikan permohonan dari 01 dan 03 akan dikabulkan. Karena posisinya kan jadi 4-4,” katanya.
“Jadi ada pergeseran (sikap Suhartoyo). Apakah pergeseran-pergeseran (sikap) ini karena memang value atau tekanan, saya enggak bisa memastikan,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui dalam uji materi UU Pemilu terkait syarat capres-cawapres sebelumnya, Suhartoyo bersama Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiduddin Adams melakukan dissenting opinion.
Sementara Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh memilih concurring opinion (alasan berbeda). Keduanya berpendapat gugatan terkait syarat usia capres dikabulkan dengan syarat berpengalaman sebagai gubernur, yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
Meski demikian, kedua hakim MK itu digabungkan ke kelompok hakim yang mengabulkan gugatan tersebut bersama tiga hakim lainnya, Anwar Usman, Guntur Hamzah, Manahan Sitompul. Sehingga akhirnya Gibran yang sebatas menjadi Wali Kota Solo bisa menjadi cawapres meskipun usianya belum mencapai 40 tahun.
Sedangkan dalam menangani sengketa hasil Pilpres 2024 ini hanya delapan hakim. Yaitu, Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani.
Anwar Usman karena divonis melanggar etik berat terkait putusan MK nomor 90 diberi sanksi dengan tidak bisa ikut menangani gugatan terkait pilpres selain juga dicopot dari Ketua MK. Sementara Ridwan dan Arsul menjadi hakim MK masing-masing menggantikan Manahan dan Wahiduddin yang telah memasuki masa pensiun.
Dengan delapan hakim MK yang menangani sidang sengketa Pilpres 2024, seandainya posisi hakim terbelah 4:4, di posisi mana Suhartoyo berpihak yang akan menjadi keputusan.
“Di Pasal 45 UU MK ayat 8 itu dikatakan, kalau dalam hal suara terbanyak tidak bisa diambil keputusan, katakanlah imbang 4:4, maka di mana suara ketua sidang pleno itulah keputusan MK,” ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono sebelumnya.
Sumber: kbanews
Foto: Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Prof. Ahmad Humam Hamid
Ketua MK Suhartoyo Berkepribadian Ganda, Musuh dalam Selimut, atau Memiliki Kelemahan yang Takut Diungkap?
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar