Obituari Demokrasi Di Mahkamah Konstitusi
Usia demokrasi tentu tidaklah muda seiring dengan perkembangan ummat manusia, sejak dari kehidupan para filsuf di Yunani klasik. Diskursus tentang demokrasi sudah menjadi perbincangan diberbagai forum atau academos-academos saat itu. Dari awal sudah muncul paradoks tentang demokrasi, seperti Socrates sekitar tahun 355 SM sudah getol membincangkan tentang demokrasi---walau beberapa dekade berikutnya justru ia membantahnya dengan satu analogi kalau demokrasi itu adalah perihal suara terbanyak (majority vote).
Analogi yang disampaikan Socrates adalah ; “ketika ditengah samudera yang luas, nahkoda kapal tiba-tiba meninggal. Dan harus ada penggantinya untuk melanjutkan pelayaran. Karena berpedoman pada suara terbanyak, maka dipilihlah satu diantara yang lain (apakah ABK atau penumpang) dalam kapal. Maka diputuskanlah satu diantaranya, namun yang diputuskan adalah seseorang yang tidak memiliki kemampuan dan skill sama sekali tentang kenahkodaan”. Resikonya adalah kapal bisa saja karam atau tenggelam ditengah samudera. Itulah cara Socrates mengkritik pikiran tentang demokrasi.
Soal Majorirty Vote disisi yang lain memiliki nilai baik, ketika suara terbanyak itu memiliki kekuatan suara terhadap orang yang dipilihnya dengan memandang aspek-aspek kapabilitas, integritas serta independensi dalam menjalankan tugasnya. Disisi berikutnya suara terbanyak juga memiliki sisi buruk---demi kroni, kolega maka rentan terjadi persekongkolan dalam politik untuk menunjuk seseorang yang mungkin “bisa melindungi atau diajak berkompromi” dalam kejahatan politik. Seperti politik sandera yang saat ini dipraktekkan dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.
Dalam sejarah politik Indonesia memang tidak mudah untuk sampai pada demokrasi substansial. Jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945, sistem feodalisme menjadi fenomena dalam tata dan sistem pemerintahan karena dipengaruhi oleh budaya dan kepemimpjan raja-raja di nusantara. Perjalanan berikutnya, Indonesia memasuki berbagai tekanan politik dari kolonialisme, sehingga perangkat dalam sistem bernegara pun mengalami perubahan, seperti wacana presiden seumur hidup, perombakan kabinet, hingga pada akhirnya memasuki demokrasi Pancasila.
Sebagai tuntutan konstitusional dalam demokrasi, maka proses politik pun digelar melalui proses pemilihan umum. Proses pemilu dari masa orde lama, orde baru, orde refromasi hingga saat ini tentu memiliki perbedaan yang signifikan. Mulai perubahan undang-undang tentang pemilihan, amandemen UUD 1945, hingga perubahan dalam menentukan sistem pemilu dalam hal perolehan suara. Perubahan undang-undang dalam negara kesatuan RI tentu dimaksudkan kesesuaian dengan kondisi dan perkembangan masyarakat dengan memandang berbagai variabel pendukungnya. Perubahan undang-undang Pemilu misalnya dimaksudkan untuk penataan pola kepemiluan yang lebih demokratis, jujur, adil dan transparan.
Obituari Demokrasi “Pengumuman kematiannya”
Makna obituari biasanya selalu disematkan kepada seseorang bangsawan yang meninggal dunia, jejak kehidupannya hingga pada pemakamannya. Diumumkan agar khalayak tahu tentang kebangsawanannya. Tetapi kali ini penulis tidak sedang menyematkan pada pemakaman seseorang, tetapi tulisan ini terkhusus tentang demokrasi yang akhir-akhir di bonsai (dipangkas), bahkan sedang dalam ancaman pembunuhan.
Demokrasi adalah instrumen penting bukan hanya dalam kehidupan bernegara tetapi juga dalam tata kelolah dalam kehidupan bermasyarakat. Demokrasi pilihan terberat dalam sistem bernegara setelah melalui perkelahian panjang antara sosialisme di Rusia dan Kapitalisme di Barat dalam hal ini Amerika. Pertentangan dua kutub ideologi menjadi basis perkembangan ideologi dunia (baca ; George Orwell, dalam studi ideologi-ideologi dunia). Sosialisme yang mengedepankan lahirnya egalitarian (masyarakat persamaan tanpa kelas sosial), dimana kekuasaan sumber daya alam negara diperuntukkan untuk kepentingan sebesar-besarnya kepada warga negara. Sementara kapitalisme lebih mengarahkan pada penguasaan pada uang dan pasar. Penghargaan pada pasar dan uang menjadi ciri utama dari ideologi kapitalisme.
Francis Fukuyama dalam bukunya “The End Of History, Spirit Kapitalisme” adalah penanda kemenangan kapitalisme atas sosialisme di beberapa negara dibelahan dunia lain. Spirit kapitalisme berhasil menderet kepentingan kaum borjuasi (pemilik modal) dalam semua segmentasi kehidupan manusia bukan hanya soal ekonomi dan bisnis tetapi juga dalam urusan politik. Sehingga patut dicurigai kalau spirit kapitalisme inilah yang kemudian memproduksi kaum oligarkhis dalam kekuasaan politik bernegara. Jeffrey Winters dalam bukunya “Oligarki”, dengan tegas mengatakan bahwa kalau kelompok pemilik modal (kaum borjuasi) telah mendapat legacy dalam panggung politik, maka besar kemungkinan demokrasi akan mengalami distorsi. Kenapa?, sebab uang akan memberi pengaruh pada kekuasaan dan politik.
Secara global misalnya perang diciptakan seperti perang Afganistan, Irak Iran, Lybia, Lebanon, Kuwait, Ukraina Rusia, Israel Iran-semua itu tak lepas dari skenario politik global dengan membangun ketergantungan secara ekonomi dan politik bagi negara yang sedang berkonflik, sehingga persenjataan dan pasokan bahan makanan melahirkan interdependensi terhadap negara-negara yang berkonflik. Dari situlah kaum oligarki itu mengikat, dan ini bisa dibilang sebagai “New Colonialisme”.
Terlepas dari pengaruh ekonomi global, Indonesia juga mengalami hal serupa, sekalipun kolonialisme baru ini bukan dalam hal perang atau konflik dengan negara lain, tetapi dengan hutang luar negeri yang sudah mencapai 8000 trilyun tentu menjadi ancaman bagi Indonesia sebagai negara yang punya kedaulatan. Sehingga proses politik pun patut dicurigai ada intervensi dari kekuatan dari luar. Kalau hal ini terjadi maka bisa dipastikan pemimpin negara (presiden) akan menjadi boneka sekaligus badut dari penguasa kapitalisme.
Nasib Demokrasi di Mahkamah Konstitusi
Usia demokrasi jauh lebih tua dibandingkan usia MK di Indonesia yang lahir 13 Agustus 2003 tepatnya 21 tahun yang lalu. Kelahirnan Mahkamah Konstitusi sangat diilhami oleh penegakan hukum di Indonesia, termasuk tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa hukum, termasuk dalam hal ini sengketa pemilihan umum. Sengketa selalu berkenaan dengan adanya indikasi kecurangan dalam pemilihan umum---sehingga muncullah pemohon dan termohon dalam gugatan ke MK. Penegakan hukum di Indonesia diharapkan berkeadilan sejalan dengan tuntutan dan cita-cita reformasi 98 yakni supremasi hukum (Low Supremation).
Sejalan dengan perkembangan politik Indonesia dengan berbagai praktek yang membersaminya bukan tidak mungkin supremasi hukum menjadi tonggak terakhir dalam pencegahan korupsi dan kejahatan politik lainnya. Pemilu 2014, 2019 dan 2024 memiliki dinamika yang berbeda. Sejak putusan MK nomor 90/2023 yang meloloskan batas umur cawapres yang ber-aviliasi kepada putera sulung Jokowi menuai prokontra di masyarakat. Termasuk para pakar hukum tata negara memandang itu cacat etika dan problematik (ucapan Prof. Yusril Ihza Mahendra), yang di sengketa Pilpres 2024 menjadi Tim Pengacara dari Paslon Prabowo-Gibran. Tetapi bagi YIM tetap sah. Ini anomali, cacat dan problematik tetapi tetap sah.
Tragedi keputusan MK nomor 90/2023 ini terus menjadi perbincangan menarik diberbagai kalangan—dan pada akhirnya berimbas kepada Jokowi sebagai presiden yang dianggap terlibat dalam proses melegalkan Gibran sebagai cawapres yang mendampingi Prabowo. 14 Februari 2024 (hari Valentine day), pemilu digelar, dan tanggal 20 Maret KPU pun mengumumkan pemenang pemilu berdasarkan suara yang ada. Pasca pengumuman KPU iyu kemudian membuak ruang bagi paslon untuk melakukan gugatan ke MK, dan bahkan paslon 03 melalui Ganjar Pranowo mendorong ke Hak Angket di DPR sebagai jalur perjuangan lewat politik.
MK adalah sarana terakhir bagi penegakan hukum dan konstitusi dalam bernegara. MK sebagian kalangan akan menjadi garda terdepan untuk mengembalikan marwah hukum di Indonesia setelah pencederaan pada putusan sebelumnya (putusan 90/2023).
Sengketa pun berlangsung di gedung ala arsitektur Yunani itu, pertanyaan mendasar akankah MK berani mengambil keputusan yang penuh resiko?, atau minimal berani keluar dari intervensi kekuasaan?, sepertinya sulit bagi MK untuk tetap berdiri kokoh pada kalimat “mulia” yang disematkan padanya. Dari 8 Hakim Konstitusi 3 diantaranya disenting opinion (pendapat berbeda) seperti Prof. Saldi Isra, Prof. Enny Nurbaningsih dan Prof. Arief Hidayat, sementara 5 Hakim lainnya menyatakan menolak semua gugatan dari pemohon baik dari 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, maupun 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Kelima hakim tersebut menyatakan bahwa tidak terbukti semua gugatan yang diajukan oleh pemohon.
Membaca kembali pikiran Daniel Zilbatt dalam “How Democracie Die” bagaimana demokrasi mati?, itu sangat dipengaruhi oleh kekuasaan yang despotik. Campur tangan kekuasaan terhadap proses politik menjadi ancaman eksistensi keberlangsungan demokrasi. Dan berbagai sumber dan fakta kalau pemilu 2024 adalah cara “haram memperoleh kekuasaan” dengan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Dititik inilah hukum mati dipenggal oleh penegaknya.
22 April 2024 pada akhirnya kita menyaksikan sebuah tragedi politik dimana “Hukum dan demokrasi” dibunuh dua kali berturut-turut di gedung yang sama dan ditempat yang sama yakni gedung Mahkamah konstitusi. The end of democracy.
_________________________
Semoga bermanfaat.
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS (Lembaga Kaji Isu-Isu Strategis)
Penulis Buku ; Politik Tanpa Identitas (2017), Obituari Demokrasi (2019), Elegi Demokrasi (2023), Catatan Cacat-an Demokrasi (2024)
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Obituari Demokrasi Di Mahkamah Konstitusi
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar