Buruh Telah Dibohongi (Bagian II)
(LANJUTAN dari Bagian I)
Pengkhianatan Serikat Buruh-isme
Serikat Buruh-isme adalah menyerah pada kekacungan. Serikat-serikat Buruh tidak mempertanyakan mengapa kita harus menjadi budaknya upah, namun tujuan utama perjuangan mereka adalah demi meningkatkan upah para pekerja. Serikat Buruh tidak akan pernah menyelesaikan masalah pengangguran, karena mereka telah pasrah menerima tegaknya sistem perbankan yang telah mengutuk mereka jadi pekerja yang tidak akan pernah bisa berwirausaha.
Jadi, bukannya berjuang demi khalayak kelas pekerja, Serikat Buruh-isme malah menjamin bahwa akan selalu tersedia khalayak kelas pekerja. Terpujilah Serikat-serikat Buruh, berkat perjuangan mereka kini orang-orang tidak lagi bekerja 12 jam sehari demi upah yang memprihatinkan (setidaknya begitulah nampaknya), walaupun yang sebenarnya dicapai oleh Serikat Buruh hanyalah kacung yang sedikit lebih ceria. Dengan melakukan itu, Serikat Buruh mencegah agar pokok masalah sebenarnya tidak digugat. Serikat Buruh-isme adalah pemberontakan para budak melawan para Majikan, seraya mengakui bahwa mereka tidak bisa menjadi Majikan. Andaikan pilihan semata wayang hanyalah pengangguran, tentu saja mempunyai pekerjaan menjadi penting. Namun hal ini tidak akan membuat semua orang ceria selamanya
Serikat Buruh-isme sama dengan Marxisme, tidak mengecam riba. Mereka mengabaikan kata ini. Berkat mereka sistem perbankan jadi lestari
Untuk menghilangkan sifat penghambaan kita pada dialektika menjadi pekerja atau menjadi penganggur, kita harus membasmi riba, artinya sistem perbankan harus dihapuskan. Selama kita masih bersama sistem perbankan, kita tak akan bisa mengelak dari kenyataan bahwa kita bekerja untuk orang lain, dan orang lain itu adalah: para bankir yang memiliki segalanya. Para bankir itu siap untuk menghukum para kacungnya dengan ancaman kehilangan pekerjaan dan hidup bergantung pada belas kasih negara. Ketakutan psikologis ini menyapu bersih kesempatan untuk berpikir bebas. Akhirnya yang ada adalah para kacung yang jauh lebih picik dibanding para majikannya. Mereka telah membuat khalayak takut pada perubahan sekecil apapun, karena takut kehilangan sesuap nasi yang telah dijanjikan.
Kita dicekoki bahwa inilah yang "praktis" itu. Walhasil, tak heran jika kita lihat betapa gigihnya para kacung membela sistem perbankan, walaupun mereka adalah salah seorang dari 90.000 warga (di Inggris) yang setiap tahun harus kehilangan rumahnya, gara-gara tidak bisa membayar jahatnya bunga cicilan. Perbankan sudah menjadi "agama" yang ortodoks, bahkan sudah menjadi sebuah tabu (pamali). Untung saja masih ada orang-orang yang tidak percaya pada “agama” ini dan ingin berbuat sesuatu untuk mengatasinya.
Lantas, Bagaimana caranya kita mencampakkan sistem perbankan?
Pertama, mari kita pahami dahulu bagaimana cara kerja bunga bank. Bank-bank itu berfungsi seolah penyebar ulang uang yang berasal dari simpanan kita. Mereka mendapatkan uang dari kita semua, lalu meminjamkannya pada orang lain. Mereka tidak meminjamkan uang tersebut kepada sesiapa yang paling jujur, atau kepada proyek usaha mana yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Mereka tak peduli hal itu. Bank-bank hanya akan meminjamkan uang kepada sesiapa yang memiliki agunan yang memadai, tak peduli apapun tujuan usahanya. Boleh jadi usaha itu sangat bejat, namun asalkan anda punya agunan maka anda akan mendapatkan pinjaman.
Sebaliknya, walau seseorang memiliki proyek yang sangat menjanjikan, bisa jadi tidak akan dapat pinjaman karena dia tidak mempunyai agunan yang memadai. Jelas ini bukanlah sistem terbaik bagi masyarakat. Sistem terbaik dan paling adil bagi masyarakat adalah, jika sistem itu bisa menjamin bahwa modal milik masyarakat akan ditanamkan pada proyek-proyek terbaik, terlepas dari apakah si pengusaha itu kaya atau tidak. Dikatakan pada para pekerja: Kamu tidak boleh mengelola bisnis-bisnis besar, karena terus terang saja siapa sih kamu? Kamu tidak punya uang. Kamu hanya boleh bekerja demi upah.
Maka tak heran jika berduyun-duyun pekerja lebih sungguh-sungguh membina hubungan suci mereka dengan bank, ketimbang hubungan mereka dengan agamanya, bahkan biasanya banklah yang menjadi keyakinan pegangan mereka. Adapun sistem adil yang disebutkan barusan, hanya bisa dicapai dengan penggunaan tertib kontrak gaya baru, yaitu kontrak-kontrak yang mengaitkan keuntungan bagi hasil investasi kepada kegiatan usaha itu sendiri, dan bukan kepada bunga.
Ketika bank-bank belum berdiri, kontrak-kontrak yang berlaku dalam perdagangan adalah kontrak-kontrak dari commenda dan perkongsian.
Commenda adalah kontrak peminjaman uang untuk usaha, dengan demikian akan ada untung atau rugi. Cara ini bertentangan dengan kontrak ribawi, di mana bank meminjamkan uang tanpa peduli kemungkinan kerugian usaha, bank hanya mau untungnya. Dalam kontrak ribawi, anda tidak menanam modal demi kepentingan usaha, melainkan demi keuntungan dari kontraknya saja. Bunga atas pinjaman sama dengan menyewakan uang, walaupun pada uang tidak ada "benda" yang bisa disewa. Bunga adalah mengeruk untung tanpa memberi manfaat apapun.
Bentuk kontrak lainnya adalah perkongsian. Intisari perkongsian adalah pengalihan tanggung jawab atas barang/jasa kepada orang lain, dan orang lain pun melakukan hal yang sama kepada anda. Dalam pengalihan barang/jasa dari orang ke orang ini, kita akan menemukan dasar-dasar dalil yang revolusioner: membangun usaha tanpa perlu modal keuangan, artinya melakukan usaha tanpa harus memiliki modal atau memiliki usahanya. Ini adalah sesuatu yang tidak terpikirkan oleh manusia modern.
Menakjubkan! Dahulu usaha-usaha biasa berlangsung tanpa bergantung pada modal. Perkara ini tidak ada kaitannya dengan sistem Bursa Saham yang busuk itu, melainkan berkaitan dengan pembentukan guilds sebagai badan-badan pemodal mandiri non formal, yang kini sudah dipunahkan oleh bank-bank.
Kabar barunya adalah bahwa untuk menjadi pengusaha, anda tidak perlu jadi pemilik barang/jasa. Anda tidak memerlukan bank, yang anda perlukan adalah orang. Ini kabar buruk bagi bank-bank. Sistem sedemikian dapat berfungsi bila di antara kita ada sifat saling percaya. Dan sifat inilah yang menyebabkan kita dapat mandiri, hingga tak perlu bekerja demi upah. Sifat ini pula yang menjadi syarat hidupnya sistem commenda dan perkongsian. Dan semua ini adalah dasar-dasar bagi tegaknya pembaharuan dunia.
Bagaimanakah cara bank-bank menghapus sistem kontrak commenda, dan menggantinya dengan pinjaman berbunga? Dan bagaimana pula bank-bank dapat menjelmakan orang-orang yang bersyarikat dalam perkongsian menjadi orang-orang pengais upah?
Bank-bank menciptakan barang baru. Mereka ciptakan sistem uang kertas. Bahkan perbankanlah sistem uang kertas. Pada awalnya, kemampuan sistem ini cukup menakjubkan. Bank-bank dapat menarik 1000 pound emas dan kemudian meminjamkan 20 kali lipatnya; yaitu 20.000 pound dalam bentuk kertas, artinya menciptakan kredit dari nihil.
Pada masa itu, bank-bank (yang semuanya dikuasai oleh para Yahudi) diundang ke mana-mana di Eropa, karena mereka bisa mendatangkan uang dari nihil. Pada awalnya masyarakat terpesona, sebab mendadak di kota ada perputaran uang yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Usaha-usaha baru pun bermunculan di mana-mana. Bahkan bank menawarkan kertas-kertas yang bertuliskan angka-angka yang bernilai lebih tinggi dari emas yang hendak ditukarkan. 10 pound kertas diobral untuk ditukar 5 pound emas. Tak seorangpun bisa tahan godaan ini.
Namun masalahnya, uang kertas itu bagaikan candu, efek pertamanya hebat lalu anda akan kecanduan. Dan beberapa tahun kemudian, ketika badai telah berlalu, baru khalayak sadar bahwa kini semua uang emas telah dikuasai oleh segelintir orang baru, sedangkan khalayak sisanya tidak lagi punya uang emas. Dan ketika khalayak menyerbu bank untuk menukarkan kembali lembaran-lembaran kertas itu dengan emas, diumumkanlah bahwa nilai uang kertas telah anjlok, bahwa mereka hanya bisa memperoleh emas senilai 1/100 dari nilai tertulis di kertas, atau pilih untuk terus memakai kertas-kertas itu. Khalayak telah ditipu.
Kini, atas nama peradaban, proses yang sama pun sedang berlangsung di Nigeria utara. Mari kita tegaskan: Inflasi yang diakibatkan oleh pemaksaan satu alat tukar (yang dikendalikan oleh bank) adalah perampokan. Dan tidak mengijinkan khalayak untuk memilih alat tukarnya sendiri adalah penipuan.
Tingkat suku bunga perbankan telah membasmi usaha-usaha kecil. Mereka telah mengumpulkan lautan harta (uang-kredit) dan telah merekayasa penyalurannya hanya kepada perusahaan-perusahaan besar milik segelintir orang. Mereka tidak membuka kesempatan secelah pun bagi tumbuhnya perkongsian. Seluruh revolusi teknologi yang katanya demi manusia, telah dibajak oleh sistem perbankan dan dijelmakan jadi monster biadab.
Dahulu ketika Eropa sibuk menjajah, masalah perampokan abadi dengan menggembosi nilai uang kertas ini tidak terlalu mencemaskan khalayak, karena berhasil diredam oleh pasokan besar-besaran aneka jarahan dari koloni-koloni jajahan, sehingga mengesankan bahwa keadaan baik-baik saja. Akan tetapi begitu hutang koloni-koloni di Dunia Ketiga itu mencapai titik jenuhnya, artinya mereka sudah tidak bisa dijarah lagi, maka bahaya laten sistem ribawi itu mulai bangkit menyusupi rumah mereka sendiri. Jadi di masa kini, bukan hanya Dunia Ketiga saja yang hidup tertekan ditimpa hutang abadi, khalayak di Dunia Pertama pun kini sudah hampir gila menghadapinya.
Kita semua telah dijadikan kacung oleh sistem perbankan, karena mereka memusnahkan kesempatan hidup usaha-usaha kecil, dan lebih-lebih lagi, mereka telah menjadikan kita sebagai penghutang-penghutang abadi. Gara-gara Negara berhutang, kita pun terlahir sebagai penghutang (bagaikan “dosa asal”), dan dengan kemampuan mereka memonopoli dan merekayasa kekuatan-kekuatan pasar, mereka menjamin bahwa semua upah yang akan mereka keluarkan untuk anda selama 20 tahun mendatang, akan tersedot kembali kepada mereka (para Majikan) karena anda membayar cicilan rumah yang harganya sudah dipompa berkali lipat. Kalau tidak mau begini, anda bisa menyewa rumah anda dan tak perlu punya apa-apa, cukup para Majikan saja yang memiliki segalanya, dan cukup anda saja yang bekerja.
Tentu ini adalah tawaran yang sangat busuk. Serikat-serikat Buruh tidak akan membela para pekerja. Mereka akan berusaha agar para pekerja masuk kerja terus. Semua partai politik adalah dagelan dan tak akan mampu benar-benar membawa pembaharuan bagi masyarakat, karena semua kebijakan mereka bergantung pada bank. Sebelum kita belajar untuk hidup tanpa bank-bank, kita akan terus menjadi kacung-kacungnya. Kepercayaan adalah ajang di mana kontrak-kontrak commenda dan perkongsian bisa berjaya lagi.
Dan ajang itu hanya bisa digalang dengan menerapkan kontrak-kontrak usaha yang tidak bergantung pada bank, melainkan cukup pada wewenang seseorang yang mandiri dan mewakili khalayak. Dengan kata lain, kita harus menghidupkan kembali bentuk-bentuk wewenang tradisional yang bersifat lokal, misalnya seperti Kepala-kepala marga di Skotlandia, Kepala-kepala suku di Afrika, para Lendakari di lembah negeri Basque, Amir-amir di Arab, atau seperti kepala-kepala keluarga mafia di Sisilia. Kepemimpinan masyarakat yang kini dikuasai perbankan harus direbut kembali.
Jika kita sadar bahwa bank-bank telah menipu kita dan kita ingin terbebas darinya, maka kita harus mengalihkan tumpuan kepercayaan kita kepada pihak lain. Pada akhirnya sang pemimpin sebuah masyarakat harus bisa menjamin penyelenggaraan hukum-hukum dan dipenuhinya kontrak-kontrak, sehingga tumbuhlah saling percaya antar warga. Salah satu contoh ini adalah Mafia. Sayangnya, tinggal merekalah satu-satunya kaum di Eropa yang dapat membuat kontrak di antara mereka, dengan kepemahaman bahwa kontrak itu akan dipenuhi. Karena tak ada seorangpun yang berani berbuat keliru, dan khalayak Mafia punya rasa saling percaya yang sangat tinggi, dengan cara mereka sendiri yang tidak mungkin dilaksanakan di luar lingkaran mereka. Sayang, tinggal merekalah satu-satunya kaum di Eropa yang bisa mengejawantahkan kepemimpinan.
Unsur terpenting untuk terbebas dari tirani sistem moneter bank dan aneka praktek ribawinya, adalah dengan adanya pihak yang diberi wewenang secara lokal, yaitu dalam jangkauan masyarakatnya. Tanpa adanya pengemban amanah itu, banklah yang akan berwenang, yang akan mendikte langkah-langkah kebijakan semua bangsa, dan kita akan terkutuk jadi kacung-kacung upahan mereka. Jika anda ingin keluar dari perangkap ini, anda harus bergabung bersama mereka yang sepaham, pilihlah seorang pemimpin dan nyatakanlah diri anda merdeka dari jeratan riba. Di luar sana, banyak orang sedang melakukan hal yang sama.
Satu-satunya jalan keluar dari sistem ribawi adalah Islam. Karena hanya Islamlah yang menegakkan pemerintahan tanpa negara dan perniagaan tanpa riba. Zaman yahudi dan kristen telah kadaluarsa. Hanyalah dengan memahami bahwa "tiada tuhan selain Allah", baru manusia bisa berhenti menyembah segala sesuatu yang fana ?" seperti negara, uang dan pekerjaan mereka ?" dan menjadi merdekalah mereka. Hanyalah dengan membenarkan bahwa “Muhammad ialah Utusan Allah”, baru akan tegak keadilan dalam transaksi. Pilih Islam atau Ekonomi, pilih Islam atau Sistem Perbankan, inilah keputusan yang harus diambil oleh setiap insan.
Islam adalah Pemerintahan tanpa negara dan Perdagangan tanpa riba!
(Tulisan hasil terjemahan ke Bahasa Indonesia)
Oleh: Shaykh Umar Ibrahim Vadillo
Penulis adalah Ulama Islam Pakar Muamalat asal Spanyol sekarang menetap di Turki.
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Buruh Telah Dibohongi (Bagian II)
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar