Pakar Hukum Sebut Tak Bisa Sembarangan Terbitkan Perppu untuk Tambah Kementerian
Sejumlah pakar hukum tata negara mengatakan tidak ada kegentingan yang memaksa untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu di tengah rencana Prabowo Subianto menambah jumlah kementerian.
Yance Arizona, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, mengatakan salah satu syarat Perppu adalah adanya kegentingan yang memaksa dan dalam waktu yang singkat bukan dalam masa persidangan DPR. Sehingga presiden bisa membuat regulasi untuk mengatasi keadaan penting.
“Jadi membuat Perppu tidak bisa serampangan dan karena kepentingan yang dipaksakan. Praktik yang membuat Perppu sesuka hati itu cermin buruk dalam proses legislasi dan wujud nyata dari autocratic legalism,” kata Yance saat dihubungi Tempo, 7 Mei 2024.
Prabowo Subianto berencana menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 kementerian. Namun penambahan nomenklatur ini harus merevisi Undang-Undang Kementerian Negara terlebih dahulu. Opsi lain adalah menerbitkan Perppu.
Ia mengatakan sangat berbahaya apabila Prabowo tetap memaksakan menerbitkan Perppu. Langkah itu, menurut dia, menandakan negara tidak akan dikelola berdasarkan prinsip negara hukum, tetapi kekuasaan yang sempit dari sekelompok elit.
Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, meski secara ketatanegaraan Perppu merupakan hak prerogatif presiden, tindakan ini tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa.
“Ini melanggar prinsip negara hukum dan praktik ini akan menjadi preseden buruk di awal kekuasaannya Pak Prabowo. Sebab ke depan ada indikasi akan ada upaya mengutak-atik hukum jika tidak sesuai dengan keinginan politik,” kata Charles.
Charles menjelaskan syarat Perppu menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 Tahun 2009. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.
Syarat ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Opsi Perppu untuk menambah jumlah kementerian ini dilontarkan oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Yusril mengatakan penambahan nomenklatur kementerian bisa dilakukan dengan melakukan revisi Undang-Undang Kementerian Negara.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini mengatakan, apabila tidak melalui revisi UU Kementerian Negara, presiden bisa menerbitkan Perppu.
"Bisa dilakukan oleh Presiden Jokowi dan DPR sekarang. Bisa juga setelah Prabowo dilantik dengan menerbitkan Perppu," kata Yusril dalam rilis resmi yang diterima, Selasa 7 Mei 2024.
Menurut Yusril, setelah Prabowo dilantik jadi presiden oleh MPR pada 20 Oktober mendatang, ia bisa langsung mengeluarkan Perppu terkait penambahan nomenklatur. “Bisa, enggak masalah," kata Yusril.
Adapun Nomenklatur kementerian di kabinet Jokowi-Ma'ruf saat ini adalah 34. Rinciannya, 4 menteri koordinator alias Menko dan 30 menteri bidang. Aturan mengenai nomenklatur kementerian ini tertera dalam UU nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Namun tim Prabowo ditengarai ingin menambah jumlah kementerian menjadi 40. Penambahan ini diyakini untuk mengakomodir praktik dagang sapi dengan membagikan jatah menteri kepada partai politik yang bergabung ke pemerintahannya.
Sumber: tempo
Foto: Prabowo Subianto/Net
Pakar Hukum Sebut Tak Bisa Sembarangan Terbitkan Perppu untuk Tambah Kementerian
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar