Dari Epikorus Untuk Politik
Selalu ada dua sisi untuk membincangkan soal kebahagiaan yakni takdir dan ikhtiar. Namun keduanya cukup manusiawi, sebab kebahagiaan adalah milik semua orang bagi yang memperjuangkannya (geben sie auf nich). Sebagai jalan takdir---hampir semua orang mempersoalkan tentang kebahagiaan. Bila seseorang memperoleh kebahagiaan selalu disimpulkan karena itu adalah takdir. Sepertinya ikhtiar bukanlah apa-apa. Tetapi ketika seseorang itu fakir, maka serta merta juga kadang disimpulkan bahwa itu sudah ketentuan Tuhan. Takdir dan ikhtiar tak pernah disebutkan sebagai alasan pembenar.
Banyak orang merasa sedih dan sakit kepala, ketika membaca koran harian. Banyak berita buruk. Akhirnya, ia semakin sedih, karena merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Koran sebagai sumber informasi justru malah membuat kita merasa tak berdaya, ketika membacanya. Ketika mendengar berita tentang bencana, kita juga merasa sedih sekaligus bersyukur, karena kita dan keluarga kita bukanlah korbannya. Namun, jauh di dalam lubuk hati, kita tetap takut, bila bencana itu menghampiri kita dan orang-orang yang kita kasihi. Kita takut, terutama jika kita mati, siapa yang akan menjaga dan merawat keluarga kita?
Yang lebih mendasar lagi, kita takut akan masa depan. Kita takut ada “apa-apa” di masa depan kita, apapun itu artinya. Kita lalu membuat rencana untuk menata masa depan, seperti bikin asuransi, menabung, dan sebagainya. Namun, kegelisahan dan ketakutan tetap ada, bahkan mungkin semakin besar. Pertanyaanya adalah, apakah kita ingin hidup seperti itu? Apakah kita ingin dikepung oleh ketakutan dan kegelisahan yang bermuara pada sakit dan penderitaan hidup? Epikuros, salah seorang filsuf Yunani Kuno, mencoba menawarkan pemikiran tentang hal ini. Karya ia buat berjudul Surat kepada Menoikeus.
Epikuros adalah seorang filsuf yang hidup pada 341 sampai dengan 271 sebelum Masehi. Ia banyak dikenal sebagai filsuf tentang kebahagiaan. Baginya, kenikmatan adalah sesuatu yang bernilai tinggi di dalam diri manusia. Ia mengajukan pendapatnya di dalam tiga surat dan satu karya yang berisi ajaran-ajaran lisannya. Total tidak lebih dari 100 halaman. Tulisan yang saya acu di dalam tulisan ini, yakni Surat Epikurus kepada Menoikeus, ditulis pada sekitar 300 sebelum Masehi. Di dalamnya termuat pandangannya soal etika, atau filsafat moral. Isi buku ini masih mempengaruhi pandangan para filsuf moral, sampai sekarang ini. Salah satu bagian yang paling berkesan di dalam buku ini adalah bagian pertama, dimana Epikuros menyatakan, bahwa kita tidak perlu takut dengan kematian.
Argumennya adalah, bahwa sisi jahat dari kematian tidak akan pernah menyentuh kita. Ketika kita hidup, kematian jauh dari kita. Dan ketika kematian datang, kita tidak ada lagi. Kita tidak akan merasakan apapun, karena kematian bukanlah kehidupan, dimana kita bisa merasakan sesuatu. Tidak ada penderitaan di dalam kematian, dan juga tidak ada kebahagiaan di dalam kematian. Maka, Epikuros lalu menyarankan, agar kita jangan banyak berpikir soal kematian.
Sebaliknya, kita harus menikmati setiap waktu yang ada, dan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin. Kita harus menyibukkan diri kita dengan hal-hal yang menyenangkan hati. Karena semua kenikmatan yang ada, beserta segala penderitaan dan kesulitan kita, akan hilang, ketika kematian datang. Argumen ini adalah dasar dari pemikiran Epikuros tentang hedonisme. Namun bukanlah berarti, bahwa hidup manusia adalah pengumbaran nafsu untuk mencapai kenikmatan semata. Epikuros justru menolak hedonisme salah kaprah semacam ini. Kenikmatan yang dimaksudnya adalah kenikmatan yang lahir dari hidup yang sederhana dan sepantasnya.
Pemenuhan hasrat dan pemburuan kenikmatan bukanlah hidup mewah dan berfoya-foya, melainkan mencapai keadaan yang tenang dan damai. Keadaan ini hanya dapat dicapai, jika orang memiliki kesehatan badan dan ketenangan jiwa. Ketika manusia tidak memiliki sakit di badan dan rasa bingung di pikiran, maka ia dapat menikmati hidupnya secara penuh. Dua hal penting disini, menurut Epikuros, yakni kebebasan dari rasa khawatir, dan menghindari perasaan yang berlebihan (sedih atau senang yang berlebihan).
Keinginan juga sesuatu yang mesti diawasi. Ketika kita menginginkan hal-hal baru yang tidak kita punya, kita justru harus berpikir tentang hal-hal yang kita punya. Keinginan itu berbahaya, karena menciptakan kegelisahan dan kebingungan jiwa. Kita hanya bisa tenang, jika kita tidak fokus pada apa yang kita tak punya, dan memperhatikan apa yang sudah ada pada kita sekarang ini.
Filsafat politik Epikuros pun bersifat pasif. Ia menyarankan, agar orang menjauhi politik dan kehidupan publik. Hidup yang bahagia dan nikmat adalah hidup yang sederhana dan privat, yakni berfokus pada pada kehidupan sendiri saja. Orang hanya perlu melakukan kerja-kerja sederhana, supaya bisa hidup, dan belajar untuk mengatur pikiran serta keinginannya, supaya tidak menciptakan kegelisahan dan kebingungan.
Ada empat hal yang kiranya bisa kita pelajari dari pemikiran Epikuros di dalam “Surat kepada Menoikeus”. Pertama, kita tidak perlu berpikir tentang kematian. Kita tidak perlu juga berpikir, apa yang terjadi setelah kematian. Kematian adalah sesuatu yang amat berbeda dari kehidupan. Tidak ada sedih, senang, atau perasaan apapun di sana.
Kedua, kita juga diajak untuk lebih menikmati hidup. Untuk itu, kita perlu tubuh yang sehat, yakni dengan olah raga dan makan yang bermutu. Kita juga perlu untuk mencapai ketenangan pikiran. Kita tidak boleh dibingungkan oleh persoalan-persoalan dunia, karena hidup itu, pada hakekatnya, amatlah sederhana dan nikmat.
Tiga, kita juga perlu mengawasi keinginan-keinginan di dalam hati kita. Seringkali, semua itu, dengan rencana-rencana untuk mewujudkannya, membuat kita gelisah. Dari kegelisahan muncul ketakutan. Dan itu semua menciptakan kebingungan serta penderitaan di dalam diri kita. Kita harus belajar menata keinginan dengan berfokus pada apa yang kita sudah punya, dan bukan pada apa yang belum ada. Keempat, kita juga tidak perlu banyak sibuk dengan kehidupan politik.
Memang, politik selalu bermasalah. Campur tangan kita seringkali tidak memberikan jalan keluar apapun. Justru, kita mungkin hanya menjadi sumber masalah baru. Kita pun jadi hidup dengan kegelisahan dan kebingungan yang lalu menghasilkan penyakit dan penderitaan. Tidak ada gunanya aktif dalam politik---itulah ucapan Epikurus.
Sehingga merespon secara singkat pandangan Epikurus saat ini (mungkin ada benarnya), ketika politik tak lagi bisa menghadirkan kebahagiaan, justru banyaknya ancaman-ancaman yang mengganggu psikis terhadap manusia. Ketidakberpihakan, intimidasi adalah gurat yang mengganggu kebahagiaan manusia pada aspek abstraktif. Padahal menurut ajaran Plato ada yang disebut dengan “Eudemonisme” artinya politik adalah kebahagiaan tertinggi. Yang dimaksudkan adalah bila politik itu adalah kebajikan (kebaikan). Tanpa itu bagi Epikurus---lupakan politik. cukup tendensius tapi rasional.
Sayang ditengah gemuruh politik menghadapi pesta demokrasi justru yang muncul adalah perusakan atas nilai demokrasi itu sendiri, bahkan sampai penghancuran pranata sosial dititik terendah. Selanjutnya pada eskalasi tertentu pun demikian saling meninggalkan dalam politik terlihat seperti hal yang biasa. Sekalipun parti politik selalu menanmkan ideologi dan integritas kepada konstituennya, tetapi pada posisi tertentu parpol pun mengalami fase yang labil setelah “godaan kekuasaan” semakin menggiurkan. Dengan kata lain berani meninggalkan “kawan” dan mengambil “lawan” adalah sebuah fenomenologi politik yang mewarnai demokrasi akhir-akhir ini.
Tetapi itu sah-sah saja sebagai konsekuensi politik dengan ambang batas dukungan, sehingga calon yang potensial pun harus kandas karena tidak mendapatkan dukungan yang signifikan. Walau disadari secara logis bahwa ada efek elektoral dalam pencapaian partai politik dalam event demokrasi, tetapi kemudian itu terabaikan. Artinya apa?, ada resistensi politik dari parpol untuk mengambil jalan dengan cara meninggalkan kawan dengan mengambil lawan. Di sinilah letak problematiknya, sekalipun parpol telah melakukan dukungan secara terang-terangan, walau pada akhirnya harus kandas.
Inkosistensi partai politik terhadap pilihan politik juga bagian dari inkonsistensi secara ideologis dan integrity, karena itu “kecacatan demokrasi” selalu di mulai dari ikhwal politik yang tidak elegant dan humanis. Yang pada akhirnya proses politik mengharuskan memilih orang seberang daripada orang rumah. Sebagaimana kata Paul Krugman “Dalam politik yang menentukan adalah yang memiliki kekuasaan, bukan yang memiliki kebenaran”
Maka ada benarnya Epikuros---Lupakan politik, sebab ia kadang mengganggu kemanusiaan kita untuk bisa bertahan hidup.
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Penulis Buku Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Cacat-an Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Dari Epikorus Untuk Politik
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar