Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata
TUJUH orang warga negara menggugat secara hukum perdata berdasarkan informasi yang terdapat pada situs SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari jumat (4/10/2024). Gugatan terdaftar dengan nomor perkara 661/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst per 30 September 2024.
Namun sayang sekali, situs tersebut sedang mengalami gangguan dan tidak dapat dibuka untuk dapat diketahui isi pengaduan secara tertulis dalam sistem informasi pengadilan, sehingga tidak dapat dikonfirmasikan secara langsung tentang apa sesungguhnya yang diperkarakan, selain berdasarkan berita media massa mainstream tertulis dan YouTube yang telah tersiar secara luas mengenai persoalan penggugatan tersebut.
Penggugat bernama Moh Rizieq, Munarman, Eko Santjojo, Edy Mulyadi, M Mursalim R, Marwan Batubara, dan Soenarko. Pihak tergugat adalah Joko Widodo.
Joko Widodo digugat dalam kaitannya ketika sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 hingga menjadi presiden selama dua periode, yang diyakini oleh para penggugat bahwa Joko Widodo mulai berbohong dimulai dari pernyataan pesanan mobil Esemka sebanyak 6 ribu unit hingga kebohongan mengenai informasi tentang uang Rp11 ribu triliun telah berada di kantong Joko Widodo.
Kata-kata bohong tersebut dituduh berdampak buruk terhadap Indonesia.
Atas tuduhan kebohongan tersebut, tergugat Joko Widodo dituntut membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp5.246,75 triliun untuk disetorkan ke kas negara. Yang paling menarik adalah, apakah tuduhan tindakan kebohongan merupakan salah satu tindakan delik aduan, yang tergolong melawan hukum sebagaimana yang tercantum secara tertulis pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Akan tetapi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesia) ternyata tidak ada satu pun ayat dan pasal yang mencantumkan bahwa tindakan kebohongan sebagai tindakan melawan hukum berdasarkan bunyi dan isi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang setebal 300 halaman.
Tidak ada klausul, pemerincian, dan pembahasan tentang tindakan kebohongan sebagai kegiatan melawan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut sesungguhnya pada buku kesatu berisi tentang orang.
Bab I tentang menikmati dan kehilangan hak kewargaan. Bab II tentang akta-akta catatan sipil. Bab III tentang tempat tinggal atau domisili. Bab IV tentang perkawinan, Bab V hak dan kewajiban suami istri. Bab VI tentang harta Bersama menurut undang-undang dan pengurusannya. Bab VII tentang perjanjian kawin.
Bab VIII tentang gabungan harta bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya. Bab IX tentang pemisahan harta benda. Bab X tentang pembubaran perkawinan. Bab XI tentang pisah meja dan ranjang. Bab XII tentang kebapakan dan asal keturunan anak-anak. Bab XIII tentang kekeluargaan sedarah dan semenda.
Bab XIV tentang kekuasaan orang tua. Bab XIV tentang penentuan, perubahan dan pencabutan tunjangan nafkah. Bab XV tentang kebelumdewasaan dan perwalian. Bab XVI tentang pendewasaan. Bab XVII tentang pengampuan. Bab XVIII tentang ketidakhadiran.
Buku kedua tentang barang. Bab I tentang barang dan pembagiannya. Bab II tentang besit dan hak-hak yang timbul karenanya. Bab III tentang hak milik. Bab IV tentang hak dan kewajiban antara para pemilik pekarangan yang bertetangga. Bab V tentang kerja rodi. Bab VI tentang pengabdian pekarangan.
Bab VII tentang hak numpang karang. Bab VIII tentang hak guna. Bab IX tentang bunga tanah dan sepersepuluh. Bab X tentang hak pakai hasil. Bab XI tentang hak pakai dan hak mendiami. Bab XII tentang pewarisan karena kematian. Bab XIII tentang surat wasiat.
Bab XIV tentang pelaksana surat wasiat dan pengelola harta peninggalan. Bab XV tentang hak berpikir dan hak Istimewa untuk merinci harta peninggalan. Bab XVI tentang hal menerima dan menolak warisan. Bab XVII tentang pemisahan harta peninggalan. Bab XVIII tentang harta peninggalan yang tak terurus. Bab XIX tentang piutang dengan hak mendahulukan. Bab XX tentang gadai. Bab XXI tentang hipotek.
Buku ketiga mengenai perikatan. Bab I tentang ketentuan-ketentuan umum. Bab II tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan. Bab III tentang perikatan yang lahir karena undang-undang. Bab IV tentang hapusnya perikatan. Bab V tentang jual beli. Bab VI tentang tukar menukar. Bab VII tentang sewa menyewa. Bab VIIA tentang perjanjian kerja.
Bab IX tentang badan hukum. Bab X tentang penghibahan. Bab XI tentang penitipan barang. Bab XII tentang pinjam pakai. Bab XIII tentang pinjam pakai habis. Bab XIV tentang bunga tetap atau bunga abadi. Bab XV tentang persetujuan untung-untungan. Bab XVI tentang pemberian kuasa. Bab XVII tentang penanggung utang.
Buku keempat mengenai pembuktian dan kedaluwarsa. Bab I tentang pembuktian pada umumnya. Bab II tentang pembuktian dengan tulisan. Bab III tentang pembuktian dengan saksi-saksi.
Singkat kata, kembali ditegaskan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur tentang tindakan kebohongan sebagai kegiatan melawan hukum. Berdasarkan hal ini, maka aduan kebohongan sebagai kegiatan melawan hukum perdata tidak mempunyai dasar hukum tertulis.
OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Aduan Kebohongan sebagai Gugatan Perdata
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar