TOM LEMBONG, POLITISASI atau SPIRIT LAW ENFORCEMENT
Jalan politik memang sulit untuk ditebak, kadang lurus, tetapi kadang juga berkelok-kelok, cendrung berbahaya tetapi juga cendrung membahayakan. Jalan berliku itu seringkali menjadi epos bagi para politisi untuk merebut kekuasaan. Dan mahar politik pun sulit untuk dhindari. Dari awal penulis sudah mendalilkan dalam buku “politik Mahar, Mahar politik, Ancaman demokrasi” kenapa menjadi ancaman demokrasi? sebab untuk maju pada ruang kontekstasi politik, paling tidak harus mengeluarkan anggaran yang cukup besar---bukan hanya upaya membeli partai politik tetapi juga praktek money politics bukan sulit untuk dihindari. Sehingga mahar menjadi “kubangan” praktek koruptif dalam kekuasaan.
Tetapi pada sesi tulisan kali ini penulis enggan untuk membahas bagaimana bahaya mahar politik dan politik mahar dalam demokrasi, tetapi yang ingin penulis suguhkan adalah fenomena legal tragedy dalam politik Indonesia akhir-akhir ini. Seperti membaca ulang pikiran Jean Baudrillard tentang simulakra dan hiperealitas dalam kehidupan politik Indonesia, begitu pula dengan prinsip=prinsip hukum dalam negara.
Kehidupan politik selama 10 tahun terakhir meberi isyarat akan “Eksistensi Simulakra,” bagi Baudrillard simulakra adalah citra diri, ilusi yang mewakili kenyataan yang ada. Tetapi pada faktanya : ilusi dan citra diri menjadi dominan dalam perilaku politik. Seperti kesederhanaan tidak selalu berdiametrikal dengan kebaikan, ketulusan, kepolosan dan kesederhanaan itu sendiri. Citra diri pada akhirnya membalikkan kenyataan yang ada. Yang lazim kesederhanaan itu adalah kebajikan dan kebijaksanaan, bukan kepongahan, kesombongan dan kemewahan.
Di samping citra diri—ilusi juga begitu berpengaruh (pandangan Baudrillard), ilusi tentang kebaikan “berarti buruk” dalam kenyataan. Ilusi misalnya tentang demokrasi, justru indeks demokrasi kita menurun. Simulakra telah memproduksi ilusi dan citra diri yang berlebihan. Kata Baudrillard selanjutnya adalah “Hiperealitas” suatu pencampuran dari ilusi dan citra diri pada seseorang yang berlebihan. Fenomena kepemimpinan 10 tahun terakhir “citra diri” begitu menonjol dengan memburu legacy politik atas semua apa yang dilakukannya.
Jokowi dengan citra diri adalah politik simulakra---bagi sebagian kalangan menganggap bahwa semua itu polesan, ilusi dan fantastisme yang ingin dibangun untuk meraih simpatik. Kejanggalan itu terlihat sebagai sebuah ilusi adalah ketika beberapa lembaga survey merilis dengan tingkat kepuasan publik diatas rata-rata 78 %, anomali di tengah runtuhnya sendi-sendi bernegara, demokrasi yang diberangus, hukum yang hancur, cara berwarga negara kian terbelah, intoleran, serta kekerasan-kekerasan lainnya sebagai bukti indeks demokrasi yang menurun dan juga indeks kemanusiaan yang kurang lebih sama. Ilusi dan citra diri adalah sebuah gangguan psikologis bagi seseorang dalam frame kekuasaan—merasa kuat, merasa hebat, merasa terhormat dan merasa paling berkuasa. Tetapi kita lupa bagaimana pesan Sigmund Freud tentang kecemasan seseorang terhadap peran dan posisi ketika ia tak lagi berkuasa, maka berkecendrungan menderita kecemasan neuritic.
Ilusi dan citra diri yang berlebihan berakibat pada kutangnya perhatian pada aspek-aspek lain dalam pembangunan, termasuk penegakan hukum (Law Enforcement), hal ini menjadi anomalies, ketika hukum mati di lembaga hukum karena intervensi politik penguasa. Fenomena ini justru memperburuk kondisi hukum yang ada. Akhirnya hukum menjadi singa bagi binatang lainnya---hukum menjadi alat kekuasaan untuk mematikan lawan politiknya dengan berbagai cara.
Tanpa harus membela Tom Lembong (Mantan Menteri Perdagangan 2015-2016) yang secara tiba-tiba ditersangkakakn oleh Kejagung dengan tuduhan korupsi import gula di zaman presdien Jokowi. Ini menjadi tanda tanya berbagai pihak terkait penahanan Tom Lembong di kasus import gula, yang justru sprindiknya dibuat sekitar tahun 2023 saat Tom Lembong menjadi Co Captain pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di Pilpres 2024. Dari sini kita paham adanya upaya utuk menghalangi oposisi dalam hal ini Tom Lembong ada dibarisan perubahan.
Dan untuk menilik lebih jauh terkait kasus Tom Lembong apakah “Politisasi atau upaya Law Enforcement” setidaknya mari kita coba melihat potensi kerugian negara atas impor gula dari kemendag (kementerian Perdagangan), Tom Lembong (2015-2016) total impor 5 juta ton, Enggartiasto Lukita (Mendag 2015-2016) total impor 15 juta ton, Agus Suparmanto (Mendag 2019-2020) totyal import 9,5 juta ton, Muhammad Luthfi (Mendag 2020-2022) total import13 juta ton, dan Zulkifli Hasan (Mendag 2022-2024) total impor18 juta ton. Dari data tersebut kita bisa tarik satu catatan bahwa kasus Tom Lembong berkecendrungan adanya upaya politisasi hukum negara atas warga negara. Seperti halnya Anies Baswedan 19 kali gelar perkara di KPK tetapi tak satupun cela untuk mentersangkakan Anies Baswedan, dari sini kita tahu kalau kekuasaan memakai tangan atau instrumen yang lain sebagai alat gebuk bagi lawan politiknya.
Law Enforcement adalah amanat reformasi 98 dan menjadikan hukum sebagai panglima dalam upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance and Clean Governance) yang jauh dari KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme). Spirit sejarah ini setidaknya menjadi semangat penegakan hukum tanpa pandang bulu (memukul lawan dan merangkul kawan). Tetapi praktek kekuasaan selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini kondisi hukum kita berada di titik nadir--paradigma negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan. Praktek hukum hanya tegak pada lawan politik (oposisi), tetapi letoy pada kolega politik (terlihat fenomena politik sandera). Pesan menohok dari Baharuddin Lopa---berdirilah pada kebenaran, sekalipun anda sendiri. Pesan ini tentunya mempan karena jejaring kekuasaan bekerja secara massif untuk mematikan hukum lewat kuasa dan uang.
Munculnya mafia peradilan, penegak hukum yang saling membunuh (tragedi Sambo), konstitusi negara yang teracak karena mengikuti kemauan penguasa, korupsi, illegal mining, pembalakan hutan, penjualan pasir laut, tingginya biaya kebutuhan hidup sementara kondisi ekonomi masyarakat yang semakin melemah, kecurangan-kecurangan dalam proses politik—semua itu merupakan akumulasi dari kejahatan negara di mana hukum tumpul pada kolega tetapi tajam pada warga negaranya. Ini fenomena terburuk dalam kekuasaan, negara, politik dan demokrasi.
Amanat reformasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan hukum menjadi panglimanya---sepertinya itu hanya ilusi (Baudrillard), padahal itu adalah cita-cita dan harapan akan perbaikan politik di Indonesia setelah melewati fase militerisme otoritarianisme orde baru yang berkuasa selama 32 tahun lamanya.
Kasus Tom Lembong adalah fenomena baru dalam prinsip-prinsip hukum, sebab pihak kejaksaan mengatakan bahwa tak perlu bukti aliran dana ke Tom Lembong untuk menjadikan ia tersangka. Dalam prinsip hukum kita kenal istilah “In criminalibus probantiones bedent esse luce clariores” yang artinya dalam perkara pidana bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya. Sepertinya prinsip dasar dalam hukum itu tidak dipakai oleh kejaksaan untuk menetapkan Tom Lembong sebagai pihak tersangka.
Perkara hukum bukan hanya soal salah atau benar—tetapi lebih dari itu hukum selalu mempersoalkan tentang keadilan (justice). Ketidakadilan dalam perkara impor gula yang mentersangkakan Tom Lembong (tanpa bukti kata ; pihak kejaksaan) justru menjadi polemik hukum di tengah publik mengingat mantan menteri perdagangan seetlah Tom Lembong dengan jumlah populasi impor gula yang jauh lebih besar terkesan di diamkan oleh kejaksaan agung, termasuk Zulkifli Hasan (Menteri Perdagangan hingga saat ini) terkesan dilindungi dan tak tersentuh hukum. Prinsip dasar Equality before the law (Semua orang sama di hadapan hukum) menjadi bluur dan bias.
Dan inilah fakta kalau praktek kekuasaan menjadikan instrumen hukum lewat penegak hukum sebagai alat gebuk bagi lawan politiknya. Di titik ini, hukum menjadi monster yang menakutkan bagi setiap warga negara—karena keadilan menjadi hal yang mustahil bisa tegak di tangan kekuasaan yang otoritarian, dan warisan sejarah kelam politik dan praktek hukum di Era Jokowi.
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS, Academic Writing, Penggiat Demokrasi.
Penulis Buku : Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan cacat-an Demokrasi, Legal Tragedy Dalam politik
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
TOM LEMBONG, POLITISASI atau SPIRIT LAW ENFORCEMENT
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar