Breaking News

JALAN KETIGA DEMOKRASI


Francis Fukuyama dalam satu bukunya yang berjudul The end of history and the Last Man yang diterbitkan tahun 1992, sebagai rangkaian memperluas esai-esainya tahun 1989 yang diterbitkan di Kajian Internasional The National Interest. Di bagian buku ini ada sebait kalimat yang penah diungkapkan “bahwa demokrasi itu adalah perkara ummat manusia sejagat” dasar pernyataan ini tentu tumpuan bagi kemenangan kapitalisme dalam esai The end of history. Fukuyama begitu yakin bahwa kemenangan kapitalisme menyudahi sejarah panjang pertentangan ideologi. Sekalipun dibagian yang lain ada kelompok (khilafah) menyebutnya bahwa kapitalisme adalah jalan panjang perusakan ummat manusia.

Namun terlepas daripada itu, Fukuyama sudah menaruh perhatian besar terhadap perkembangan demokrasi sebagai jalan ketiga “The Third way” sebagaimana pikiran Anthony Giddens. Kemenangan kapitalisme tentu bukanlah finalisasi dari perkembangan demokrasi, tetapi paling tidak konstruksi dalam tatanan kehidupan manusia ; yang diatur oleh hukum negara, cara berwarga negara, membangun toleransi, mewujudkan kesejahteraan, keamanan serta perdamaian dunia. 

Dalam fase pertentangan ideologi dunia menjadi penting untuk melihat secara utuh, apa itu demokrasi, untuk apa ia ada, bagaimana peran dan fungsinya, serta apa dampaknya terhadap peradaban ummat manusia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah akumulatif untuk memahami demokrasi secara benar dan ideal. Secara normatif demos-kratos diterjemahkan sebagai bentuk pemerintahan rakyat—kedaulatan ada ditangan rakyat. Artinya terlalu naif bila kemudian demokrasi mengalami destruktif sehingga menjelma menjadi otoritarianisme, kedaulatan dikendalikan oleh “rezim atau penguasa” padahal dalam sejarah panjang pergolakan pemikiran terkait bagaimana hak-hak politik rakyat itu kembali ketangan rakyat—adalah cara melawan otoritarianisme. 

Ini kemudian menjadi penting sebagai catatan bahwa demokrasi itu tumbuh dan berkembang sejalan dengan tumbuhnya kesadaran kolektif (Collective Consciousness) ummat manusia (warga manusia) dalam tatanan yang lebih baik dan ideal. Kiranya dapat dipahami sebagai konsekuensi dari sejarah ummat manusia. Sebagaimana pernyataan Erich Fromm “Sejarah ummat manusia lahir karena ketidakpatuhan, dan bisa jadi sejarah ummat manusia akan mati karena kepatuhan”  ini bisa ditafsirkan bahwa perkara demokrasi adalah perkara tentang patuh atau tidak patuh pada struktur sosial (warga negara) yang diatur oleh konstitusional dalam negara. Sehingga negara harus hadir memberi rasa aman, mewujudkan kesejahteraan sosial, kemakmuran bagi seluruh rakyat, kesemua itu adalah tindakan untuk mewujudkan kepatuhan secara holistik baik secara individu maupun secara kolektif. 

Karena itu demokrasi adalah satu sistem sosial dan politik yang akan mengatur keteraturan sosial (kepatuhan) bagi warga negara. Bahwa kemudian demokrasi tidak menginginkan terjadinya perilaku disobiedence (pembangkangan), destruktif—barbarianisme, makar serta kejahatan politik (political crime), sikap individualisme, sektarian, korupsi di dalam negara. Karena demokrasi menginginkan adanya peradaban yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Namun disisi faktual, kita seringkali merasakan praktek demokrasi jauh dari konsep ideal, justru “demokrasi” hanya menjadi bakul jualan untuk kepentingan politik tertentu. Demokrasi terasa menemui ajalnya sebagaimana Zilbatt mempertanyakannya “How Democratie Die” mengapa demokrasi mati. Inilah hari-hari yang mencemaskan apakah demokrasi tetap ideal atau tidak untuk melanjutkan mengatur ummat manusia. David Runciman (Professor Politik dari Cambridge University) mengatakan “Demokrasi ibarat penyakit, maka penyakitnya sudah benar, hanya pada pasien yang salah”

Dan saat ini kita sedang berada di “Jalan Terjal Demokrasi” proses politik yang berbiaya mahal, politik tarnsaksional, lemahnya law enforcement, angka kemiskinan dan pengangguran yang semakin meningkat, kondisi ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja, penyakit-penyakit sosial mewabah menggerogoti jantung struktur sosial (judi online, narkoba, kejahatan seksualitas), kekerasan terhadap perempuan, aparat penegak hukum yang saling bunuh---kesemuanya itu menjadi ancaman serius untuk mengembalikan marwah dan hakekat demokrasi yang sesungguhnya. 

Maka untuk mewujudkan itu tidak cukup dengan The Political Will, tetapi langkah konkrit dengan kebijakan negara dengan tujuan untuk menormalisasikan semua segmentasi kehidupan manusia (warga negara) dalam tatanan yang ideal dalam peradaban demokrasi. Kalau itu tidak dilakukan, maka Demokrasi tetap di jalan yang terjal. 

Oleh: Saifuddin
Dosen, penulis buku, kritikus politik, penggiat demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
JALAN KETIGA DEMOKRASI JALAN KETIGA DEMOKRASI Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar