Breaking News

Konfigurasi Politik Menghambat Reformasi Polri? Alasan di Balik Polisi Dinilai Tak Humanis hingga Tak Profesional


Direktur Imparsial Ardimanto Adiputra menilai konfigurasi politik nasional saat ini tidak mendukung pembentukan polisi yang profesional dan humanis.

Seperti diketahui institusi kepolisian sedang menjadi sasaran kritik karena berbagai isu negatif sehingga terjadi pergeseran dalam korps Bhayangkara yang dianggap ‘bernada’ militeristik.

“Konfigurasi politik, aktor politik, partai politik kita tidak mendukung untuk membentuk kepolisian yang profesional, yang humanis, dan demokratis,” kata Ardi dalam diskusi bertajuk Pendekatan Keamanan Manusia dalam Kepolisian di Sadjoe Cafe, Jakarta, Jumat, 20 Desember 2024.

Yang terjadi saat ini adalah munculnya upaya cawe-cawe menggunakan institusi kepolisian untuk kepentingan politik.

Dalam hal ini Ardi menyoroti pengawasan eksternal seperti Komisi III DPR RI yang memiliki kewenangan jauh lebih kuat dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Ardi mencontohkan hal-hal terkait pengawasan anggaran agar diperkuat sehingga polisi jauh lebih humanis dan profesional.

Sebut saja penggunaan anggaran untuk pembelian body cam yang akan membantu polisi dalam bertugas ketimbang membeli gas air mata.

“Misalnya pengawasan anggaran memberi body cam daripada gas air mata. Itu kan jauh lebih tepat (dilakukan DPR),” ujarnya.

Adapun reformasi Kepolisian saat ini tidak bisa dilakukan dengan mengarahkan semua ‘corong toa’ fokus kepada institusi Kepolisian saja.

Sebab dinamika reformasi kepolisian sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang terjadi saat ini.

Semua instrumen sosial politik harus mendorong polisi menuju arah kepolisian yang profesional, humanis, dan demokratis dengan pendekatan human security.

“Kita juga perlu menyampaikan konsep human security kepada Parlemen, pemerintah, dan aktor-aktor politik kita. Sehingga berbagai kebijakan turunan bisa didiskusikan bersama dengan DPR,” jelasnya.

Sementara itu, Direktorat Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Eko Riyadi melihat sejumlah indikasi pergeseran di tubuh kepolisian pasca Reformasi.

Diantaranya kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi 2014-2024 yang memberikan jabatan kepada polisi aktif.

“Ini terjadi di beberapa kementerian dan lembaga. Situasi ini complicated, tidak sederhana karena kementerian/lembaga memiliki budaya tersendiri,” ujarnya.

Ia juga melihat polisi lebih cenderung menggunakan kekerasan. Sebagai contoh ia mengambil tragedi Kanjuruhan yang menurutnya memperlihatkan brutalitas Polri luar biasa.

“Kemudian peristiwa di Semarang diduga polisi menembak siswa. Ini tidak bisa dilihat secara personal, oknum misalnya. Jadi melihat ini secara struktural,” kata dia.

Eko juga menyoroti kesalahan masa lalu di mana Polisi ditempatkan sebagai penjaga kekuasaan.

“Padahal tugas polisi harus menjaga keamanan dan kenyamanan manusia, bukan kekuasaan,” ucapnya.

Kemudian upaya terus menerus menggaungkan kembali polisi sipil. Sebab, sejatinya pemisahan polisi dari TNI adalah upaya menjadikan polisi sipil.

“Hormati human rights. Ini harus selalu diingatkan kepada teman-teman Polri,” ujarnya.

Terakhir, ia menyoroti penataan kembali kurikulum kepolisian. Sektor polisi bukan keamanan dan kedaulatan, tetapi memproteksi institusi demokrasi dan netralitas di balik kepentingan negara.

“Paradigma militer itu jangan menancap dalam kepala adik-adik Kepolisian (yang menjalani pendidikan),” kata dia.

Sekjen PBHI Gina Sabrina mengatakan masih percaya dengan kemampuan Polri untuk melakukan reformasi di tubuh Kepolisian.

Setidaknya hal itu terlihat dalam beberapa upaya yang pernah dilakukan. Misalnya dalam kasus tragedi Kanjuruhan.

Polri, kata dia, berusaha melakukan perbaikan dalam pengendalian massa demonstrasi. Polri juga melakukan perubahan dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2022 tentang pengamanan dalam penyelenggaraan kompetisi olahraga hingga studi banding meningkatkan kapasitas pengamanan stadion ke Coventry.

“Pemilu 2024 tidak ada kerusuhan dan konflik horizontal meskipun dalam hal ini PBHI merekomendasikan polisi menarik seluruh senjata api dalam pengendalian massa,” ujar Gina.

Komisioner Kompolnas yang juga hadir dalam diskusi menyatakan Kepolisian tidak bisa menggunakan perspektif lama dalam bertugas.

“Jadi harus menggunakan perspektif baru, polisi harus lebih adaptif dalam membaca persoalan yang ada di masyarakat. Orientasinya kepada masyarakat,” ujarnya.

Harus diakui masih banyak pekerjaan rumah ke depan dalam membangun kepolisian yang humanis dan profesional, menggunakan konsep keamanan manusia.

Kemudian mengembangkan model kepolisian yang kolaboratif melibatkan masyarakat dalam semua isu keamanan manusia.

Polisi yang lebih terbuka di era internet yang terkoneksi sehingga korps Bhayangkara lebih responsif dalam pencegahan kejahatan dan pemberdayaan masyarakat.

“PR kita masih panjang, mulai dari instrumen hingga SDM, dari pusat ke daerah, polisi terbuka dan gak boleh responsif,” ujar Gufron. (*)

Sumber: suara
Foto: Diskusi bertajuk Pendekatan Keamanan Manusia dalam Kepolisian di Sadjoe Cafe, Jakarta, Jumat, 20 Desember 2024.
Konfigurasi Politik Menghambat Reformasi Polri? Alasan di Balik Polisi Dinilai Tak Humanis hingga Tak Profesional Konfigurasi Politik Menghambat Reformasi Polri? Alasan di Balik Polisi Dinilai Tak Humanis hingga Tak Profesional Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar