INKLUSIVITAS DI TENGAH DEMOKRASI ELEKTORAL
Dalam berbagai pandangan bahwa demokrasi adalah merupakan rujukan universal dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan asumsi lebih dari separoh jumlah negara di dunia ini memakai demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan. Pilihan demokrasi sebagai sistem merupakan antiklimaks dari kapitalisme di barat dan sosialisme di timur.
Sebagai ajaran universalisme dan humanisme, maka demokrasi tentu berupaya mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dalam penerapannya, seperti penghargaan terhadap isu-isu gender, disabiltas, kemiskinan, pendidikan serta fenomena sosial lainnya yang merupakan bagian dari legitimasi demokrasi yang substantif.
Dalam mewujudkan cita-cita demokrasi yang ideal, Indonesia, seperti banyak negara lainnya, terus berusaha mewujudkan tiga prinsip inti : (1) demokrasi, (2) inklusivitas, dan (3) sikap politik. Tiga pilar itu tidak hanya memandu cara kita berinteraksi sebagai individu dan komunitas, tetapi juga bagaimana kita membuat, mengevaluasi, dan merenungkan keputusan politik. Demokrasi, sebagai prinsip pertama, ialah tentang percakapan dan dialog terus-menerus, bukan hanya tentang pilihan yang dibuat dalam pemilihan umum. Ini merupakan proses yang mana kita berdiskusi, bertukar ide, dan merundingkan keputusan-keputusan politik yang ada.
Sebaliknya, inklusivitas menekankan pentingnya mewakili dan memperhitungkan seluruh masyarakat dalam proses ini, mendorong partisipasi aktif, dan memastikan bahwa setiap suara didengar. Sebab demokrasi yang substantif adalah demokrasi yang mengakomodir semua elemen dan isu-isu yang berkembang ditengah masyarakat. Kesetaraan gender, partisipasi kelompok divabel dan kelompok-kelompok budaya lainnya. Sehingga tidak ada dikhotomis diantara warga negara, termasuk agama dan ras. Membaca pikiran Claude Levi Strauss dalam bukunya “Ras dan Sejarah” (2000) ras yang dipersonifikasikan sebagai “Akar” (asal usul kata ras, dari bahasa Francis “Race”, dan bahasa latin “Radix”)--dan kalau direkonstruksi dalam ruang demokrasi, maka sesungguhnya “Ras” itu adalah akar/fundamental.
Namun “Ras” seringkali terbelah pada fatsoen pilihan dalam demokrasi seperti kelompok borjuasi dengan rakyat biasa (voters). Maka seringkali kita jumpai adanya ekslusivitas dalam frame demokrasi (yang punya modal dengan yang tidak punya modal), yang punya trah dan klan dengan masyarakat sipil biasa. Bangsawan dengan bukan bangsawan. oligarkhi dengan buruh. Dikhotomis ini sesungguhnya sebagai upaya bagaimana menghadirkan inklusivitas dalam demokrasi.
Berikutnya adalah sikap politik, melibatkan konsistensi dan komitmen terhadap prinsip dan nilai-nilai tersebut, bahkan ketika dihadapkan dengan tantangan dan kritik. Tiap-tiap prinsip itu saling terkait dan memengaruhi satu sama lain dalam membentuk institusi politik serta masyarakat yang lebih kuat dan adil. Sikap politik bukan hanya pilihan setiap individu untuk tetapi bagaimana instrumen demokrasi seperti partai politik, penyelenggaran pemilu dan aparat penegak hukum juga memiliki sikap yang sama untuk menghadirkan inklusivitas dalam ruang demokrasi. Sehingga tercipta kesetaraan sosial dan politik antar semua unsur penyokong demokrasi, tanpa itu demokrasi absurd menemui jalannya.
Upaya dialog yang suistanable
Upaya dialog adalah menjadi keharusan untuk membangun persepsi yang sama dalam ruang-ruang demokrasi. Dalam proses panjang demokratisasi di Indonesia, kita memahami bahwa demokrasi bukanlah keadaan yang statis, melainkan proses yang dinamis. Sementara itu, sebagai sebuah journey, tidak ada titik akhir dalam perjalanan sebuah demokrasi; perjalanan akan terus berlanjut, suatu percakapan yang tak pernah selesai. Itu berarti bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab dan kesempatan untuk menafsirkan serta membentuk demokrasi sesuai dengan tantangan dan peluang yang ada pada masanya. Sekaligus juga membentuk sejarahnya sendiri.
Prinsip dasar demokrasi ialah perubahan dan adaptasi. Ini merupakan nilai-nilai yang mendorong negara kita sepanjang sejarahnya, dari era reformasi hingga masa sekarang. Prinsip itu juga memengaruhi bagaimana kita melihat dan mendefinisikan demokrasi itu sendiri. Demokrasi bukanlah sistem yang kaku dan tidak berubah, tetapi proses yang aktif dan berkelanjutan yang melibatkan perdebatan dan diskusi terbuka sebagai metode utama untuk mencapai konsensus dan membuat keputusan. Keputusan-keputusan politik itu haruslah mencerminkan hasil dialog dari semua pihak, sehingga demokrasi elektoral tak cukup mewakili suara (voter) dibiik suara, tetapi lebih dari juga harus mewakili pikiran, ide, gagasan yang lahir dari dialog yang berkelanjutan.
Kontroversi dan perdebatan menjadi penting. Karena itu, memungkinkan kita untuk merumuskan dan memaknai demokrasi. Setiap perdebatan dan diskusi ialah kesempatan untuk mempertanyakan dan mempertimbangkan kembali prinsip-prinsip dan nilai-nilai. Ini merupakan bagian integral dari proses demokrasi yang memastikan bahwa kita terus memperbarui dan memperbarui demokrasi untuk menjadikannya relevan dan responsif terhadap tantangan dan peluang masa depan. Dalam pengertian demokrasi bukan berhenti diujung elektoral saja, tetapi demokrasi selalu terus tumbuh dan berkembang seiring perkembangan transformasi masyarakatnya--(Samuel P. Huntington; Tertib Politik dalam masyarakat yang berubah).
Karena itu, kita melihat bagaimana partisipasi, dialog, dan keputusan kolektif menjadi roh yang tak terpisahkan dari demokrasi yang kita bangun bersama. Tanpa dialog, tidak ada perubahan. Tanpa partisipasi, tidak ada kemajuan. Tanpa keputusan kolektif, tidak ada demokrasi. Demokrasi pada akhirnya ialah tentang menghargai dan merangkul keragaman kita dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama.
Inklusivitas demokrasi
Dalam demokrasi, inklusivitas kerap disalahpahami sebagai kompromi atas nilai-nilai fundamental demi mencapai konsensus. Peran kritik dalam demokrasi, dalam konteks ini, menjadi semacam katalis untuk introspeksi dan perbaikan. Dengan sikap terbuka, tantangan dapat menjadi peluang untuk memperbaiki diri. Dengan kata lain, tantangan dijadikan sebagai langkah maju, bukan mundur. Justru inklusivitas adalah sebagai upaya untuk mewujudkan demokrasi yang lebih dignified and justice dalam kerangka demokrasi yang lebih substantif dan accountable.
Namun sspek lain dari inklusivitas yang diemban ialah penghargaan terhadap keberagaman. Di tengah ragam upaya memecah belah--sadar atau tidak sadar--berdasarkan identitas agama atau ras, menunjukkan bahwa semua warga negara, tanpa memandang latar belakang mereka, memiliki hak dan peran yang setara dalam proses demokrasi. Keberagaman bukanlah rintangan, melainkan kekayaan yang memperkuat fondasi demokrasi. Basis kultural dan perbedaan keyakinan, strata sosial dan identitas sosial justru semakin membentuk watak demokrasi yang fluralistik.
Karena itu, dalam proses membangun demokrasi yang inklusif, kesadaran kolektif warga negara perlu disentuh melalui edukasi yang lebih massif, karena keberhasilan sebuah demokrasi bukan sebatas melahirkan pemimpin disetiap jenjang proses politik (pemilu; Pilpres, Pileg dan Pilkada) tetapi lebih dari itu demokrasi diharapkan tumbuh karena kesadaran kolektif dari setiap warganegaranya dalam bentuk partisipasi aktif dalam proses politik sebagai bentuk kewajiban moral dalam demokrasi.
Namun disisi yang lain inklusivitas demokrasi juga membutuhkan sikap dan komitmen yang kuat dari pemimpin politik termasuk pemerintah, penegak hukum sebagai upaya untuk meneguhkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat. Membangun toleransi (antar agama, maupun manusia) sebagai perekat dasar dalam demokrasi. Sekalipun secara kritis, politik elektoral (keterpilihan dalam politik) bukanlah puncak tertinggi dalam pencapaian demokrasi, sehingga masih sangat dibutuhkan kehangantan ber-warganegara dengan baik. tatanan yang aman dan kondusif menjadi penting untuk membaca landscap demokrasi.
Karena itu, perangkat budaya, agama, ras dan etnik sangat penting untuk dihadirkan dalam frame demokrasi. Akar budaya, agama dan ras paling tidak menjadi sokoguru kokohnya demokrasi di bangsa yang sangat pluralitas ini. Indonesia salah satu negara demokratis kelima di dunia, sehingga dengan basis kultural mnejadikan indeks demokrasi kita tumbuh dan berkembang setelah mengalami masa-masa distrust publik. Ini tidak mudah, tetapi dengan komitmen politik yang kuat, tidak tertutup kemungkinan demokrasi kita akan semakin membaik. []
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Penulis Buku, Kritikus sosial dan politik, Penggiat Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
INKLUSIVITAS DI TENGAH DEMOKRASI ELEKTORAL
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar