Breaking News

KAMPUS DIPENUHI PASAR, DAN PASAR DIPENUHI MAHASISWA


(Sebuah Fenomena keterasingan idealisme)

Memang tidak mudah menyandang predikat sebagai masyarakat ilmiah--walau dalam pandangan sosioantropologi masyarakat itu seringkali tersematkan pada profesi, pekerjaan dan status sosail lainnya. Pada perkembangan teori-teori sosial dan segala dampak yang ditimbulkannya, maka juga pada akhirnya mendorong perspektif lain pada siklus perkembangan masyarakat. 

Ibnu Khaldun, pada beberapa kesempatan dalam tulisan-tulisannya (Mukaddimah) memberi arahan sekaligus tujukan pada siklus masyarakat dan berbagai status sosial yang ditimbulkannya. Demikian pula Emile Durkheim yang melihat problem sosial yang kadan ditimbulkan karena status sosial dimasyarakat. Dan pada sisi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban ummat manusia, dari artefak hingga ditemukannya tulisan manandai satu babakan kemajuan manusia dan pengetahuannya. Sejalan dengan itu pula maka sulit dihindari adanya berbagai perspektif yang dikhotomis terhadap perkembangan masyarakat yang secara dinamis terus mengalami perubahan. 

Seiring dengan perspektif itu pula, kita pada akhirnya juga mengenal satu “istilah modern” yakni adanya klaster baru yang dikenal dengan kelompok masyarakat ilmiah. Tentu yang dimaksud dengan masyarakat ilmiah adalah kelompok terpelajar, yang memandang suatu kebenaran itu melalui suatu kerangka proses pengujian, penelitian, analisis, hipiotesis dan sampai pada satu kesimpulan akan kebenaran itu sendiri. Sehingga dari sini kita bisa memahami kalau kemudian masyarakat ilmiah itu adalah “Sofis people” atau masyarakat berfikir. Dan masyarakat berfikir sangat identik dengan dunia perguruan tinggi atau kampus dimana proses dialektika ilmu pengetahuan itu terjadi antara civitas akademika--mahasiswa dan dosen. 

Bersoal tentang mahasiswa, apalagi dengan predikat yang melekat sebagai “masyarakat ilmiah”  itu tidak mudah, dan itu berat. Dalam pengertian mudah untuk menjadi seorang mahasiswa, dengan syarat yang cukup sederhana, punya ijazah SMA/SMK sederajat, terdaftar diperguruan tinggi, maka secara administratif seseorang sudah jadi mahasiswa. Beratnya, adalah bagaimana menjalankan fungsi dan tugas secara fundamental sebagai mahasiswa. Sebab fungsi dan tugas mahasiswa adalah ia (1) sebagai agent of change, tentu sebagai agen perubahan mahasiswa dituntut tampil sebagai garda terdepan dari setiap perubahan-perubahan sosial yang ada. Sejarah gerakan mahasiswa atau civil society seperti Disobedience movement di Argentina tahun 1974 yang dikenal dengan Tragedy Imagining Argentina dengan perlawanan terhadap diktator. Di Taiwan kita kenal Joshua yang memimpin Umbrella Revolution sebagai gerakan menentang kapitalisme dalam praktek ekonomi yang monopolistik. Bahkan gerakan-gerakan mahasiswa Indonesia yang terekam dari fase sejarah dari 1908 sampai reformasi 1998. 

(2) Sebagai agent of social control, fungsi ini sangat vital, sebab sebagai seorang mahasiswa selalu dihadapkan pada situasi tertentu yang memungkinkan ia harus bertindak kritis terhadap berbagai fenomena termasuk kebijakan-kebijakan yang cendrung despotik dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Posisi ini memungkinkan daya kritik itu muncul sebagai bentuk respon terhadap fakta-fakta sosial yang ada. Peran ini bisa dibilang sebagai the political forces bagi seorang mahasiswa. (3) Sebagai agent of modernize and developmentalisme, peran ini sangat dipengaruhi penguatan ide-ide dan pengetahuan mahasiswa terhadap isu-isu yang berkembang yang memungkinkan mengarah pada inovatif, kreativitas, serta challenges bagi mahasiswa untuk terlibat dalam kemajuan peradaban dan pembangunan. 

Dan mahasiswa telah lama dianggap sebagai kelompok intelektual yang memiliki peran penting dalam masyarakat, terutama dalam menjalankan fungsi sebagai pengontrol sosial. Sejak era pergerakan nasional diberbagai negara, mahasiswa sering kali menjadi penggerak utama dalam menentang pemerintahan yang otoriter, memperjuangkan keadilan, dan menuntut perubahan sosial, serta berupaya memperjuangkan nilai-nilai yang populis ditengah masyarakat dan negara. Contoh klasik dari peran ini dapat dilihat dalam revolusi mahasiswa di Prancis pada tahun 1968, gerakan mahasiswa di Indonesia yang menjatuhkan rezim Orde Lama pada 1966 dan Orde Baru pada 1998, serta berbagai gerakan protes mahasiswa di Amerika Serikat yang menentang Perang Vietnam pada 1960-an. Peran ini menegaskan bahwa mahasiswa, dengan idealismenya yang masih segar, sering kali menjadi suara kritis yang mampu mempengaruhi kebijakan publik dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Sehingga fungsi sosial kontrol mahasiswa ini lahir dari idealisme mereka yang cenderung menolak status quo dan berani menantang ketidakadilan. Sebagai generasi muda yang belum terlalu terikat oleh kepentingan politik atau ekonomi, mahasiswa memiliki kebebasan relatif untuk memperjuangkan nilai-nilai universal seperti demokrasi, keadilan, dan hak asasi manusia. Dalam sejarah, gerakan mahasiswa sering kali menjadi ujung tombak perubahan politik yang signifikan, baik itu dalam menentang penjajahan, menggulingkan rezim otoriter, atau menuntut reformasi sistem sosial yang lebih adil. Peran ini telah menjadikan mahasiswa sebagai salah satu kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam mengarahkan jalannya pemerintahan dan kebijakan publik di berbagai negara, termasuk akselerasi demokrasi yang lebih baik. 

Namun, peran mahasiswa sebagai pengontrol sosial ini dapat terganggu ketika pragmatisme mulai mendominasi cara berpikir mereka. Pragmatisme, yang menekankan pada hasil praktis dan efisiensi, sering kali bertentangan dengan idealisme yang mendasari fungsi sosial kontrol mahasiswa. Ketika mahasiswa menjadi lebih pragmatis, oportunis, fokus mereka cenderung beralih dari memperjuangkan kepentingan umum ke mengejar tujuan pribadi, seperti mendapatkan pekerjaan yang stabil, menyelesaikan studi dengan cepat, dan mencapai kestabilan ekonomi, alih-alih dekat dengan kekuasaan. 

Pergeseran ini dapat mengurangi partisipasi mahasiswa dalam kegiatan sosial politik, seperti demonstrasi, diskusi kritis, atau advokasi kebijakan, karena mereka lebih memilih jalur yang dianggap lebih aman dan menguntungkan secara pribadi. Akibatnya, fungsi sosial kontrol mahasiswa sebagai pengawas kebijakan pemerintah dan pembela hak-hak masyarakat bisa melemah atau bahkan hilang sama sekali. Mahasiswa yang pragmatis cenderung lebih pasif dan kurang kritis terhadap kebijakan publik, sehingga memberikan ruang bagi pemerintah untuk bertindak tanpa pengawasan yang memadai dari kelompok intelektual muda ini. 

Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan kebijakan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang tidak terdeteksi atau tidak mendapatkan perlawanan yang cukup kuat dari kalangan akademisi. Tanpa adanya tekanan dari mahasiswa, yang biasanya berperan sebagai kelompok independen yang tidak terpengaruh oleh kepentingan politik atau ekonomi, pemerintah dapat lebih leluasa menjalankan kebijakan-kebijakan yang mungkin merugikan masyarakat. Lebih jauh lagi, pragmatisme yang berlebihan dapat mengikis solidaritas antar mahasiswa dan memecah gerakan kolektif mereka. Ketika setiap individu lebih fokus pada kepentingan pribadi, sulit untuk membangun gerakan sosial yang kuat dan terorganisir. Gerakan mahasiswa yang dulu solid dalam memperjuangkan perubahan sosial dapat terfragmentasi menjadi kelompok-kelompok kecil yang tidak memiliki visi bersama. Hal ini membuat gerakan sosial mahasiswa menjadi kurang efektif dalam melakukan advokasi atau menekan pemerintah. Tanpa kekuatan kolektif yang terorganisir, mahasiswa kehilangan daya tawar politik mereka dan peran mereka sebagai pengontrol sosial melemah.

Sehingga penting untuk diingat bahwa dalam sejarah, idealisme mahasiswa telah menjadi motor penggerak berbagai perubahan besar. Idealisme memberikan kekuatan moral dan keberanian bagi mahasiswa untuk berdiri melawan ketidakadilan, bahkan ketika itu berarti menghadapi risiko pribadi. Tanpa idealisme, mahasiswa bisa saja kehilangan tujuan besar yang mengarahkan mereka untuk terlibat dalam isu-isu sosial dan politik yang lebih luas.  Jika pragmatisme terlalu mendominasi, ada risiko bahwa mahasiswa akan menjadi generasi yang apatis, yang lebih peduli pada kesuksesan pribadi daripada memperjuangkan perubahan sosial yang lebih luas. Ini tidak hanya akan melemahkan fungsi sosial kontrol mereka, tetapi juga bisa berakibat pada stagnasi dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan demokratis.
Idealisme mahasiswa dipersimpangan
Mahasiswa adalah kelompok intelektual muda yang sering kali berdiri di garda terdepan untuk menyuarakan arti penting demokrasi dan memperjuangkan ketidakadilan. Sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa dari waktu ke waktu senantiasa memainkan peran kunci dalam melakukan kritik dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Baik secara individual maupun kelembagaan, mahasiswa tidak pernah surut memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas dan diperlakukan semena-mena oleh para pemilik kekuasaan dan kepentingan. Idealisme mahasiswa selalu muncul, dan menempatkan mereka sebagai kelompok yang tak mudah dipatahkan oleh regulasi maupun ancaman senjata.
Pada masa Kebangkitan Nasional Budi Oetomo tahun 1908, era Sumpah Pemuda tahun 1928, era Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 hingga awal Orde Baru tahun 1966, dan pada masa Orde Reformasi tahun 1998, mahasiswa adalah ujung tombak perjuangan. Di Orde Reformasi, berkat gerakan mahasiswa yang tak kenal lelah, suksesi kepemimpinan nasional pun berhasil diwujudkan. Orde Reformasi adalah sebuah masa yang membuktikan betapa kuat tuntutan dan kekuatan mahasiswa ketika mereka bersatu. 

Pergeseran nilai

Memasuki era pasca-Reformasi, peran gerakan mahasiswa tak juga surut. Setiap muncul masalah yang dianggap meresahkan di kalangan elite politik, tak satu-dua kali gerakan kepedulian mahasiswa kembali menyeruak. Sebagai bagian kelompok intelektual dari kampus, mahasiswa tidak pernah kendur menyuarakan idealisme. Di berbagai kampus, mahasiswa tak segan langsung turun ke jalan ketika merasa ada sesuatu yang salah dari kehidupan politik yang ditampilkan elite politik. Ketika muncul fenomena politik dinasti, misalnya, bersama para guru besar, dosen, dan aktivis yang peduli, mahasiswa pun turun ke jalan menggelar aksi untuk menentang hal-hal yang dinilai dapat merusak demokrasi.
Mahasiswa intinya tidak akan pernah mundur dari idealisme dan semangatnya untuk berjuang demi bangsa dan negara. 

Meski demikian, pola gerakan mahasiswa sebetulnya tidak pernah sama. Dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa melihat ada pergeseran pola gerakan mahasiswa yang muncul di lapangan. Gerakan mahasiswa tidak lagi semata hanya berkutat pada mekanisme kontrol dan memperjuangkan aspirasi rakyat melalui aksi-aksi unjuk rasa di jalan. Mahasiswa yang didominasi generasi Z tampil dengan sosok yang agak berbeda. Tidak semua mahasiswa masuk dalam kelembagaan atau organisasi massa. Tidak sedikit mahasiswa memilih mengambil jarak dengan aktivitas politik dan kemudian lebih menyibukkan diri dengan kegiatan keseharian yang berbasis hobi, seni, dan kepentingan sosialnya masing-masing.
 
Keterlibatan mahasiswa dalam aksi demo dan gerakan politik praktis di berbagai kampus cenderung menurun. Mahasiswa tidak lagi antusias terlibat dalam unjuk rasa. Kakak-kakak senior mahasiswa yang di masa orientasi penerimaan mahasiswa baru tak pernah bosan untuk melakukan pembinaan politik, sering kali gagal meraih simpati mahasiswa baru.

Sekali lagi, sebagai bagian dari generasi Z, mahasiswa saat ini memiliki orientasi yang berbeda. Dalam banyak kasus, mahasiswa di era postmodern seperti sekarang ini lebih banyak menghabiskan waktu untuk aktivitas pleasure daripada aktivitas politik praktis.
Menyikapi penurunan gairah mahasiswa terlibat dalam gerakan-gerakan politik praktis, tentu wajar jika membuat kelompok mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi terhadap nasib bangsa menjadi waswas. Bagi kelompok ini, mahasiswa yang ideal seharusnya memiliki kepekaan yang lebih kuat terhadap nasib rakyat yang tertindas. Bagi mahasiswa kelompok ini, mahasiswa bukan sekadar memiliki peran sebagai agen of social change, tetapi juga sebagai kekuatan social control.

Mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang mampu mengembangkan diri sebagai kekuatan moral atau guardian of value. Berbeda dengan mahasiswa yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk berselancar di dunia maya, mencari infotainment dan info-info kehidupan selebritas lainnya, mahasiswa yang kritis umumnya lebih tertarik menghabiskan waktu untuk mencari informasi soal ketidakadilan dan penindasan. Ini adalah ciri dari kelompok mahasiswa yang idealis.

Tidak ada yang keliru ketika ada mahasiswa yang memilih rute menjadi aktivis politik dan gencar menyuarakan ketidakadilan. Menjadi aktivis politik, menjadi buzzer, menjadi pekerja sosial, menjadi dosen, guru, karyawan swasta, dan sebagainya, semuanya adalah pilihan yang harus dihormati. Seorang mahasiswa yang memiliki keberanian lebih dan kemudian memilih menjadi aktivis politik yang tak mundur lawan tantangan, tentu patut diapresiasi. Akan tetapi, bukan berarti mahasiswa dan intelektual kampus yang memilih rute berbeda lantas bisa distigma sebagai orientasi gerakan yang salah atau hanya gerakan second class.

Memasang papan ucapan selamat kepada presiden dan wakil presiden yang sudah dilantik secara sah dengan menggunakan narasi yang kasar, bagi sebagian pihak mungkin dianggap bentuk ekspresi keberanian dan sudah seharusnya diapresiasi. Akan tetapi, bagi kelompok yang lain, penggunaan narasi yang kasar dan tidak sesuai dengan habitus akademik, sebetulnya juga perlu dikaji ulang. Penggunaan narasi kasar untuk menyampaikan aspirasi politik mungkin menjadi jalan pintas untuk meraih popularitas karena menjadi lebih mudah viral.

Kebiasaan beberapa tokoh yang kerap mengeluarkan narasi atau diksi yang kasar, dari segi pemberitaan mungkin lebih seksi dan menarik bagi wartawan. Namun, saya pribadi berpendapat bahwa ruang diskusi di dunia akademik sesungguhnya akan lebih elok jika dibangun melalui narasi-narasi yang sopan tapi tetap berbobot. Paling tdak melibatkan diri dalam membentuk academic writing bagi civitas akademik untuk mengmbangkan budaya literasi membaca dan menulis, bukan sebatas mengugugrkan kewajiban ; dosen mengajar, mahasiswa belajar, atau dosen memberi, mahasiswa cukup menerima. Antonio Gramsci misalnya niscaya tidak menjadi teoritisi dan aktivis gerakan politik kalau ia tidak menuangkan pemikirannya dalam karyanya yang terkenal, Prison Notebooks karena ia menulis dan membaca. 

Namun ditengah gempuran transformasi informasi yang tak mengenal ruang dan waktu, maka peran dan posisi mahasiswa pun kian bergeser jauh, yang dulunya ditempa dengan cara berfikir kritis, menjadi agen perubahan, justru saat-saat ini sebagian menjadi generasi rebahan, dan acapkali cuek dengan isu-isu sosial yang berkembang. 

Kampus, pasar dan mahasiswa
Meningat kembali pesan singkat dari Tan Malaka yang mengatakan bahwa “idealisme adalah kemuliaan terakhir yang dimiliki mahasiswa”, dan bagi saya justru idealisme seorang mahasiswa adalah “toga tertinggi” yang dimiliki oleh seorang mahasiswa. Namun berkaca dari fakta hari ini, yang seyogyanya kampus itu adalah tempat berkumpulnya “pikiran dan gagasan” malah jauh dari harapan. Dunia diskusi dalam kampus semakin sepi, dialektika sebagai ruang pertengkaran ide dan gagasan juga mengalami stagnasi, kultur akademik keropos yang diakibatkan oleh kebijakan kampus terhadap mahasiswa yang sedikit mengekang, atau boleh jadi mahasiswa memilih jalan apatis, apriori dan skeptis dengan dunia kelembagaan mahasiswa, semua itu adalah kompleksitas dari fenomena kampus hari-hari ini. 

Di tengah melemahnya agenda kritis mahasiswa, justru yang muncul adalah perilaku “pasar” yang dipenuhi dengan berbagai transaksi. Pasar yang cendrung menampilkan berbagai aneka ragam assesories dan pernak-pernik kebutuhan style dan fashion. Kita tak lagi menemukan isi tas mahasiswa yang dipenuhi buku-buku, tetapi lebih dipenuhi alat-alat kecantikan. Tampilan aktivis berubah menjadi “para model”.

Kondisi kampus pun berubah menjadi seperti pasar—diantara mahasiswa tak lagi berbincang sesama rekan mahasiswanya tentang soal-soal yang aktual, tetapi lebih banyak memperbincangkan tentang harga sepatu di shoopee, harga lipstik di Lazada, harga jaket korea di Bukalapak, harga pakaian di market dan platform belanja online nya. menohok. Ideologi hedonisme berhasil menggerogoti kelompok mahasiswa yang pada akhirnya merubah perilaku dan watak yang kritis menjadi alay dengan berbagai pose dan dandanan yang menohok.  Demi fashion dan style mereka mampu beli, sementara buku secara terus menerus dianggap mahal. 

Demikian pula sebaliknya “pasar” pun dipenuhi oleh mahasiswa, dengan gaya hedonisme ini kemudian pada akhirnya menyeret mahasiswa menjadi kelompok masyarakat konsumtif. Perubahan besar dalam tubuh perguruan tinggi tanpa disadari berubah secara drastis yakni “masyarakat ilmiah berubah menjadi masyarakat konsumtif” walaupun masyarakat konsumtif tidak seleuruhnya salah, tetapi ia memberi pengaruh terhadap perilaku masyarakat itu sendiri. Nah terkait pasar yang dipenuhi oleh mahasiswa, tentu menjadi tantang terberat untuk mengembalikan citra diri kampus sebagai basis utama intelektualitas dan peradaban ilmu pengetahuan dibangun. Bila siklus ini terus menerus bertahan, maka (bisa jadi) kampus hanya memproduksi sarjana tetapi miskin pikiran—karena perilaku hedon itu membuatnya kehilangan “sense of crisis”

Maka dengan demikian, peran perguruan tinggi diharapkan untuk mengembalikan citra dan peran civitas akademika terutama peran-peran mahasiswa sebagai agen perubahan.  Sebab bila hal ini dibiarkan maka kampus kehilangan eksistensinya sebagai ruang munculnya suara kebenaran, dan bisa dipastikan kampus juga turut hadir membunuh kebenaran itu sendiri. Kata Nietzsche dalam bukunya “God is death” Tuhan telah mati, bila kebenaran disenyapkan. Dan itulah cara terkejam membunuh “Tuhan” sebab membunuh kebenaran juga membunuh Tuhan. ***

Epilog ; “Tidak ada kemewahan bagimu, disaat engkau jadi mahasiswa, tetapi lebih banyak shooping ketimbang demonstrasi”---(Saifuddin Al Mughniy)

Oleh: Saifuddin
(Dosen, Penulis Buku, Kritikus Sosial Politik, Penggiat Demokrasi)
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

KAMPUS DIPENUHI PASAR, DAN PASAR DIPENUHI MAHASISWA KAMPUS DIPENUHI PASAR, DAN PASAR DIPENUHI MAHASISWA Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar