MENGUBUR REPUTASI
Belakangan ini kita dikejutkan hasil rilis dari satu lembaga riset yang berbasis jurnalis investigasi yakni Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang bermarkas di Belanda. Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) memasukkan nama Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo dalam daftar nominasi finalis tokoh kejahatan terorganisasi dan terkorup 2024.
Menurut OCCRP, alasan Joko Widodo bersama sejumlah nama pemimpin negara lainnya yang terpilih sebagai finalis tokoh terkorup, adalah berasal dari nominasi publik yang mendapatkan dukungan daring terbanyak secara global. Karenanya dianggap memiliki alasan untuk diikutsertakan.
OCCRP dalam keterangannya menjelaskan bahwa tidak memiliki kendali atas siapa yang dinominasikan, karena saran datang dari orang-orang di seluruh dunia. Salah satunya, OCCRP memasukkan nama Joko Widodo sebagai tokoh terkorup karena banyak menerima kiriman surat elektronik (Surel). Namun OCCRP mengakui, tidak semua nominasi didukung oleh bukti yang cukup untuk membuktikan adanya tindakan korupsi besar atau pola penyalahgunaan kekuasaan secara konsisten. Seharusnya ini jadi peringatan bagi mereka yang dinominasikan bahwa masyarakat sedang mengawasi dan mereka peduli, jelas OCCRP.
Di era pemerintahan Jokowi, ada semacam pameo yang berkembang di kalangan tertentu tentang Jokowi dan para pendukungnya. Kira-kira bunyinya begini. Ada tiga kelompok yang tak bisa atau sangat sulit sekali untuk dinasehati. Pertama adalah orang yang sedang marah. Kedua adalah orang yang sedang jatuh cinta. Dan ketiga adalah pendukung Jokowi (meminjam tulisan Jannus TH Siahaan)
Boleh jadi banyak pendukung Jokowi yang akhirnya balik badan hanya dalam beberapa tahun pemerintahannya berjalan, termasuk tiga orang yang di akhir tahun lalu, menjadi narasumber utama film dokumentar bertajuk “Dirty Vote”. Dengan kata lain, tidak semua pendukung Jokowi keras kepala. Namun, esensi dari pameo di atas adalah bahwa barang siapa yang mencoba mengkritik Jokowi, akan berhadapan dengan beberapa tembok.
Itulah awal cerita dari pameo tersebut. Tembok pertama adalah tembok yang seolah-olah merepresentasikan suara rakyat kebanyakan. Daftar Tokoh Paling Korup pada 2024 Versi OCCRP Hal itu bisa terjadi karena selama ini Jokowi memang diidentifikasi sebagai perwakilan nonelite yang “climb the ladder” dengan latar “bukan dari lingkaran oligarki politik yang telah menguasai perpolitikan Indonesia sejak era Orde Baru dan Reformasi”. Jokowi diidentikkan dengan “tetangga kita” alias orang biasa yang diasosiasikan sebagai bagian dari kita. Karena itulah mengapa tagline-nya “Jokowi adalah kita”.
Padahal identifikasi ini secara politik cukup berbahaya sebenarnya. Pasalnya, untuk menjadi seorang pemimpin idealnya dibutuhkan kualifikasi yang tidak mudah dengan rentang perjalanan dan pengalaman yang juga tidak pendek. Tidak cukup hanya dengan status sosok yang setara dengan tetangga saya atau tetangga Anda. Jika menyepelekan hal itu, ditakutkan nantinya malah sangat “underqualified”, karena siapa saja bisa menjadi tetangga saya dan Anda, lalu ujung-ujungnya malah merusak negara di akhir kekuasaan pemerintahannya.
Tembok kedua adalah buzzer. Entah Jokowi secara personal atau Jokowi sebagai seorang presiden (saat itu), diakui atau tidak, memiliki buzzer yang sangat banyak. Sampai hari ini belum terlalu terungkap siapa dalang ‘beternak’ buzzer sejak 2014 lalu, sehingga sepanjang 10 tahun pemerintahan Jokowi, jumlahnya sudah masuk kategori memusingkan kepala di satu sisi dan mendelegitimasi banyak pandangan rasional dan ilmiah para pakar di sisi lain. Dengan kata lain, pendapat profesor dan pakar pun bisa mentah di hadapan para buzzer, jika itu ternyata bertentangan dengan Jokowi dan pemerintahannya atau bertentangan dengan kepentingan gerbong-gerbong yang ada di belakang Jokowi. Pertanyaannya apakah buzzer-buzzer itu adalah ternakan Jokowi?
Dalam situasi yang seperti ini kemudian muncul pertanyaan susulan tentang OCCRP. OCCRP, yang bagi sebagian besar orang Indonesia bukanlah siapa-siapa, dipastikan akan dirujak sedemikian rupa, karena berani-beraninya untuk menobatkan seorang Jokowi sebagai orang nomor dua terkorup di dunia. Pada tembok pertama, boleh jadi penobatan OCCRP yang berasal dari voting online dan pendapat para pakar tersebut bisa berkeliaran bak peluru nyasar.
Tapi sebagian masyarakat yang telah “move on” dari Jokowi dan sedang mencoba meraba-raba peluang untuk mendapatkan kehidupan lebih baik di bawah pemerintahan Prabowo Subianto akan menanggapinya dengan senyuman, tepatnya perpaduan antara senyuman sinis dan getir. Apalagi jika selama 10 tahun terdahulu mereka adalah pendukung Prabowo Subianto sejati.
Klarifikasi OCCRP soal Jokowi Masuk dalam Daftar Tokoh Terkorup 2024 Namun, bagi masyarakat yang memang masuk kategori “tetangga Jokowi” tadi, tentu akan muncul rasa marah dan tidak menerima, tapi merasa sudah tidak kontekstual lagi untuk meresponsnya secara agresif layaknya seperti di masa 10 tahun pemerintahan Jokowi.
Bahkan lebih parahnya adalah buzzer pembela Jokowi di tahun 2014 dan 2019 justru membelok menyoroti perilaku Jokowi dan keluarganya. Justru yang ada ada adalah sekelompok orang yang membela dengan hanya menarasikan bahwa semua itu adalah kerjaan :Barisan sakit hati” bahkan ada yang menuduh kalau PDIP memakai OCCRP untuk menjatuhkan kredibiltas Jokowi. Tentu narasi tersebut begitu dangkal hanya untuk memela seorang Jokowi. Seharusnya Jokowi harus melakukan upaya perlawanan hukum bila rilis OCCRP itu tidak benar dan cendrung memfitnah, ada ruang hukum untuk melakukannya.
Ancaman Reputasi
Tingkat kepuasan publik yang dibangun akhir masa jabatan seperti menegasikan sebagai pemimpin yang berhasil tanpa jejak yang hitam seperti korupsi, walau secara kasat mata perusakan hukum, demokrasi, tingginya angka korupsi diberbagai level pemerintahan, nepotisme—menjadi instrumen untuk melihat jejak prilaku rezim Jokowi selama 10 tahun. Bagaimana praktek hukum yang cendrung tajam kelawan tapi tumpul kekawan. Fenomena ini pada akhirnya menjadi “bom waktu” bagi Jokowi untuk terus menerima tekanan dan sorotan secara politik baik dari publik maupun dari rival politiknya.
Sehingga penobatan dari OCCRP ini semakin menyudutkan Jokowi dan keluarganya baik dimata publik maupun dimata dunia internasional. Bahkan ini ancaman hancurnya reputasi Jokowi yang sudah dibangun selama ini. Ini tak semata soal korupsi uang, tetapi mengacu pada kata “Corruptus” yang artinya menghancurkan, menghancurkan sendi-sendi hukum, demokrasi, politik, hanya/demi anak, keluarga dan kolega. Dan tragedi itu dua tahun sebelum masa jabatan Jokowi berakhir itu terjadi, bahkan cawe-cawe di Pilpres dan Pilkada serentak semua itu menjadi akumulasi dari praktek “Corruptus”. Suara publik pada akhirnya memberi pengaruh terhadap posisi Jokowi dimata dunia terkait nominasi dari OCCRP.
Sikap Prabowo
Tentu pemerintahan Prabowo Subianto tidaklah mudah dengan memikul berbagai beban masa lalu seperti hutang yang menumpuk, IKN, APBN yang defesit, angka korupsi yang tinggi, pelemahan KPK, dan rusaknya hukum ditangan hakim ; faktanya vonis kasus timah 300 T yang dijatuhkan Harvey Moeis hanya 6,5 tahun. Kemarahan Prabowo sebagai presiden terlihat disatu acara yang menyoroti putusan tersebut dan ia mengatakan kalau bisa 50 tahun.
Konsistensi Prabowo Subianto untuk menciptakan pemerintahan yang bersih sebagai langkah politik yang baik. Dan publik berharap presiden mampu melakukan itu dengan mengingat disekeliling istana (kabinet) begitu banyak yang tersandera kasus korupsi yang telah mandeg di KPK. Konsisitensi Prabowo tidak cukup untuk membersihkan pemerintahan dari korupsi, tetapi butuh penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan kepolisian yang punya integritas dan jiwa independensi.
Posisi Jokowi dalam rilis OCCRP sebagai runner up sebagai pemimpin terkorup 2024 tentu menampar Prabowo Subianto dan Indonesia dimata dunia internasional. Dan hal ini bisa berbahaya bagi investor untuk masuk ke Indonesia mengingat kategoris ini. Prabowo tidak sedang dalam posisi dilematis, tetapi sedang dalam timbang-menimbang, dan boleh saja ini menjadi asbab bagi Prabowo untuk melepaskan bayang-bayang Jokowi. Apalagi dengan adanya perang terbuka antara Jokowi dengan PDIP yang berimbas dengan tersangkanya Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP) dalam kasus suap Harun Masiku.
Apakah kemudian Prabowo tetap dalam bayang-bayang Jokowi, tetapi dengan melawan Megawati (PDIP), atau memilih bergandengan tangan dengan PDIP, lalu melepaskan Jokowi. Sebab bagaimana pun penobatan Jokowi sebagai pemimpin terkorup didunia, sekaligus mengubur reputasinya yang selama ini dicitrakan dengan kebaikan.
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, penulis buku, Peneliti, Kritikus sosial politik dan penggiat demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
MENGUBUR REPUTASI
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar