RATIFIKASI KESEPAKATAN, Israel Gagal Usir Hamas
AMBIVALEN menyelimuti sidang Kabinet Israel. Antara "menjilat ludah" kembali, gengsi, dan melanjutkan perang dengan Hamas.
Rencana Kamis, berubah ke Jumat. Dibuatlah satu asumsi. Penundaan karena Hamas tidak konsekwen, yang kemudian dibantah Hamas.
Tak ada masalah dengan draf Trio: Mesir-AS-Qatar. Sejak awal, Hamas setuju. Draf menarik seluruh IDF dari Gaza, mundur dari Poros Netzarim yang membelah Gaza jadi dua, dan mundur dari lorong Philadelphia. Itu substansi!
Pukul 19.00 waktu Jerusalem, 32 anggota Kabinet Perang Israel telah berkumpul. Selama enam jam perdebatan sengit terjadi. Kecemasan akan terulang peristiwa 7 Oktober 2023 menghantui delapan anggota kabinet Israel.
Perdamaian, tanpa kemenangan adalah perdamaian terpaksa dalam pikiran delapan anggota kabinet. Perdamaian, tanpa kekalahan Hamas adalah "kemenangan bohong".
Kemenangan, dengan kematian 46.000 lebih 'orang' Palestina, bukan kemenangan substantif. Justru, kematian ini, sebentuk "kekalahan" terstruktur Israel yang akan dikenang dunia sebagai "holocaust" di abad milenial.
Sebelum peristiwa 15 bulan perang Gaza. Kaum Yahudi adalah korban 'holocaust' Perang Dunia II. Tidak kurang dari enam juta orang Yahudi tewas oleh kekejaman Nazi Jerman.
Kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina, menerawangkan dunia pada apa yang pernah mereka alami oleh Adolf Hitler (Nazi).
Dunia cemas. Takut-takut, Kabinet Israel tak jadi meratifikasi gencatan senjata enam Minggu. Yang akan dimulai hari Minggu (19/1).
Apalagi, yang terjadi di Jalur Gaza telah mencederai peradaban manusia modern. Jumlah 46.000 lebih, dan ribuan tertimbun bangunan, serta ratusan ribu terluka, adalah sebentuk kerentanan.
Pelakunya (Israel), tersirat mengatakan. Perbuatan itu adalah bagian dari tindakan kebenaran dan membela diri. Israel enggan melihat kembali sejarah ke belakang, mengenang Deklarasi Balfour, atau peristiwa Nakhba.
Terkesan, dengan menyebut Hamas dan bangsa Palestina yang menuntut dan memperjuangkan haknya, sebagai "teroris". Israel telah membentuk batasan moralnya sendiri. Atau membuat terminologi moral versi dirinya sendiri.
Sejarah peperangan 1948, 1967, dan 1973 yang melibatkan Bangsa Palestina dan Israel, bisa memberi pelajaran tentang Kebohongan dan kejujuran.
Sayangnya ketidakjujuran. Menyangkut terusirnya bangsa Palestina, telah dianggap sebagai relasi sosial normal. Dalam pola "patron-client', Israel adalah benar. Palestina (Hamas) salah! Hamas (Palestina) adalah teroris! Sementara Israel bukan!
Relasi sosial, suksesnya diaspora Bangsa Yahudi di AS dan Eropa, seperti AIPAC dan J-Street. Berperan penting, menciptakan keuntungan efektif, men-stempel perjuangan rakyat Palestina (Hamas, Fatah, PFLP, PIJ). Sebagai tindakan terorisme.
Kegagalan tekad PM Benyamin Netanyahu membuat "finishing touch" (mengusir Hamas), dan bukti bersipat anekdot, empiris, serta faktual di Gaza. Telah merubah perilaku masyarakat dunia dalam menilai Israel dan Hamas.
Sebelum peristiwa "Banjir Al-Aqsa". Israel sering menggunakan "isyarat verbal" dalam menutupi tindakan represifnya kepada rakyat Palestina di Tepi Barat (West Bank). Dan, berhasil memberi image bahwa itu membela diri, menjaga keamanan negara dari tindakan teror.
Sayangnya Israel "out of control". melebihi batas "reasonable" (kelayakan). Israel terpancing emosi berlebihan dan "membabi buta".
Rumah Sakit, sekolah, jurnalis, Bantuan PBB, UNRWA, LSM, semua dihancurkan. Wanita dan anak-anak tak pandang bulu. Mereka terbantai dengan darah berceceran.
Tak urung kemudian International Court Justice (ICJ) mencap PM Benyamin Netanyahu dan mantan Menhan Israel Joav Gallant terlibat kejahatan perang.
Di situlah Hamas (Palestina) berada di titik kemenangan. Image dan asumsi dunia berubah. Terlebih video-video, foto-foto mengerikan yang terjadi pada anak-anak dan wanita beredar luas di media sosial.
Banyak pertanyaan! Mengapa Israel akhirnya setuju dengan draf lama, yang notabene terikat perjanjian dengan Hamas? Bukankah perdamaian baru ada, bila Hamas telah terusir dari Gaza?
Jam menunjukkan pukul 01.00 waktu Jerusalem. Ruang pertemuan Kabinet masih terlibat diskusi. Bazalel Smotrich, Ittamar Ben-Gvir, David Amsalem, serta lima Menteri lain mengangkat tangan. Tidak setuju berdamai! Hamas belum terusir! Mereka akan mengulangi tindakan terorisme!
Palu tetap diketuk. Tanda "yes" gencatan senjata selama enam minggu (fase-I) disetujui. Suara mayoritas, 24 Menteri setuju meratifikasi gencatan senjata, yang akan dimulai Minggu (19/1).
Menteri Dalam Negeri Moshe Arbel, Menteri Luar Negeri Gideon Sa'ar, Ze'ev Elkin, Menteri Kebudayaan dan Olahraga Miki Zohar, Menteri Pendidikan Yoav Kisch, Menteri Pelayanan Keagamaan Michael Malkieli, Menteri Perumahan Yitzhak Goldkanopt, yang berasal dari sejumlah partai koalisi, sepakat berdamai.
Saya lebih meyakini. Perdamaian ini bisa diratifikasi oleh Israel lewat sejumlah partimbangan. Bukan hanya, karena tekanan Donald Trump, atau oleh Presiden AS Joe Biden.
Tapi, lebih pada compang-campingnya kredibilitas Israel di mata Internasional. Sementara kematian 46.000 rakyat Palestina, sejak awal diyakini adalah gerbang menjatuhkan moral Israel. Sekaligus menghapus stempel terorisme pada bangsa Palestina (baca:Hamas).
Bagi Hamas, itu bukan kekalahan. Justru adalah kemenangan.Buktinya, Israel tak mampu mengalahkan mereka. Israel memyetujui tuntutan Hamas di sejumlah klausul. (***).
Oleh: Sabpri Piliang
Wartawan Senior
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
RATIFIKASI KESEPAKATAN, Israel Gagal Usir Hamas
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar