Breaking News

Pekalongan Kota Sampah? Auto-Kritik atas Kegagalan Pemerintah dalam Skandal Mafia Koperasi dan Krisis Sampah


Lebaran tahun 2025 seharusnya menjadi momen kemenangan dan kebahagiaan bagi masyarakat Kota Pekalongan. Namun, sejak setahun yang lalu hingga jelang lebaran tahun ini, Kota ini justru dihadapkan pada kenyataan pahit yang mengoyak rasa aman dan nyaman warganya. Dua masalah besar menghantam secara bersamaan, double attack; skandal mafia koperasi bodong yang merugikan puluhan ribu warga.dan krisis sampah yang mencemari kota Pekalongan. Dua masalah ini bukan sekadar insiden biasa, tetapi mencerminkan kelalaian sistematis pemerintah kota Pekalongan dalam melindungi warganya dan mengelola tata kota.

Kota Pekalongan yang semenjak dulu dikenal “Kota Batik”, kini mulai mendapat label baru yang lebih menyakitkan: “Kota Sampah”. Julukan ini bukan hanya merujuk pada tumpukan sampah fisik yang menggunung di sudut-sudut kota, tetapi juga “sampah” dalam sistem birokrasi yang gagal melindungi rakyat dari ketidakadilan akibat koperasi-koperasi bodong yang tidak diawasi oleh penerintah.

Julukan ini adalah auto-kritik, sebuah cerminan dari kegagalan dan kelalaian pemerintah yang akhirnya menciptakan lingkungan yang kumuh, tidak sehat, dan tidak aman— baik secara fisik maupun sosial

Pada Maret 2025, Kementerian Lingkungan Hidup resmi menutup TPA Degayu, satu-satunya tempat pembuangan akhir di Kota Pekalongan. Penutupan ini merupakan bagian dari kebijakan nasional untuk menghentikan sistem pembuangan terbuka (open dumping) yang dianggap tidak ramah lingkungan. Namun, keputusan ini menjadi bencana baru bagi kota Pekalongan, karena pemerintah kota Pekalongan tidak memiliki solusi alternatif yang siap diterapkan (gagap situasi dan solusi).

Dampaknya langsung terasa: sampah menumpuk di berbagai sudut kota, menciptakan pemandangan yang kumuh, bau dan memicu kekhawatiran warga akan ancaman kesehatan pernafasan. Jalanan yang biasanya ramai dengan aktivitas warga kini dipenuhi bau busuk sampah yang tak terangkut. Beberapa warga terpaksa membakar sampah mereka sendiri, yang justru meningkatkan polusi udara dan risiko penyakit pernapasan.
Walikota Pekalongan, Afzan Arslan Djunaid, akhirnya menetapkan status darurat sampah selama enam bulan, dari 21 Maret hingga 21 September 2025 melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 600.4.15/0556 Tahun 2025. Namun keputusan ini terlambat dan terkesan cari aman, karena dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat. Jika pemerintah lebih sigap, seharusnya mereka sudah menyiapkan strategi mitigasi jauh jauh hari sebelum TPA ditutup.

Komplit sudah, setelah satu tahun yang lalu kota ini di guncang badai skandal keuangan: kasus koperasi bodong, -kini krisis sampahpun menghantam memicu bau busuk dan pemandangan kotor di sudut sudut kota.

Yaa, setahun yang lalu BMT Mitra Umat Pekalongan menjerat ribuan warga dalam skema investasi bodong, 87 miliar uang nasabah raib tanpa kejelasan. Walikota, Ketua DPRD Kota, dinas Koperasi bahkan polisipun sampai hari ini masih diam tanpa bicara dan bersikap melihat penderitaan rakyatnya.

Dan bom koperasi bodong pun meledak, satu per satu koperasi koperasi gagal bayar bermunculan meniru seperti BMT Mitra Umat. Diprediksi akan semakin banyak koperasi koperasi yang terbongkar dan gagal bayar. Ujungnya lagi lagi rakyatlah korbannya.

Skandal koperasi bodong, adalah bentuk lain dari tumpukan “sampah kebijakan”—janji-janji pemerintah yang berakhir dengan ketidakpedulian dan ketidakbecusan dalam bertindak.

Sampah yang menumpuk di jalanan seolah menjadi “simbol” dari ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan tugasnya melindungi warga dan mengelola kota.
Ada sampah fisik yang kotor dan bau, ada juga sampah dalam bentuk skandal koperasi bodong.

Jika pemerintah tidak segera bertindak, Pekalongan bisa benar-benar kehilangan identitasnya sebagai Kota Batik dan malah dikenang sebagai kota dengan krisis koperasi bodong dan sampah yang akut.

Koperasi bodong dan krisis sampah di penghujung ramadhan tahun ini seharusnya menjadi ‘alarm darurat” dan momentum refleksi bagi pemerintah dan masyarakat kota Pekalongan. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas, maka julukan “Kota Sampah” akan semakin melekat karena kegagalan pemerintah dalam melindungi warganya dan mengelola kota. Pemerintah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi warga justru tampak gagap dan tak sigap, membiarkan masalah ini membengkak tanpa solusi yang konkret. Double krisis ini akan menjadi raport merah bagi kepemimpinan walikota Pekalongan, bukan hanya karena tumpukan sampah di jalanan yang bau dan busuk, tetapi juga karena tumpukan masalah yang dibiarkan tanpa solusi nyata.

Oleh: Untung Nursetiawan
Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Pekalongan Kota Sampah? Auto-Kritik atas Kegagalan Pemerintah dalam Skandal Mafia Koperasi dan Krisis Sampah Pekalongan Kota Sampah? Auto-Kritik atas Kegagalan Pemerintah dalam Skandal Mafia Koperasi dan Krisis Sampah Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar