Breaking News

Jalan Berliku Upaya Mengadili Sang Mantan


DI negeri +62, kita sudah terbiasa disuguhi drama politik kelas berat: dari proyek mangkrak, utang menumpuk, babak demi babak kasus korupsi, sampai bansos yang tiba tepat sebelum TPS dibuka. Tapi pekan ini, sebuah episode baru bertajuk “Ijazah Jokowi: Asli atau Aspal?” kembali berhasil menyedot perhatian rakyat, dari kampus hingga warung kopi.

Di Yogyakarta, Selasa 15 April 2025, dua kelompok demonstran turun ke jalan. Satu menggeruduk kampus UGM, menuntut klarifikasi: benarkah Jokowi benar-benar lulus kuliah dengan ijazah asli, atau hanya sekadar pernah lewat kantin? Kelompok lain berkumpul di Gejayan dengan tuntutan yang lebih dramatis: adili Jokowi.

Ada benang merah antara kedua kelompok dan tuntutan mereka. Jika benar ijazah Jokowi palsu, maka itu akan memberi bobot lebih pada upaya menuntutnya ke pengadilan atas “dosa-dosa” politik selama lebih dari satu dekade berkuasa. Kalau ini sinetron, mungkin judulnya: “Anak Teknik yang Hilang, Dicari untuk Diadili.”


Bagi rakyat kebanyakan, ijazah hanyalah kertas sakti untuk daftar CPNS atau melamar kerja di pabrik. Tapi di tangan yang tepat -- aktivis, ahli forensik dokumen, atau alumni UGM yang dendam karena IPK-nya kalah -- selembar ijazah bisa berubah menjadi bom politik. Apalagi ijazah adalah syarat resmi untuk maju sebagai calon presiden.

Menurut catatan aktivis Okky Madassari yang sengaja hadir dalam aksi “Geruduk UGM” untuk melihat langsung, demonstrasi ini bukan remahan medsos. Pesertanya kebanyakan orang tua terdidik, berumur, dan berani keluar dari zona nyaman demi menuntut satu hal: transparansi akademik sang mantan presiden.

Dan ini bukan teori konspirasi. Bukti-bukti yang ditampilkan -- Katanya -- bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bukan berdasarkan firasat atau hasil terawangan dukun digital. Maka timbul pertanyaan filosofis: jika Jokowi tak bisa menunjukkan ijazah aslinya, lalu siapa sebenarnya yang kuliah di UGM tahun ’80-an atas nama yang tercantum di ijazah itu?

Di sisi lain, aksi “Indonesia Gelap” dan “Gejayan Memanggil” kembali menyuarakan aspirasi yang lebih lantang: adili Jokowi. Tuntutan ini lahir dari akumulasi kekecewaan terhadap politik dinasti, netralitas ASN yang lenyap, dan manuver-manuver politik yang dianggap “merusak demokrasi” -- termasuk langkah memuluskan keluarga ikut Pilpres dan Pilkada.

Di titik ini, ijazah tampil menjadi semacam kunci pas yang bisa membuka kotak Pandora: jika terbukti palsu, maka keabsahan Jokowi sebagai presiden selama sepuluh tahun layak dipertanyakan. Dan bila presiden ilegal, maka seluruh kebijakan selama masa jabatannya… well, setidaknya layak dikaji ulang oleh sejarawan dan penyidik KPK.
Namun, harapan untuk mengadili Jokowi tidak semulus jalan tol yang ia bangun. Menurut para ahli hukum dan politik, Indonesia masih menganut sistem “mikul duwur mendhem jero”: mantan presiden dipuji jasanya, sementara kesalahannya dikubur dalam-dalam—pakai semen tiga sak. Dan sejauh ini, belum ada satu pun mantan presiden yang pernah diadili.

Zuhad Aji Firmantoro dari FH Universitas Al-Azhar Indonesia dengan getir menyatakan, kita bukan Korea Selatan atau Amerika. Budaya hukum kita belum sampai pada level yang bisa menyeret mantan presiden ke meja hijau. Bahkan presiden yang gagal, menurut mantan Wapres Jusuf Kalla, “cukup tidak dipilih lagi.”

Dedi Kurnia Syah dari Indonesia Political Opinion, juga menambahkan: secara hukum presiden memang tidak kebal, tapi secara politik bisa kebal selamanya. Apalagi jika penerusnya adalah kolega atau bahkan bagian dari “keluarga besar”, maka kemungkinan untuk diadili makin tipis -- seperti rambut yang rontok habis kampanye. Di sini publik bertanya, apa Prabowo “bagian” dari Jokowi?

Lalu, kalau ijazahnya palsu, benarkah Jokowi bisa dipidana? Jawaban singkatnya: mungkin bisa. Tapi harus jelas duduk perkaranya. Jika ijazah palsu digunakan untuk mencalonkan diri sebagai wali kota, gubernur, hingga presiden, maka unsur pidananya ada -- pemalsuan dokumen, keterangan palsu di bawah sumpah, hingga penyalahgunaan jabatan.

Namun, sekali lagi: itu kalau terbukti. Dan di negeri ini, “terbukti” sering kalah oleh “terselamatkan”, karena: kedekatan, jasa di masa lalu, rektor yang menghilang dari ruang kerja, dan segudang alasan lain yang bisa dijadikan pelindung. Dalam situasi seperti itu, kebenaran bisa tersesat di antara suara sirine pengawalan dan tepuk tangan loyalis.

Agar tak terlalu gaduh, atau malah tambah ribut, mari kita tutup dengan sebuah puisi berjudul:

Sajak untuk Ijazah

Wahai ijazah,
dokumen yang tenang di laci,
kini engkau jadi saksi negeri mencari jati diri.
Bukan karena ingin menjatuhkan yang telah berlalu,
tapi karena bangsa besar tak boleh dibangun di atas yang palsu.

Maka, demo bukan sekadar keramaian jalanan –
ia alarm nurani bahwa ada yang belum tuntas.
Ijazah mungkin selembar kertas.
Tapi ia bisa membuka lembar keadilan…
atau menyobek lembar sejarah bangsa ini.

Akhirul kata, jika Jokowi tak bersalah, maka tunjukkan ijazahnya—biar semua tenang. Tapi jika ada kesalahan, maka adili sesuai hukum. Sebab dalam negara hukum, siapa pun—bahkan mantan presiden—harus tunduk pada keadilan. Kalau tidak, kita bukan negara hukum. Kita cuma panggung sandiwara.

OLEH: AHMADIE THAHA
Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al Quran
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Jalan Berliku Upaya Mengadili Sang Mantan Jalan Berliku Upaya Mengadili Sang Mantan Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar